Harus diakui, suka tidak suka, keberadaan perempuan di kehidupan ini selalu membawa kehangatan sepanjang masa. Tak heran, bagi sebagian kalangan perempuan merupakan puncak pemujaan, sekaligus nadir penistaan. Dalam dunia, yang tak hanya bias laki-laki tapi juga kental dengan perdebatan persepsi ini, diakui tidak diakui, kehadiran perempuan semakin menegaskan penting, dan perlunya suatu antitesis gender bagi sintesis kesetaraan aksi, dan reproduksi melalui laku discourse dan intercourse. Terutama di saat laki-laki melihat perempuan tak lebih objek, bukan predikat apalagi subjek. Padahal perempuan, seperti dikutip dibanyak kisah-kisah Chicken Soup, merupakan sumber sebuah kesuksesan, bahkan keberhasilan hidup. Selebihnya, sudah sewajarnya perempuan diberikan aras dan kesempatan bermain, berkiprah, dan berperan sesuai porsi dan keahliannya.
Perempuan dalam Kebijakan Publik
Menghilangnya barang publik berupa kenyamanan dan keamanan menggugah kesadaran perlunya sebuah kebijakan publik, yang antisipasif terhadap rongrongan sirkumtansi dalam ruang publik. Perempuan, dalam kaitan ini, merasakan betul artinya kehilangan itu. Mereka kini tidak nyaman dengan hak publik yang dimiliki, dan ketakutan untuk melakukan aktivitasnya, bahkan di ruang publik yang tergolong kecil.
Menjadi pertanyaan kemudian, pernahkah sekali terlintas dalam benak kita apakah perempuan telah ditempatkan sebagai faktor penting pertimbangan bagi sebuah kebijakan publik? Sebut misalnya, sewaktu memutuskan pembangunan sebuah fasilitas publik. Dalam kaitan ini, secara sederhana mengemuka perlunya sebuah kebijakan publik yang ''ramah'' perempuan.
Aspek jender berupa penguatan jender menjadi mendesak untuk segera diperhatikan, tidak hanya sebatas wacana publik tetapi juga praksis pengambilan kebijakan publik. Penguatan jender pada dasarnya adalah upaya untuk memastikan keterlibatan dan pelibatan perempuan dalam setiap pertimbangan pengambilan keputusan kebijakan publik yang berdampak pada mereka.
Penguatan jender menjadi wacana yang menarik, apabila dikaitkan dengan kenyataan bahwa hampir separuh lebih penyusun komposisi penduduk adalah perempuan. Pada gilirannya dapat diasumsikan secara umum, bahwa yang akan memperoleh manfaat sekaligus dampak suatu kebijakan publik kebanyakan adalah perempuan. Sehingga wajar apabila perempuan menuntut keterlibatan yang awal, dalam semua rancangan hukum dan perundangan yang menyangkut kebijakan publik.
Sebuah kebijakan publik harus mengandung tiga aspek yaitu keadilan, pemerataan dan keberanian yang proporsional. Dalam perspektif ini, sebuah kebijakan publik yang ''ramah'' perempuan memperoleh alasan sahih untuk, mulai saat ini, dijadikan pertimbangan pembuatan suatu kebijakan publik. Namun upaya tersebut kental nuansa politisnya, maka aspek yang melekat pada perempuan perlu dipahami secara proporsional.
Kebijakan publik berdampak luas, maka setidaknya perempuan memperoleh bagian yang proporsional. Pemerataan ini tidak lain aktualisasi hak publik bagi perempuan. Oleh karena itu, sebuah kebijakan publik harus mengandung keberanian yang didasarkan pada dorongan sirkumtansi dan kebutuhan riil masyarakat.
