Rabu, 20 Februari 2008

DELAPAN ENAM

Siapa tak kenal Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur. Budayawan, pemikir, sekaligus mantan presiden negeri ini, yang juga seorang polyglot alias penutur banyak bahasa asing. Siapa pula yang tak tahu Clint Eastwood. Aktor kenamaan Hollywood, seorang walikota di negara bagian California, dan juga pria dengan banyak istri. Lalu, apa hubungan keduanya? Yang jelas, Gus Dur dikenal amat menyukai karya film, dan Eastwood terkenal sebagai sutradara jempolan, tentu saja lewat film Unforgiven.

Namun, kalau mau dihubung-hubungkan. Keduanya ternyata memang mempunyai keterkaitan, meski terpisah tapi mempunyai satu sumber benang merah yang sama. Apa itu? Tentu saja kepedulian keduanya terhadap penegakkan hukum, lebih tepatnya tegaknya lembaga hukum di tengah centang perenangnya sistem hukum, dan penegakkan hukum yang ada. Eastwood, melalui film-filmnya banyak mengungkapkan kisah karut marutnya dunia penegakkan hukum. Paling terkenal tentu saja lewat perannya sebagai Inspektur Harry Callahan dalam film Dirty Harry (1971).

Seorang hamba hukum, yang resah dengan sistem hukum yang lemah. Sehingga para pelanggar hukum nyaris tak tersentuh hukum. Tapi dasar Harry, sistem hukum bukanlah sebuah penghalang bagi dirinya untuk tampil menegakkan hukum, meski untuk itu harus melanggar hukum itu sendiri. Sebuah kritik terhadap kondisi penegakkan hukum, dan lembaga penegak hukum yang ada di San Fransisco saat itu. Lembaga kepolisian, saat itu seperti selalu kalah cepat, dan lihai ketimbang penjahat. Sejarah Amerika Serikat sendiri pernah memiliki catatan kelam lembaga kepolisian.

Saat dimana lembaga kepolisian justru menghamba kepada para pelanggar hukum. Hingga datangnya “The Untouchable” yang berhasil menjebloskan bandit terbesar Chicago, sekaligus Amerika Serikat saat itu, Al Capone. Perjuangan Eliott Ness saat itu sungguh sangat berat. Bukan saja karena korupnya sistem hukum, namun juga karena suburnya budaya suap. Budaya suap, dan sistem penegakkan hukum yang korup konon juga terjadi, dan menjadi praksis keseharian lembaga hukum di negeri ini. Mulai pengadilan, kejaksaan hingga kepolisian. Tak aneh, akhirnya kepada mereka lahir sematan meyakitkan seperti mafia peradilan.

Bahkan khusus lembaga kepolisian kerap terdengar anekdot, “Lapor kehilangan kambing, malah kehilangan kerbau” Kepolisian sendiri sebenarnya bukannya tak berbenah, bahkan sejarah kepolisian negeri ini pernah harum dengan sosok Hoegeng Iman Santoso, Kepala Polri yang dikenal bersih, dan relatif tak tersentuh suap. Menarik kemudian membaca sebuah ulasan tentang kepolisian di Harian Kompas (18/2), yang memimpikan sosok hamba hukum yang tangguh, profesional, dan bebas suap. Membacanya lebih lanjut, ternyata bukan hanya personilnya yang harus dibenahi namun juga sistem hukumnya. Selain masih banyak meninggalkan celah, juga terkesan akomodatif terhadap fenomena pertemanan, patron-client berjudul “Haopeng” [siapa memanfaatkan siapa]

Relasi yang aneh tapi nyata. Hubungan terlarang namun menjadi praktek kasih sayang. Celakanya relasi itu bukannya berangsur pudar malah semakin liar, dan bersinar. Bahkan terangnya hingga menyilaukan para hamba hukum. Saking kesalnya, hubungan gelap namun benderang itu oleh masyarakat distempel besar, dan tebal “DELAPAN ENAM” alias tahu sama tahu. Sudah sejak lama, praktek tersebut berlangsung di lembaga hukum negeri ini. Bahkan rantai hubungan ini semakin diperpanjang dengan sistem hukum negeri ini, yang masih mengandalkan pada trisula hukum, yaitu polisi, jaksa dan hakim.

Semua tahu, polisi memberkas. Jaksa menuntut, dan hakim memutus. Anehnya, pasal dakwaan seringkali berubah. Hingga ujungnya kerap terdakwa bebas karena tak cukup bukti. Kalau begini siapa yang salah. Tak jelas jawabnya, karena ibarat ular memakan ekornya sendiri. Tulisan di Kompas itu juga menyentil soal ini. Bahkan, proses ular memakan ekornya itu juga dipetakan, termasuk titik yang menjadi simpulnya. Sebuah kritik, sekaligus catatan bagi lembaga penegakkan hukum. Karena tanpa kesungguhan menjaga, dan mengawal ikatan simpul itu. Maka, hanya bakal menambah kasus yang tak terungkap (dark number). Bukan karena tidak ada jejak, tapi sulit mendefinisikan jejak itu sendiri. Itulah kenapa crime rate selalu lebih tinggi ketimbang crime clearance.

Sebab police hazard, alias potensi bagi lahirnya tindak kejahatan justru disemai lembaga yang selalu meneriakkan perlunya mewaspadai dinamika police hazard. Implikasinya jelas, kejahatan akan terus tumbuh dan lahir. Ibarat minum obat namun tak pernah diperhatikan dosisnya, kasus kejahatan kian sulit dipecahkan karena metode penyidikan tidak pernah diikuti seperti dosis obat yang seharusnya diminum. Imbasnya luar biasa, merujuk teori Malthus, kejahatan melesat bak deret ukur. Kemampuan menjejak kejahatan tak lebih deret hitung. Ironisnya, pada saat seperti ini selalu ada alibi, dan apologi sebagai pembenaran. Bukan saja dalih cekaknya anggaran, keterbatasan personil namun juga sebuah “kenyataan” yang dikabarkan sebuah teori buku.

Konon, kata teori itu, kejahatan merupakan keniscayaan bagi hadirnya harmoni kehidupan. Tak heran, jika sebagian pemikir sosiologi kejahatan juga meyakini, dan menyebutnya sebagai pintu menuju terbukanya sebuah perubahan. Bahkan, pada kondisi tertentu justru merupakan pendorong terjadinya perubahan itu. Kata Durkheim, seorang diantara yang meyakini teori itu, kejahatan “terikat dengan kondisi fundamental keseluruhan kehidupan sosial” dan berperan sebagai fungsi sosial. Karena itu, dia meyakini kehadirannya bukan hanya suatu yang “normal” dalam sebuah masyarakat, namun juga “fungsional” Normal, karena kejahatan ada pada setiap kehidupan masyarakat, dan fungsional karena dengannya, masyarakat justru bisa memberdayakan norma sosial, dan menyediakan “bahan” untuk perubahan sosial, layaknya “katup pengaman” bagi ketidakpuasan sosial---sebuah kondisi yang membuat orang melanggar hukum ketimbang mencari jalan keluar rasa tidak puasa itu. Sebuah paradoks: seru Durkheim!

Namun, terlepas apa pun teorinya, lembaga penegak hukum, khususnya kepolisian harus mulai membayar kepercayaan seorang Gus Dur, yang telah berjuang memandirikan kepolisian sebagai lembaga terpisah dari lembaga pertahanan. Tak hanya itu, kepolisian juga harus mulai menghapus stempel “DELAPAN ENAM” itu dengan kesungguhan menjadikan Tri Brata, dan Catur Prasetya sebagai bekal menjadi hamba hukum, yang bukan hanya layak mendapat anggaran APBN terbesar keempat [Rp36,108 triliun], setelah Depdiknas, Dephan, Departemen Pekerjaan Umum, namun juga berhak menyandang gelar insan Rastra Sewakottama. Sebab, kalau sampai ini tak terpenuhi maka benar kata Gus Dur, “Hanya Dua Polisi yang Jujur yaitu Hoegeng Iman Santoso, dan Polisi Tidur”

Kamis, 14 Februari 2008

Zuriat: Capek Deh..!

Dalam tradisi Jawa, lazim dikenal istilah 3B yaitu "Bobot, Bibit,Bebet" sebagai kriteria saat mencari pasangan hidup. Kendati sudah terdengar jadul, atau kuno namun dalam prakteknya masih banyak menjadi referensi. Entah karena percaya, atau malah takut kualat! Namun demikian, diyakini atau tidak, hampir semua kebudayaan mengenal tradisi dan kebiasaan seperti itu, khususnya soal asal usul atau latar belakang seseorang. Bahasa HRD-nya curriculum vitae (CV) alias riwayat hidup. Sebab bagi sebagian kalangan CV sangat penting, bahkan diagungkan dan menjadi prasyarat sebuah status sosial. Orang Malaysia menyebutnya Dzuriat! Ya, keturunan, asal usul yang bersumber dari pohon keluarga (family tree). Sebuah bagan, yang dalam budaya Jawa penting agar tidak "Kepaten Obor", yang memberikan terang tentang asal usul dan keterhubungan atas nama kekerabatan. Sampai titik ini sepertinya tidak ada yang keliru, bahkan justru sebuah keharusan untuk menjaga dan merawat kekerabatan atas nama dzuriat!

Hingga datang sebuah kabar buruk bernama kepentingan. Sebab kepentingan, apapun retorika dan argumentasinya, selalu lekat dan mendekat dengan idiom politik, tentu saja dalam pengertian luas. Sementara itu, praksis politik berabad-abad lamanya selalu meneriakkan adagium, "Tak ada lawan abadi, tapi kepentingan abadi" Pada titik ini, pengertian politik akhirnya menyempit menjadi "siapa mendapat apa" dan "apa harus bagaimana" Ujungnya jelas, mengutip ungkapan klasik, yaitu Takhta, Harta, dan Wanita. Sebuah idealitika sekaligus malapetaka politik---sebagai sebuah sarana mencapai tujuan. Tanjungpinang beberapa hari terakhir juga diramaikan dengan silang sengketa personal, yang sialnya melibatkan dalih keturunan menjadi demarkasi perbedaan. Konon, sumber silang sengketa adalah sebuah pulau, yang sejak turun temurun diyakini cikal bakal, dan kampung halaman penguasa dzuriat tertentu.

Silang sengketa itu bermula dari keinginan personal untuk "menggunakan" pulau tersebut sebagai cultural endorsement atas penasbihan sebuah sematan kehormatan. Dalam politik, dukungan budaya bisa menjadi political advantage. Apalagi jika keuntungan itu diperoleh dari tempat dimana sumber dukungan politik itu bermula. Hanya saja tak disangka, personal lain yang mengklaim sebagai dzuriat pulau menolak. Entah apa alasannya, yang jelas silang sengketa itu menjadi polemik. Hingga terjadi perang kata-kata. Saling bongkar cerita, dan lempar kosa kata. Ironisnya, tak ada kosa kata yang ber-bobot. Tidak ada bebet yang bisa diceritakan. Kecuali bibit beda kepentingan. Tentu ironis, kalau memaknai dzuriat hanya untuk berbeda. Karena kalau terus menerus disemai, perang kata-kata itu hanya akan menguras kisah penting untuk cerita tak penting. Sebab dzuriat seharusnya dirawat, bukan malah menjadi aurat yang dikerat. Dan terlepas dari apapun kepentingannya. Kalau terus dilanjut silang sengketa itu, meminjam istilah gaul anak Jakarta, Dzuriat: Capek Deh...!

Jumat, 08 Februari 2008

Kisah Sebuah Menara

Bahasa ternyata tak hanya menunjukkan bangsa, tapi juga mengandung esensi pentingnya sebuah perbedaan. Tak percaya, simak saja kisah aktris cantik Cate Blanchett dan aktor tampan Brad Pitt pada petualangan penuh enigma, dalam film besutan sutradara Alejandro Gonzales Innaritu, berjudul Babel (2006), produksi Paramount Vintage yang berganti nama menjadi Paramount Classic. Dalam film itu, penonton diajak berpetualang ke dalam empat kisah yang berbeda latar, dan kejadian termasuk karakter. Namun sejatinya, keempatnya mempunyai satu benang merah yang sama. Dengan gaya flash back, sutradara yang dikenal menelurkan karya seperti Amores Perros, dan 21 Grams, itu mengajak penonton memahami arti, dan pentingnya sebuah kesamaan dalam ketaksamaan.

Sebuah beda yang bukan pembeda, melainkan beda untuk menjadi sama. Sehingga ragam, dan langgam menjelma menjadi arti, dan artikulasi. Pasalnya, dalam relasi tanda, dan penanda bukan saja membuat bahasa bisa kehilangan makna, namun dapat juga menghilangkan nyawa. [tentu saja nyawa Cate Blanchett dalam film itu, yang tertembus peluru] Lalu apa sebenarnya pesan yang hendak disampaikan? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita menyimak tulisan Goenawan Mohamad dalam buku kumpulan esainya, Tuhan dan Hal-hal yang tak Selesai, terbitan Kata Kita, 2007. Sebab pesan yang hendak diungkap, dan disampaikan sama, yaitu berkisah tentang kekalutan sekaligus terang benderang makna sebuah bahasa.

Tulis Goenawan: Syahdan, menurut Alkitab, manusia datang ke sebelah timur tanah Sinear untuk menegakkan sebuah menara yang tinggi, agar mereka tak terserak ke pelbagai tempat dan bisa berbahasa satu. Tapi Tuhan murka. Menara itu ditumbangkan. Orang-orang dibuncang ke pelbagai penjuru, dan bahasa dikacau balau hingga manusia tak saling mengerti lagi. Demikian itulah takdir. Sebuah kitab suci lain, Qur’an, yang tak berbicara tentang Tuhan yang murka, tetap mengingatkan manusia bahwa Ia sengaja tak menghendaki segalanya jadi satu, melainkan berbeda. Beda melahirkan bahasa dan membentuk hidup.

Menara itu bernama Menara Babel. Persis kisah petualangan Brad Pitt dan Cate Blanchett. Apa itu Menara Babel? Kenapa hingga Tuhan murka dan menumbangkannya? Migdal Bavel dalam bahasa Ibrani, atau Burj Babil dalam bahasa Arab, tulis Wikipedia, merujuk sebuah kitab suci, sebuah menara yang dimaksudkan untuk menasbihkan pencapaian kota Babilu, atau Babilonia. Yaitu, sebuah kota yang menyatukan semua umat manusia, yang berhijrah dari timur, dan berbicara dalam bahasa yang sama. Sebuah kota yang dibangun selepas banjir bah yang melanda jaman Raja Namrud. Penduduk memutuskan, kota mereka harus mempunyai menara yang tinggi, dan kokoh menjulang sehingga “puncaknya berada di nirwana” Namun, ternyata Menara Babel akhirnya menjadi sebuah pengingkaran. Ia dibangun bukan untuk berserah, dan beribadah kepada Yang Maha Tinggi. Sebaliknya, malah menjadi puncak pemujaan terhadap kepalsuan, bukan kesejatian. Akibatnya Tuhan murka, membuncang manusia ke segenap penjuru dunia, bahasa juga dikacau balau agar mereka tidak saling mengerti satu sama lain.

Syahdan, di jantungnya Uni Eropa, Brussel 2004 pernah digagas perlunya sebuah bahasa yang sama, agar rivalitas bahasa tidak melembaga. Biar beban agenda tidak mendera. Supaya integrasi menjadi nyata. Sehingga hak budaya tetap terjaga. Mungkinkah? Sebuah tantangan, yang sejauh ini kental dengan sematan kerja babilon, akibat beratnya persoalan “Menara Babel” Bahkan di kala Uni Eropa sudah semakin jauh melangkah, dan nyata menjadi pesaing tunggal, dan sedarah bangsa Amerika Serikat.

Perluasan Uni Eropa dan Implikasi Terhadap Bahasa

Mulai tahun 2004 keanggotaan Uni Eropa akan bertambah lagi, menyusul disetujuinya beberapa negara, setelah melalui serangkaian persyaratan yang telah ditentukan. Perluasan keanggotaan ke arah Timur tentu mengandung beragam implikasi beberapa persoalan pasca-perluasaan, satu di antaranya adalah implikasi terhadap masalah bahasa. Persoalan yang lazim disebut "Menara Babel" ini menguraikan sejumlah implikasi mengenai soal bahasa di Uni Eropa.

Menyoal bahasa sebenarnya membahas masalah keterwakilan. Bahasa adalah soal representasi dan ini diakui sebagai prinsip kebahasaan yang berlaku di Uni Eropa. Adalah hak semua warga negara Uni Eropa untuk mengetahui dan mengungkapkan sesuatu melalui bahasa nasional mereka. Dengan demikian, bahasa, dalam kasus perluasan, merupakan aspek mendasar bagi suatu upaya integrasi. Bahasa sebagai indentitas nasional mencerminkan representasi bangsa tersebut dalam proses integrasi yang dilakukan.

Ini artinya bahasa memainkan peran penting sebagai elemen pendorong integrasi. Ironisnya, dalam perkembangannya persoalan bahasa juga memunculkan implikasi lain, yang bila tidak dikelola dengan seksama, akan bermuara pada inefisiensi dan lumpuhnya fungsi-fungsi keorganisasian. Inilah yang disebut sebagai problem "Menara Babel" yang di dalamnya mengandung persoalan administrasi dan persaingan politis.

Beban administrasi
Dengan bergabungnya beberapa negara baru dalam keanggotaan Uni Eropa maka mengacu pada prinsip keragaman bahasa setidaknya ada 12 bahasa lagi masuk dalam daftar bahasa "resmi". Bila selama ini telah ada 11 bahasa yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari (working language) dan 40 bahasa regional maka dengan masuknya 12 bahasa tersebut akan menaikkan jumlah working language menjadi 23 dan "bahasa regional" akan menjadi 60 buah.

Bahasa regional adalah bahasa yang ada dan dilindungi oleh negara anggota di mana ia bukan merupakan bahasa nasional. Sudah pasti ini menjadikan beban administrasi, terutama dinas penerjemahan dan interprestasi, menjadi berat. Menurut Archie Clark, penasihat dinas penerjemahan Komisi Eropa untuk urusan perluasan, dengan masuknya bahasa tersebut setidaknya dibutuhkan lagi 100 hingga 200 petugas penerjemah untuk setiap bahasa bersangkutan.

Sebagai ilustrasi, saat ini di setiap komisi Uni Eropa yang bersidang ada sekitar 33 penerjemah yang bertugas "mengkomunikasikan" jalannya agenda kerja dalam 11 bahasa resmi. Dengan bertambahnya anggota baru akan meningkatkan jumlah penerjemah yang dibutuhkan menjadi 69. Padahal hampir semua debat parlemen, sidang Komisi Eropa dan banyak pertemuan Dewan Eropa harus diterjemahkan dalam semua bahasa resmi.

Dari 11 bahasa resmi yang ada akan menghasilkan tidak kurang 110 kombinasi bahasa. Guna mengatasi persoalan ini, dinas penerjemah dan interpretasi tebesar di dunia ini ingat PBB hanya ada 5 bahasa resmi mengandalkan pada penerjemahan relai. Namun demikian, prosedur penerjemahan yang rumit membuat pemahaman dan penerjemahan yang semakna tidak mungkin.

Sehingga hampir-hampir bisa dipastikan tidak akan pernah bisa dijumpai debat retorik yang biasa ada dalam persidangan; padahal kekuatan bahasa ada di sini yaitu apabila kita mampu menyampaikan pendapat secara langsung tanpa perlu kehilangan makna dan retorika. Beban administrasi yang berat ini mengisyaratkan perlunya terobosan untuk mengatasi kondisi "Babylonian" yang ada. Pentingnya terobosan ini dibenarkan oleh Gerhard Weber, direktur dinas penerjemahan pada Mahkamah Pengadilan Eropa, di mana dari sekitar 230 staf hukumnya, yang rata-rata mahir 5-6 bahasa harus menerjemahkan setidaknya 330 ribu lembar "kata" bermasalah.

Belum lagi persoalan pemahaman tentang hukum dari anggota sehingga tidak kurang ada 140 ribu lembar naskah legal berkaitan dengan soal hukum yang belum diterjemahkan secara lengkap setiap tahunnya. Guna mengatasi persoalan itu tidak ada jalan lain selain hanya menerjemahkan naskah legal itu dalam beberapa bahasa utama saja, sebut misal Inggris, Jerman, dan Prancis.

Melihat beratnya beban administrasi dari dinas penerjemahan ini maka tidak heran bila ia mendapat prioritas lebih, di mana dari total 16 ribu staf yang ada di komisi Eropa seperlimanya bekerja di bidang ini atau setara kurang lebih 3.500 orang. Ini akan bertambah seiring dengan proses perluasan yang tengah berlangsung (European Commission, 1999). Tentu ini akan berdampak pada pembiayaan yang membengkak. Kalaupun ini bukan persoalan akan muncul masalah bagaimana menjamin administrasi Uni Eropa tetap berfungsi sekaligus mampu menjaga keragaman bahasa yang selama ini diakui sebagai salah satu bagian dari hak budaya masing-masing negara tetap ada.

Rivalitas bahasa
Implikasi lain yang muncul dari persoalan bahasa adalah persaingan terselubung antara beberapa negara utama Uni Eropa berkait dengan penggunaan bahasa mereka masing-masing. Dalam beberapa hal persaingan itu berubah menjadi perang dingin yang kadang meletup untuk soal-soal tertentu dengan klaim keterwakilan dan dalih kuantitas. Sudah menjadi rahasia umum jika Jerman, Prancis, dan Inggris terlibat dalam relasi yang rumit selama aktif dan berperan dalam Uni Eropa. Sebagai negara utama perang pengaruh di antara mereka teramat nyata.

Bila politik menyebut "siapa mendapat apa" maka persaingan mereka kentara dalam ranah kebahasaan di Uni Eropa. Jerman merupakan pihak yang paling, belakangan ini, gemar mengutarakan perlunya "keadilan" dalam soal ini. Sebagai satu bahasa yang digunakan oleh lebih dari 100 juta penutur; Bahasa Jerman selama ini seperti tidak diperlakukan dengan adil. Sekali lagi bahasa adalah soal representasi. Keterwakilan adalah nama lain dari kuantitas, dan secara politis ia merupakan elemen mendasar.

Berangkat dari representasi pula, Bahasa Prancis sebagai salah satu bahasa negara pendiri Uni Eropa merasa dinomorduakan oleh menguatnya dominasi Bahasa Inggris dalam kancah pertarungan bahasa selama ini. Tidak aneh apabila Spanyol menyebut situasi linguistik di Uni Eropa sebagai ekspresi "hegemoni utara terhadap selatan". Ini artinya dominasi mainstream anglo-saxon di mana Inggris dan Jerman ada di dalamnya terhadap kultur latin-mediterania yang diwakili Prancis dan Spanyol.

Akibat situasi yang cenderung "friksional" ini pemerintah Finlandia suatu ketika pernah mengusulkan agar menggunakan bahasa latin sebagai satu-satunya bahasa resmi Uni Eropa. Persoalan bahasa pada dasarnya adalah persoalan "perasaan" kebangsaan, sehingga memaksakan persoalan ini dengan sepihak akan menyiratkan penafian terhadap eksistensi lainnya. Berkait dengan perang dingin bahasa antara tiga negara utama Uni Eropa, telah banyak diupayakan langkah terobosan yang dirasa mampu mengakomodasi tuntutan yang ada tanpa merasa perlu menyinggung "perasaan" kebangsaan yang begitu "rapuh" dalam intregrasi Uni Eropa.

Sekadar ilustrasi, untuk soal finalisasi konstruk Uni Eropa ada perbedaan tajam antara Prancis yang menginginkan Konfederasi Eropa dengan Jerman yang mengusung Federalisme Eropa. Sementara Jerman dan Prancis berbeda pendapat soal penyatuan mata uang tunggal Eropa, Euro, dengan Inggris. Dalam pada itu, keberhasilan dari sejumlah negara yang kini menjadi anggota untuk fase pertama disinyalir karena adanya afiliasi bahasa dan kepentingan bahasa tertentu antara negara anggota baru dengan beberapa negara utama Uni Eropa.

Meskipun masih terlampau prematur untuk menduga seperti itu; akan tetapi kalau dicermati secara seksama di sana ada cukup kebenaran. Imbasnya bisa dicermati dalam "kuota" keterwakilan dan hak suara di beberapa lembag strategis Uni Eropa pasca-perluasaan. Dalam semangat "rekonsiliasi" itulah dalam soal bahasa pernah diusulkan oleh Manuel Schubert dari Lembaga Max Planck di Muenchen untuk menggunakan model berbasis tiga bahasa untuk mengatasi persoalan ini (Deutschland Magazine, 2002).

Pertama, menjadikan Bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman sebagai bahasa resmi, di mana semua aturan hukum dan dokumen yang mengikat secara hukum di Uni Eropa ditulis dalam ketiga bahasa tersebut. Kedua, menjadikan bahasa Inggris sebagai "working language" Uni Eropa yaitu bahasa yang digunakan oleh badan-badan UE untuk komunikasi internal.

Ketiga, melembagakan apa yang disebut Bahasa Union, yaitu bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi badan-badan UE dengan semua negara anggota. Penerapan langkah ini dipandang lebih efisien dalam menyelesaikan persoalan teknis kebahasaan sekaligus mengakui eksitensi bahasa nasional sebagai identitas fundamental setiap negara anggota. (agoes soemarwah)[artikel pernah diterbitkan Harian Republika]

The Decline of Firewall

In the market driven media, nowdays one can not rely just on the output of editorial work. But also deeply depends on the bussiness plan. Simply called it the synergy. Slow but surely, it is also becoming a mantra. A magical word for fortune, and everything entitled the winner takes all---by Smithians perspective. It therefore, the ideal credo of media separating, or simply firewall between news and bussines were faded away. Even, by all acount, especially rente based performance. The extention of the firewall was in decline. But, for the optismist, the condition wasn’t the end of the world, and it should be anticipated by doing it independently using such alternate way as blog, and so on. For the fatalist, it seems no more idealism of ideal press. There are thus, one ought to embrace, and starting a choice anew, that is doing pragmatism in the name of corporate culture. And now, the choice is yours!

Sepakbola, Media, Selera

Kalau ditanya apa beda sepakbola dan media, jawabnya tentu tak sesulit mencari jarum dalam tumpukkan jerami. Sepakbola, yang konon berasal dari Inggris Raya merupakan olahraga paling populer sejagat. Olahraga Rakyat! Sepakbola bagi sebagian penduduk dunia juga berarti katarsis beban hidup. Wajar jika sebagian memberhalakan, bahkan menganggapnya agama baru. Dengan nabi yang beragam namanya, berikut kitab sucinya mulai jogo bonito, total football hingga pragmatism football. Seperti halnya agama, maka sepakbola juga rentan bid’ah berupa aliran baru, varian baru, bahkan nabi naru. Sebagai agama, mungkin hanya “agama sepakbola” yang boleh dibilang paling demokratis, all shades of opinion!

Pun media, dalam artian media cetak, kabarnya juga bermula dari kedai kopi di Inggris Raya. Bagi pengagum demokrasi, media diyakini sebagi pilar keempat setelah legislatif, eksekutif, dan tentu saja yudikatif. Media juga diyakini sebagai penyambung lidah kaum paria, dan sudra. Juru bicara yang papa, dan lemah terhadap yang kuat, dan berkuasa. Tak aneh bagi sebagian, media tak lebih messias. Lorong terang bagi kaum tertindas, sumber bahan bakar bagi pendidikan kaum tertindas--thanks to Frater Paulo Freire. Media bukan hanya lilin dalam kegelapan, namun juga dian bagi kesewenangan. Sehingga, jika dihadapkan pada pilihan pemerintahan tanpa koran, atau koran tanpa pemerintahan, maka jawabnya jelas dan tegas. “Saya pilih yang kedua!” seru Thomas Jefferson, Pendiri Negeri Paman Sam suatu ketika.

Lalu apa beda sepakbola dan koran, ehm….tentu saja pada soal selera! Karena batas perbedaan dan persamaan keduanya tipis, tergantung, ehm…selera! Sebab sepakbola dan media mempunyai peran dan andil yang sama, yaitu membuat yang berserak mendekat, dan yang dekat merekat. Persis, seperti kisah mesiah yang didengungkan setiap agama. Keduanya juga sebuah wahana memberikan yang lemah, dan tak bersuara menjadi mampu, dan bersuara. Dalam bahasa Khalifah Umar bin Khatab, “Menguatkan yang lemah, dan melemahkan yang kuat” Keduanya juga diyakini memungkinkan hadirnya demokrasi. Benarkah? Tentu saja benar sampai datangnya, ehm…selera!

Sebab selera berarti perdebatan soal rasa. Selera berarti berbicara soal kasta, siapa aku siapa kamu. Sehingga tidak ada lagi kebersamaan bernama kita, dan yang ada hanya kami dan kalian. Ini selera Adam Smith, itu rasa Karl Marx. Tak heran, dalam kebingungan Hegel pernah berteori: Setiap tesis, akan menghadirkan antitesis, guna melahirkan sintesis! Sungguhkah? Sampai ketiganya bertemu di alam kelanggengan, belum juga terjawab teori itu. Kapitalisme tetap merasa mempunyai selera. Marxisme terus mengklaim memiliki rasa. Selebihnya, tidak lain tak bukan (sintesis) selera rasa, rasa selera! [hwakakaka…]

Karena memang sejak selera dan rasa masuk, dan mengharu biru keduanya. Tidak ada lagi demokrasi, dan diseminasi partisipasi. Tak ada lagi kolektifitas, kebersamaan, dan perbedaan pandangan. Tak terdengar lagi pola, formasi apalagi inspirasi. Seolah semua kitab suci agama sepakbola terbuang. Tak ada lagi total footbal atau pun jogo bonito. Mesias yang menyebut dirinya juru bicara yang papa, dan tak bersuara juga sudah lama masuk lubang hitam (black hole). Terpenjara dalam nurani. Kini yang ada hanyalah pragmatisme, jeda antara idealisme dan opurtunisme. Apalagi dalam skisma industrialisasi. Sehingga semua potensi, dan sumberdaya hanya sebesar-besarnya, memlesetkan ungkapan “Banyak Jalan Menuju Roma”, dikerahkan untuk “Satu Jalan Menuju Roma”

Sepakbola tentu saja menjadi ladang demokrasi yang paling terimbas. Atas nama pragmatisme, dan kepentingan industri sepakbola menjelma menjadi padang perbudakkan modern. Pemain menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Hidup matinya ditentukan si pemilik kapital. Persis kisah gladiator di jaman Romawi kuno. Kabar buruknya, belum juga lahir mesias yang melakukan pencerahan, dan menghukum para penebar selera kapital. Media juga setali tiga uang, keberadaannya telah menjelma menjadi corong pemilik modal bertopeng mantra mujarab, hanya satu kata: pasar! Atas nama pasar pula, Fabio Cappelo rela dihujat karena pilihan strateginya yang pragmatis.

“Yang penting adalah hasil akhir,” ungkap dia suatu ketika mengungkap filosofi permainan sepakbola. Walhasil, selamat tingggal Rinus Michel, selamat jalan Jogo Bonito. Tak dapat disangkal, pragmatisme kini menjadi mantra ideal untuk mengatasi persoalan tidak ideal. Padahal kalau mau jujur, pilihan sepakbola pragmatis Cappelo tak lebih soal, ehm…..selera. Tentu saja selera seorang Cappelo. Persis seperti media, persaingan yang semakin ketat juga mengharuskan pasar menjadi parameter, selera audience sebagai pendekatan strategi. [I am agree to disagree]. Juntrungnya jelas, di akhir parameternya bukan keinginan pasar namun selera pemilik modal [market+share=marketshare]. Pada saat yang sama, industri media juga selalu dibayangi fenomena amplop. Keberadaannya juga terus menjadi perdebatan sepanjang waktu. Menariknya, banyak suara menyebut amplop bukan tujuan, namun semata soal pilihan. Wajar saja, jika amplop susah direduksi. Karena, amplop sebagai entitas lebih dulu, dan buru-buru ditarik menjadi persoalan privat, manakala lahir keinginan menjadikannnya ranah publik. Menerima amplop adalah soal pribadi, masing-masing orang. “Itu soal etika saja,” celetuk seorang pekerja pers.

Ironisnya, sepanjang berlalunya waktu bumi mengelilingi matahari, perdebatan soal etika tak lebih debat kusir. Hangat tapi tak pernah memikat. Apalagi jika perdebatan itu bergeser, dan berubah menjadi perdebatan soal Atika (baca: nama orang). Weleh....weleh, hasilnya sudah bisa ditebak. Pasti tak jauh dari soal, ehm…selera. Sehingga, pada akhirnya menarik mendengarkan pesan Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia dalam bukunya Renaisans Asia. "Kalau berdiskusi semata mendebatkan soal selera, maka sebaiknya masing-masing pergi berangkat tidur," pesan Anwar. Setubuh Pak Cik, eh…setuju!

Rabu, 06 Februari 2008

Lain Jalan Menuju Roma

Tak ada bunyi serak burung gagak, tidak pula terdengar sangkakala. Namun, mendung hitam tiba-tiba menggelayuti ketenangan Jalan Ganet, Batu 12, Tanjungpinang. Sejenak suasana senyap. Beberapa jeda kemudian, pecah tangis bocah bercampur kaget. Pasalnya, mata bening itu menatap sebujur kaku sosok yang sangat dikenalnya. Sri Lestari (36), demikian tubuh kaku itu sering dipanggil. Namun, kali ini panggilan ibu yang biasanya langsung bersambut dengan pelukan hangat, tak lagi berjawab apalagi memeluk. Hanya kaleng racun serangga, dan selembar surat yang menjawabnya.

“Ya tuhan ampunilah aku orang berdosa,
Suamiku kamu orang yang jujur, maafkanlah aku kamu sudah baik pa, nasihantin aku, tapi akunya saja,
Maafkanlah kesalahanku pa, aku bersalah besar padamu, jalan pikiranku menyalahkan orang, tetangga disini,
Pa aku titip anak-anak Chris, Cia , Dino
Pa kamu suamiku yang jujur, seharusnya aku bersyukur, tapi aku sudah membikin salah terus aku jadi bingung,
Padahal kamu sudah baik padaku dan anak-anak,
Sekali lagi maafkan aku istrimu yang bodoh dan lugu, ngomong tak pakai otak
Maafkan kesalahanku tetanggaku.”


Rabu (6/2) siang itu, seketika langit cerah Jalan Ganet berubah menjadi muram. Dan tubuh menggigil itu terpaku, mulut terkunci. Hanya bulir bening yang berkata-kata. Sri, ibunya mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun serangga. Kisah sedih itu tak hanya meninggalkan duka, namun juga menambah deret panjang enigma katarsis beban hidup bernama le suicide. Dan sepertinya kini laku menghabisi diri sendiri, atau bunuh diri menjadi pilihan paling rasional untuk membebaskan diri dari persoalan hidup, baik karena himpitan masalah ekonomi atau permasalahan lain yang tak bisa didefinisikan, bahkan dengan ukuran kata hati sekalipun. Seolah tidak ada cara lain untuk meringankan beban hidup. Semua buntu, dan beku. Seakan tak ada pilihan lain yang mudah, dan masuk akal. Dan meminjam ungkapan klasik “Banyak Jalan Menuju Roma”, laku bunuh diri seolah merupakan jalan pintas, dan tercepat untuk menuju Roma. Sebentuk eskapisme sosial atas nama ketidakberdayaan. Sebuah katarsis beban hidup.

Dan Ibu Chris, Cia, dan Dino itu memilih pergi ke “Roma” dengan jalan yang diyakininya. Belum diketahui alasan Sri nekat melepas belaian sayang kepada tiga buah hatinya. Namun dari berbagai kasus serupa yang ditangani kepolisian selalu berakhir dengan kesimpulan: karena beban kehidupan. Ya, kehidupan keluarga, ekonomi, hingga kehidupan cinta. Namun demikian, persoalan bunuh diri ternyata tak hanya sempit sebatas persoalan itu saja, bahkan dalam beberapa kebudayaan laku bunuh diri justru diyakini sebagai bentuk pengabdian, penghormatan dan pengorbanan untuk hal-hal yang tak bisa dijelaskan alasannya.

Tradisi bunuh diri, atau seppuku atau harakiri di Jepang merupakan satu diantaranya. Ada segenggam alasan yang tak bakal diterima nalar, namun kenyataannya itu selalu diyakini sebagai sebentuk pengabdian. Sigmund Freud melalui Psikoanalisa-nya berusaha membantu menjelaskan. Bahwa sejatinya, bukan semata itu alasannya. Namun justru ada argumentasi lain yang bisa menjadi alasan masuk akal terjadinya laku bunuh diri. “Dalam jiwa (psyche) manusia sejatinya ada dua insting dasar yang menggerakkan hidup, yaitu eros dan thanatos,” ungkap dia. Keduanya, lanjut Freud memiliki karakter yang saling menegasi satu sama lain. Eros mencintai kehidupan, dan thanatos membenci hidup. Sejenak dia terdiam. Sembari menarik nafas, Freud melanjutkan, berbeda dengan insting mencintai hidup. Insting membenci hidup bercirikan sifat agresi, rasa permusuhan, dan keinginan merusak. Kabar buruknya, ibarat pedang insting itu ternyata bermata dua. “Rasa permusuhan, agresi dan keinginan merusak itu bila menemukan sasarannnya di luar maka menjelma menjadi laku membunuh,” terang dia, “Sebaliknya, bila sasarannya ternyata justru ke dalam diri sendiri maka bentuknya berupa keinginan bunuh diri,” lanjut dia menerangkan.

Namun berbeda dengan Freud, yang berusaha menjawab fenomena bunuh diri dengan pendekatan psikologi, maka sosiolog Perancis Emile Durkheim menawarkan pendekatan lain. Seperti latar ilmu yang dimilikinya, Durkheim melihat fenomena bunuh diri terkait dengan ikatan sosial, antara individu dengan masyarakat dan sebaliknya. Kesimpulan analisanya itu, seperti terungkap dalam ouvre-nya Le Suicide (1897), membedakan laku bunuh diri dalam empat tipologi.

Pertama, bunuh diri egois (egoistic suicide). Yaitu ketika keterikatan antara satu individu dengan individu lain dalam satu masyarakat lemah, dan longgar. Sehingga secara emosional individu bersangkutan merasa bukan bagian masyarakat tersebut. Namun, sebagian kalangan menyebut laku bunuh diri ini terjadi memang semata pelakunya ingin bunuh diri. Khusus yang terakhir kasus bunuh diri sejumlah penulis kenamaan Jepan masuk dalam jenis ini. Durkheim sendiri meyakini, jenis ini banyak dilakukan orang dengan latar belakang sudah bercerai.

Kedua, bunuh diri altruis (altruistic suicide). Yaitu ketika satu individu merasa hidupnya adalah milik masyarakat bersangkutan. Karena itu, laku bunuh diri yang dilakukan diyakini bisa membawa manfaat bagi masyarakat bersangkutan. Durkheim lantas membaginya lagi menjadi dua varian, yaitu (1) Ketika keberadaan diri dianggap menjadi beban bagi lingkungan dimana ia berada. Semisal kasus bunuh diri yang kerap terjadi dalam lingkungan milter saat berperang. (2) Ketika keberadaan diri tak berguna untuk sesuatu yang lebih besar dan ideal. Semisal bunuh diri yang dilakukan pilot kamikaze Jepang, dan tradisi Sati dalam Agama Hindu.

Ketiga, bunuh diri anomi (anomic suicide). Yaitu ketika norma sosial lingkungan yang ada tak bisa lagi menjadi regulasi sosial bagi individu yang berada di dalamnya, karena terjadinya perubahan dramatis dalam perekonomian atau peri kehidupan sosial lainnya. Perlu diingat hampir semua norma sosial melarang laku bunuh diri. Durkheim mengungkapkan, jenis ini terjadi ketika norma sosial dan hukum yang mengatur peri kehidupan sosial tidak sejalan dengan tujuan hidup individu di dalamnya. Karena itu, individu bersangkutan bunuh diri merupakan jalan “keluar” dari aturan, atau kondisi hidup yang semakin tidak sejalan dengan keinginan. Sebagian kalangan menyebut, mereka yang bunuh diri karena alasan masalah ekonomi termasuk dalam jenis ini. Atau dari dulunya kaya, tiba-tiba jatuh miskin karena roda kehidupan yang berubah drastis.

Keempat, bunuh diri fatalis (fatalistic suicide). Yaitu kebalikan dari anomi. Fatalis adalah ketika aturan sosial justru menjadi sesuatu yang menyesakkan kehidupan. Sehingga tidak ada harapan lain bagi individu itu untuk terbebas dari aturan sosial itu selain “terbebas” dengan bunuh diri. Kasus bunuh diri yang dilakukan budak pada jaman perbudakan, dan masyarakat Jepang.

Selain membedakan bunuh diri berdasar tipologinya, Durkheim dalam karya itu juga menemukan bahwa angka bunuh diri justru rentan bagi janda/duda, dan bujangan ketimbang orang yang menikah. Bunuh diri, lanjut dia juga rentan dialami pasangan tanpa anak dibanding yang mempunyai keturunan. Namun faktanya saat ini kondisi yang berbeda justru lebih terlihat. Terlepas dari temuan Durkheim tersebut. Bunuh diri sejauh ini juga mengenal model berdasar usia kecenderungan melakukan bunuh diri. Secara umum dikenal tiga model.

Yaitu model Jepang, dimana terdapat dua usia kecenderungan melakukan bunuh diri yaitu sekitar 25 dan 50 tahun ke atas. Kurvanya, ketika mendekati usia 25 maka grafiknya naik lalu turun seiring bertambahnya usia, dan terlihat mendaki tinggi saat usia mendekati 50 tahun ke atas, dan menurun lagi seiring dengan pertambahan usia. Lalu model Hungaria, yaitu semakin bertambah usia semakin menunjukkan kurva menanjak. Terakhir model Skandinavia, yaitu usia rentan bunuh diri setelah mencapai usia 50 tahun ke atas. Berdasar statistik, warga negara Skandinavia atau Nordik secara umum, termasukm tinggi angka bunuh dirinya. Islandia pernah menjadi yang tertinggi di dunia.

Kalau merujuk pada tipologi bunuh diri Durkheim, maka kasus yang belakangan ini menghiasi halaman surat kabar, dan layar televisi lebih lebih mendekat ke jenis bunuh diri anomi. Khususnya dipicu himpitan masalah ekonomi, dan perubahan sosial yang cepat, sehingga membuat sebagian individu merasa hilang hak hidup sosialnya. Ironisnya, untuk sebagian justru negara ikut menjadi pemicunya, terutama melalui pemiskinan struktural. Goenawan Mohamad lewat kolom “Catatan Pinggir”-nya bahkan, dengan cerdas dan lugas hingga dua kali mengungkapkan secara tersirat, adanya “peran” negara dalam laku bunuh diri tersebut. Yaitu melalui kisah Sukardal dan Slamet. Yang pertama memilih mengakhiri hidupnya dengan menggantung di pohon Tanjung, setelah becak satu-satunya sekaligus “periuk nasi”-nya diangkut petugas ketertiban umum (Tibum) Kota Bandung, 19 Juli 1986. Tak kalah tragisnya Slamet, yang memilih gantung diri setelah harga kedelai melangit. Sehingga gorengan yang menjadi sandaran hidupnya, bukan meringankan namun justru menambah beban hutang yang harus ditanggung. Akibat bahan baku yang tak terbeli.

Pada akhirnya, laku bunuh diri bukan soal benar atau salah. Juga, bukan salah jalan atau banyak jalan menuju Roma. Bunuh diri, tak lebih sebentuk keyakinan bahwa menuju Roma, setiap orang punya pilihan, dan berhak meyakininya. Karena sesungguhnya manusia, mengutip pepatah Persia kuno, adalah jeda waktu dengan keabadian, kopula alam semesta.

Minggu, 03 Februari 2008

Ketika Abang Sam Memilih (3-Habis)

Seperti disinggung di awal tulisan bagian satu, persaingan merebut jabatan Air Force One juga tak hanya sengit di tingkat kandidat saja. Namun juga bakal keras setelah hasil konvensi masing-masing partai diumumkan. Saat itu, tak hanya kharisma dan aura persona tapi juga bersaing mesin partai. Itu pun dengan catatan Michael Bloomberg, Mantan Walikota New York tidak nyemplung sebagai calon presiden independen.

Sejarah mencatat, hanya pertarungan kandidat dua partai yaitu Republik dan Demokrat saja yang terus bertahan, dan mewarnai sejarah kontemporer Amerika Serikat. Partai Demokrat diyakini sejarah keberadaannya bermula dari Thomas Jefferson, Presiden AS paling kosmpolit dan berpikiran terbuka. Sedangkan Partai Republik, dipercayai jelas terlihat jejaknya saat Presiden Abraham Lincoln (Abe) memerintah AS. Dan beraba-abad lamanya, keduanya silih berganti menentukan masa depan negeri dengan penghasilan kotor (PDB) terbesar se-Dunia itu.

Keduanya juga mempunyai tokoh politik kharismatis di eranya, termasuk dinasti politik. Partai Republik yang berlambang gajah, sehingga berat dan lamban (baca: konservatif) mempunyai Ronald Reagan, yang dengan Reaganomics-nya di bawah arahan ekonom Milton Friedman berhasil membuat pemerintahan sosial-demokrat di Eropa tiarap, dan mengakui kedigjayaan ekonomi AS dekade itu. Republik juga menyisakan dinasti politik Bush. Partai Demokrat dengan lambang keledai, sehingga lincah dan ringat (baca: liberal) mempunyai Bill Clinton, yang dengan Clintonomics-nya di bawah besutan pemenang nobel Joseph Stiglitz mewariskan surplus anggaran selama delapan tahun pemerintahan demokratnya. Seperti Bush di Republik, Demokrat juga memiliki klan Kennedy yang melenggenda.

Secara umum, basis dukungan kedua partai itu juga mewakili mainstream ideologi yang diusungnya. Republik yang tegas membela nilai-nilai konservatisme banyak mendapat dukungan kaum puritan protestan, kelas menengah atas, dan kalangan masyarakat kulit putih mapan lainnya. Wajar agenda ekonomi mereka selalu pemangkasan pajak, dan mekanisme pasar, dengan isu keamanan menjadi pijakan utama diplomasi luar negeri. Implikasinya, Partai Republik kental dengan isu seperti militerisme. Dalam spektrum politik Amerika Serikat, kalangan republikan yang menjadi penyokong utama sering disebut Red Liners.

Partai Demokrat seperti pendirinya, Thomas Jefferson yang kosmopolit maka basis spektrum dukungannya juga meluas. Mulai kalangan pemuja kebebasan hak sipil, pemikir liberal, kaum menengah ke bawah hingga warga pendatang, dan masyarakat kulit berwarna. Wajar jika pemikiran ekonominya berusaha menyeimbangkan anggaran dengan belanja, peran pasar dengan campur tangan pemerintah. Isu ekonomi mereka penyeimbangan pajak dengan belanja kesejahteraan, dengan isu demokratisasi sebagai tema sentral kebijakan luar negeri. Karena itu para pendukung Demokrat mengindentifikasi dirinya sebagai True Bluers.

Secara langsung memang tidak ada pengaruh pilpres tersebut dengan negara lain, termasuk negara kita. Namun, sebagai pemilik PDRB terbesar di dunia, pusat transaksi dan keuangan nomor satu dunia. Setiap kebijakan makro ekonomi yang berpotensi meluruhkan pertumbuhan ekonomi AS bakal berimbas pada perekonomian dunia. Pilihan diplomasi politik luar negeri AS juga mencerminkan agenda perubahan sosial yang diinginkan pemerintahan yang berkuasa saat itu. Lalu bagaimana seharusnya memaknai transisi kekuasaaan, dan kebijakan dari merah ke biru, atau sebaliknya. Tanpa bermaksud mengajari bisa digunakan teori warna sekunder. Warna primer sendiri ada tiga yaitu kuning, merah dan biru. Karena Amerika Serikat hanya kental dua warna yaitu merah dan biru, maka simpel campurkan keduanya. Jika hasilnya warna lembayung, artinya siapapun yang berkuasa di Gedung Putih kelak, entah biru atau merah maka perubahan kebijakan utamanya tidak akan pernah tegas, merah atau biru namun tak lebih nuansa violet yang memendar.

Ketika Abang Sam Memilih (2)

Bagi Hillary dan Obama, aturan tidak tertulis white, anglo-saxon, and protestant (WASP) bisa menjadi batu sandungan. Sehingga kian melempangkan kandidat Partai Republik menuju Gedung Putih. Konon, tak tuntasnya JFK memerintah AS karena dirinya tidak bisa memenuhi persyaratan tidak tertulis itu. Kennedy adalah pemeluk Katolik yang saleh. Dan Presiden GW. Bush terpilih berkat dukungan solid dari kalangan Protestan saleh di Amerika Serikat. Bagi Hillary, sepertinya WASP tidak bakal menyandung dirinya. Namun kenyataan dirinya seorang perempuan ditengarai bakal membuat niatnya melenggang ke Gedung Putih menyusul artis Geena Davis dalam kisah drama serial telivisi, “Commander in Chief”, bukan tidak mungkin bakal berakhir tragis seperti kisah Sysyphus dalam mitologi Yunani kuno.

Drama itu sendiri mengisahkan pergulatan, dan keseharian presiden perempuan pertama AS, persis seperti keyakinan harian New York Times saat memberikan endorsement kepada Hillary melalui judul tulisan yang sama, “Comannder In Chief” Sebuah harapan, yang tidak begitu saja disetujui majalah The Economist yang implisit sepakat dengan agenda Obama. Setidaknya ada beberapa alasan kenyataan Hillary sebagai calon presiden perempuan pertama AS berhadapan diametral dengan “pemali” politik WASP.

Pertama, dalam sejarahnya belum pernah ada presiden AS berkelamin perempuan. Dan ini merupakan satu-satunya jabatan politis, dan publik yang belum pernah dirasakan perempuan negeri Paman Sam. Walikota, Gubernur, Senator hingga Hakim Agung, semua pernah ada perempuan yang menjabat. Kedua, diyakini elemen pendukung WASP sejak mula berdiri didominasi laki-laki. Dan rekam jejak politik AS sejauh ini juga identik dengan pergulatan politik kaum Adam.

Kedua, fakta itu diperkuat dengan simpulan penulis Belanda, Geert Hofstede's melalui bukunya Culture's Consequences, (1980). Menurut Geert, AS bersama Jepang, Jerman, dan Meksiko termasuk negara “berkelamin” laki-laki. Maksud maskulin di sini, lanjut Geert merujuk pada sebuah budaya dimana pria menjadi fokus kesuksesan ekonomi, dan berperan secara lebih asertif. Sementara perempuan diharuskan tampil bersahaja, dan hanya perlu mengurusi urusan kualitas sebuah relasi saja. Implikasinya, berdasar penafisiran aku terhadap pengamatan statistik di ketiga negara itu, mengungkap (1) Partisipasi dan representasi politik perempuan cenderung rendah (Jerman dan Jepang). (2) Jabatan kunci untuk pengambil kebijakan penting di sejumlah perusahaan mayoritas masih milik laki-laki (Jerman, Jepang, dan AS). (3) Usia pensiun juga relatif lebih tinggi (Jepang), dan (4) Sistem kesejahteraan sosial yang belum sepenuhnya bersifat womb to tomb lazimnya negeri Nordik.

Kebalikannya, menurut Geert, negara “berkelamin” perempuan tak lebih sebuah tatanan masyarakat dimana laki-laki dan perempuan sama-sama tampil bersahaja, dan mengutamakan kualitas hubungan (baca: kualitas hidup). Contoh paling nyata tentu saja negeri Nordik, termasuk di dalamnya tiga negara Skandinavia. Di sini tingkat partisipasi politik dan represntasi politik tinggi, bahkan Finlandia dipimpin Presiden Perempuan dengan jumlah menteri perempuan lebih dari separo jabatan kementerian yang dibentuk. Lalu konsep breadwinner tidak hanya dominasi laki-laki. Tak heran jika kaum laki-laki di negeri Nordik juga boleh mengajukan ijin cuti mengurus anak-anaknya. Kefeminiman lain, perbedaan penghasilan antar jabatan publik juga kecil sekali. Paling dikenal tentu saja kerahiman negara (welfare state system) yang bisa dimiliki sejak dari ayunan hingga buyutan (from craddle to grave).

Sedangkan bagi Obama, WASP bisa membuat pencalonan dirinya berakhir seperti kisah Martin Luther King Jr, dan Presiden Abrahan Lincoln, tumpas episode hidupnya karena memperjuangkan persamaan hak dan menghapuskan sekat rasialisme. Sebab meski dirinya seorang protestan namun bukan masuk mainstream anglo-saxon, yang bisa dilacak jejak di eropa khusunya Jerman, Belanda dan Inggris. Pun, kendati Obama berorang tua birasial, namun dirinya tetap saja termasuk kulit berwarna. Wajar jika banyak pendukung dia yang mengkhawatirkan nasibnya seperti kisah para sebelumnya, termasuk kisah JFK dan Robert Kennedy yang getol memperjuangan disegregasi antar warga AS berdasar warna kulit, termasuk merintis muncul kebijakan afirmasi terhadap kulit berwarna.

Kabar baiknya, keduanya juga melambangkan perubahan baru bagi Amerika Serikat sekaligus pembuktian bunyi konstitusi yang menyatakan, bahwa setiap orang dianugerahi hak yang sama, termasuk untuk mengejar kebahagiaan. Tak hanya itu, majunya Hillary-Obama juga menandai bangkitanya kaum perempuan, dan kulit berwarna yang selama ini terpinggirkan dalam sistem perwakilan politik negeri yang sempat koyak oleh perang sipil itu. Kesamaan hak di depan hukum itu tentu saja sejalan dengan keinginan pendiri negeri yang memimpikan sebuah melting pot bertajuk E Pluribus Unum.

Ketika Abang Sam Memilih (1)

Dibanding penyelenggaran Pilpres Amerika Serikat sebelumnya. Pemilu pendahuluan tahun ini memang menunjukkan kegairahan yang berbeda. Bukan saja karena agenda pertarungan kampanye yang semakin mengental, dan kentara antara Partai Republik dan Demokrat. Namun juga karena hadirnya persaingan ketat antar kandidat masing-masing partai bersangkutan.

Sebut saja pertarungan Senator (R-Az) John McCain dengan Mantan Gubernur Massachusetts, Mitt Romney di kubu Partai Republik. Keduanya, dengan berbagai cara berusaha mendulang delegasi dari setiap ceruk negara bagian yang mungkin bersimpati. Sejauh ini McCain mengungguli Romney dalam jumlah delegasi untuk konvensi partai 6 bulan mendatang. McCain, yang dikenal lihai memainkan isu keamanan ketimbang Romney, juga diuntungkan mengalirnya dukungan moral dari mantan Walikota New York, Rudy Guilani.

Dan Gubernur California, Arnold Scwarzenegger. Rudy, yang dikenang jasanya karena berhasil menekan angka krimininalitas negeri Apel Besar, dan memandu melewati masa sulit pascakecelakaan sejarah 9/11 mendukung, karena alasan kesamaan visi, dan yakin terhadap agenda kebijakan keamanan McCain, yang dulunya juga veteran perang. Arnie, demikian suami keponakan Presiden John F. Kennedy dipanggil, mendukung McCain karena agenda kampanyenya relatif moderat untuk beberapa isu utama.

Beralih ke kubu Partai Demokrat, pertarungan kian sengit sepeninggal John Edward. Pasalnya, John Edward disebut memiliki agenda kebijakan yang sejalan dengan Senator (D-Il)Barack Obama, justru memiliki konstituen yang segaris dengan Senator (D-Ny)Hillary Clinton yaitu kalangan kelas menengah kulit putih. Pertarunga semakin sengit karena Hillary disebut banyak didukung sebagian besar petinggi Partai Demokrat, bukan saja karena jejak cemerlangnya sebagai Senator New York, namun juga karena mantan first lady semasa Bill Clinton menjabat di Gedung Putih itu dikenal inisiatif, dan istri yang bisa menjadi mitra sejajar.

Tak heran jika Hillary beroleh simpati mantan Senator New York kharismatis, Daniel Patrick Moynihan. Uniknya, janda senator itu justru secara terbuka terlibat dalam penggalangan dana Barack Obama. Soal dukung mendukung, Hilarry mau pun Obama juga menjadi ajang rebutan saling curah perhatian, dan dukungan. Namun, blunder Hillary melibatkan suaminya, Clinton pada kampanye di South Carolina justru berujung dukungan dinasiti Kennedy kepada Obama.

Melalui Caroline Kennedy, Obama disebut figur yang menyerupai JFK yaitu mampu menginspirasi, dan menjadi simpul lintas generasi, dan etnis. Sementar Ted Kennedy, sang paman mendukung karena geram dengan pesan kampanye Clinton yang menyentil isu rasialisme. Sebuah isu yang mendekatkan Kennedy bersaudara di masanya dengan icon kulit hitam, Martin Luther King Jr, khususnya dalam kesetaran hak-hak sipil.

Obama yang menyatakan dirinya bukan sebagai kandidat presiden kulit hitam, melainkan calon presiden yang kebetulan berkulit hitam, juga mengusung kuat aura perubahan yang diimpikan Martin Luther King Jr, “I Have A Dream” Sebuah pesan moral yang akhirnya juga meluluhkan ratu talkshow, Oprah Winfrey kepincut pada pria yang pernah melewatkan masa kanak-kanak di Jakarta itu. Dukungan signifikan lainnya juga meluncur dari mulut Gubernur Kansas, Katherine Sibelius.

Siapa dia? Tiada lain perempuan demokrat pertama yang bisa memimpin negara bagian Kansas, negara bagian dengan tradisi republiken sejati (Red States). Dukungannya disebut karena pilihan visi pemerinatahnnya senada dengan pilihan Obama. Singkat kata, pertarungan calon Partai Demokrat beda-beda tipis, dan harap-harap cemas. Bukan saja karena begitu kuatnya dukungan politik, moral dan finansial kepada keduanya. Bahkan disebut Hillary kena batunya. Namun juga karena keduanya mewakili gerbong masing-masing, yang terancam bakal terantuk batu penghalang rel yang sama, yaitu aturan tak tertulis: white anglo-saxon, and protestant (WASP).

Sebuah Paradoks!

Entah usia bumi yang semakin menua, atau justru manusia yang kian uzur memaknai berkurangnya umur. Beberapa waktu terakhir, tanpa mengenal hari benderang atau gulita, dan melalui pemberitaan berbagai media massa. Cerita nestapa dan laku durjana tak henti-hentinya, sepanjang waktu perjalanan bulan mengitari bumi, menghiasi setiap tarikan nafas gambar besar kehidupan bernama dunia dalam berita.

Bencana, perang, wabah, musibah, tindak kejahatan dan kemuraman lainnya selalu menyeruak begitu indera membelalak: menatap layar kaca, membentang kertas baris berkolom, atau mendengar pesan melalui siaran kata. Semuanya senada, dan berisi sama bak paduan suara mendendang pujian datangnya thanatos, anak nyx dan erebos, sekaligus saudara kembar hypnos dalam mitologi Yunani kuno.

Siapa thanatos? Ia tak lain kemuraman. Personifikasi kematian dan keabadian. Lazimnya kutukan yang hendak dihindari, keberadaannya selalu ditolak tapi juga tak bisa dielakkan. Mungkin karena membawa pesan kemuraman itulah, seperti tulis Wikipedia, sosok yang dipercayai berujud anak muda bersayap itu, tak pernah tuntas tergambar sebagai manusia utuh. Bahkan jarang sosoknya dimunculkan sebagai manusia paripurna, kecuali sebagai metafora genderang malapetaka.

Ia lahir dari rahim dewi penguasa malam (nyx), hasil buah cinta dengan penguasa kegelapan (erebos). Dan erebos diyakini anak dari chaos, tetua dunia kegelapan. Karena itu, sebagian legenda menyebut erebos tak lain saudara sedarah hades, sang pangeran kegelapan. Singkat cerita, penguasa kematian itu mempunyai delapan saudara, termasuk kembarannya hypnos atau sang penguasa rasa kantuk. Tujuh saudara lainnya, seperti asal usulnya, juga tak kalah muramnya.

Sebut saja gera, tauke usia tua. oizys, datuknya penderitaan. Lalu moros, bandar kehancuran. Apate (deception), momos (blame), eris (strife) dan nemesis (retribution). Oleh Sigmund Freud, thanatos dalam karyanya berjudul Beyond the Pleasure Principle (1920) disebut sebagai insting kematian. Pada jiwa manusia, lanjut Freud, bersemayam dua keinginan (drive), yang saling berlawanan tujuan dan sifat. Yaitu keinginan libido (eros) dan thanatos, atau insting kematian.

Keinginan libido itu, pada akhirnya melahirkan keinginan untuk hidup (bukan hanya urusan perut dan bawah perut---hwakakakak!), hingga akhirnya beranak pinak menjadi hasrat kreatif, harmoni, persentuhan seksual, reproduksi hingga terjaganya kelangsungan generasi. Persis seperti tamsil filsuf Perancis, Voltaire [kalau keliru silakan dikoreksi!] yang menyebut “syahwat ibarat layar bagi sebuah biduk”

Sedangkan thanatos tak lebih hasrat merusak, dan menghancurkan termasuk diri sendiri. Ia juga mewakili watak agresi, kompulsi dan repetisi. Khusus hasrat menyakiti diri sendiri itulah yang menjadi alasan Freud menyebut thanatos sebagai faktor pemicu terjadinya laku menyudahi episode diri. Sedangkan agresi, dan keinginan menghancurkan yang ditujukan ke luar menjadi alasan pemicu terjadinya tindak kejahatan seperti meniadakan hak hidup orang lain. Keduanya diyakini sebagai tindak durjana.

Kendati demikian, konon, tindak durjana hadir sebagai pencerah laku sarjana, atau tingkah budi baik. Agar keberadaan budi baik tidak menjadi monolit, dan monopolistik. Sebab keduanya sebagai praksis “keberadaan” cenderung otoriter, dan kabar itu tak baik bagi keseimbangan hukum alam atas nama harmoni. Alasan lain, sesuatu disebut laku baik bila ada oposisi, atau pembanding. Tidak heran jika laku tersebut, bagi sebagian pemikir sosiologi kejahatan, dianggap keniscayaan hadirnya sebuah harmoni. Keseimbangan hukum alam. Sebuah paradoks! : perih Emile Durkheim.

Jumat, 01 Februari 2008

Tanjungpaniang, Kepulauan Risau

Nama Tanjungpinang, Pulau Bintan terngiang pertama kali saat aku duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. Saat itu ibu guruku yang cantik di kelas menerangkan, nun jauh di ujung barat wilayah Indonesia ada gugusan pulau yang dikenal dengan kekayaan hasil tambangnya, yaitu bauksit. Setelah lama menghilang dalam hiruk pikuk bertambahnya usia. Pada 6 Agustus 2007 aku berkesempatan menjejakkan kaki di tanah, yang oleh sebagaian kalangan disebut "Bumi Kata-Kata" karena kuatnya tradisi pantun, berbalut budaya Melayu yang menjadi lebensraum. Hanya bedanya, Tanjungpinang yang dulu kudengar masih merupakan ibukota Provinsi Riau, namun kini ternyata telah menjadi ibukota Provinsi Kepulauan Riau.

Syahdan, sekolompok elemen masyarakat yang menamakan diri Badan Pekerja Pembentukkan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR) berniat memekarkan diri, dengan alasan geografis dan kepentingan administratif. Perjuangan itu akhirnya berhasil. Kendati sempat melalui masa friksi kanan-kiri pascaterbentuknya provinsi baru itu, namun dengan sejumlah argumentasi dan alasan romantisme masa lalu, Tanjungpinang akhirnya dipilih kembali menjadi ibukota, sekaligus menasbihkan kota yang juga dikenal dengan sebutan Bumi Gurindam itu menjadi pusat kebudayaan Melayu [meski baru sebatas idealisme]. Sebuah niat dan nubuat yang masuk akal. Bukan saja karena maestro Gurindam, yaitu Raja Ali Haji terlahir di bumi ini tapi juga memang di sinilah masih bisa dilacak jejak tradisi tertulis Melayu, khususnya di jaman keemasan Kerajaan Riau-Lingga. Terakhir, napak tilas mencari jejak keping mozaik sejarah lisan dan tulisan itu sedang dilakukan sebuah tim dengan dukungan pendanaan dari kerajaan Inggris Raya.

Dan Tanjungpinang yang kupijak sekarang, ternyata bukan lagi terkenal dengan hasil tambang bauksitnya melainkan telah berubah menjadi rendezvous penampungan bakal TKI ke negeri tetangga Singapura, dan Malaysia. Tanpa bermaksud sinis, kenyataan itu akhirnya membuat perspektifku tentang Tanjungpinang bias. Memang jejak tambang bauksit masih bisa ditemui. Karena Tanjungpinang hanyalah bagian kecil dari Pulau Bintan, yang dalam pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) saat sekolah dasar selalu menjadi soal ulangan. Hanya saja jaman memang terus berubah. Tanjungpinang dan Pulau Bintan kini tidak hanya akan dikenang sebagai daerah penghasil tambang, namun juga ranah bagi para pencari kehidupan lebih baik di negeri jiran, alias TKI. Sayangnya, belum ada kepedulian dan perhatian hamba wet di kota ini untuk memaksimalkan keberadaan mereka menjadi potensi. Wajar bila akhirnya, hukum pasar yang berlaku, termasuk terjadinya praktek-praktek menyimpang dengan dukungan aparat untuk terus melegalkan keberadaan ilegal mereka.

Terlepas dari semua kenyataan itu, Tanjungpinang dalam pandangan aku tak ubahnya gerbong kereta yang sudah mulai menua sebelum waktunya. Ironisnya, kondisi itu bukan karena kesalahan rancang bangun awal pembuatan. Namun lebih karena kurang perawatan. Banyak penumpang, ternyata yang hanya ingin menumpang tanpa ada keinginan turut merawat keberadaan gerbong. Akibatnya, jalan kereta itu juga lambat, bahkan sempoyongan. Kabar baiknya, kereta masih berada di atas rel (not derailed yet). Kabar buruknya, pengelola kereta belum bisa menyuplai sendiri pasokan bahan bakar perjalanan. Tanpa bermaksud fatalis, jika budaya menumpang itu tidak dibarengi tradisi merawat gerbong, bukan tak mungkin kota yang kini dinahkodai seorang walikota cantik ini, merujuk istilah yang berkembang, bakal terpeleset menjadi "Tanjungpaniang, Kepulauan Risau," .....Tabik!