Menempatkan perempuan sebagai aspek pertimbangan, dalam kebijakan publik merupakan langkah yang proporsional. Kebijakan publik yang ''ramah'' perempuan seyogianya ''dibayar'' oleh pengambil keputusan kebijakan publik. (agoes soemarwah) [artikel ini pernah diterbitkan harian Bali Post]
Kamis, 31 Januari 2008
Artikel Senilai Rp12 Juta
Jujur kuakui, keikutsertaan pada lomba penulisan artikel Telkomsel 2007 karena semata alasan lagi bokek, alias tidak punya duit. Tapi bedanya, aku tak mengejar hadiah utama apalagi juara. Namun hanya ingin honor sebesar Rp300 ribu untuk setiap tulisan yang diterbitkan. Terdengar materialis memang, dan memang materialis adanya. Namun demikian, aku pribadi tidak memandang keberhasilan semata dari deretan angka. Perlu pula aku ungkapkan, alasan lain menulis artikel tersebut juga karena terinspirasi kisah nyata kawanku sendiri, yang kini sedang bertugas di Jakarta, dan lagi-lagi seperti sebuah kebetulan yang terencana, kawanku itu pula yang pertama memberitahukan kemenangan itu. Selebihnya, silakan sidang pembaca menyimak, dan kalau perlu mengkritisinya.
Khalil Gibran pun Bertekuk Lutut
(Refleksi 12 Tahun Telkomsel Mengejar Laba)
SEPERTI musik, cinta adalah tema universal. Saking mendunianya cinta, ia bahkan bisa memerintah siapa melakukan apa saja. Namun, meminjam istilah William Shakespeare, cinta butuh medium. "Katakan (Cinta) dengan bunga," cetus pengarang Hamlet ini. Bunga hanya simbol, lazimnya musik yang berabad-abad lamanya menjadi simbol suasana.
Dan peradaban mencatat, perjalanan musik sebagai simbol suasana melampaui kelahirannya. Sejak jaman bahula hingga era nada sambung pribadi (NSP). Cinta dan musik, seiring waktu bahu membahu, menjadi medium manusia memaknai hidupnya. Keduanya menjadi "penyampai pesan" kemanusiaan menembus ruang dan waktu.
Seperti terungkap dalam kata-kata Khalil Gibran melalui The Prophet (1923). Atas nama cinta pula, pujangga cinta negeri Lebanon ini, rela mengembara ke segala penjuru mata angin. Namun, era Shakespeare dan Gibran sebagai "penyampai pesan" cinta telah usai. Sebagai gantinya hadir Telkomsel, yang tak henti-hentinya menjadi pengelana jagad maya mengabarkan pesan (baca:SMS), ke semua anak jagad.
Sebuah misi suci yang terekam baik oleh Gibran dalam The Wanderer (1932) dan diteruskan Telkomsel tepat 12 tahun silam. Melalui produk perdana sekaligus pasca bayar pertama pada 26 Mei 1995, Telkomsel membuat karir Gibran pensiun dini. Dengan sebuah wasiat, "terus jaga kesucian cinta,"
"Sayang, kapan kita jalan-jalan ke Lagoi lagi," bunyi SMS pecah keheningan malam seorang Cleopatra, bukan nama sebenarnya, di Batam, setahun silam. Namun bukan membuat hati berbunga namum murka. Selidik punya selidik pesan mesra itu salah alamat dan aib selingkuh pun terbongkar. Gibran pun meratap, Telkomsel gagal menjaga kesucian cinta.
"Sayap (Cinta) telah Patah," perih Gibran, (1912). Sebagai protes, Gibran memilih pensiun selamanya dan membiarkan Telkomsel melanjutkan tugasnya, meskipun Ia gundah namun Gibran mengakui kedigjayaan Telkomsel hingga akhir hayatnya. Setidaknya sebagai "penyampai pesan" Telkomsel telah membumi.
Melalui produk KartuHALO, SimPATI dan KartuAS, tulis situs www.telkomsel.com, sebanyak 35,6 juta (2006) pemujanya menunggu. Menjangkau 90 persen anak negeri, dari megapolitan Jakarta hingga kecamatan Sembulang, Batam. Sebanyak 16.000 BTS menjahit komunikasi antarpulau. Tahun 2007 sebanyak 5000 BTS antre menyambung komunikasi dari Aceh hingga Papua.
Penetrasi agresif ini kian menguatkan pengakuan Gibran, Telkomsel memang bisa dipercaya. Berbekal jaringan luas, kualitas jaringan, fasilitas produk yang lengkap, kenyamanan pelayanan purna jual, dan tarif yang wajar. Telkomsel makin menjulang sebagai penguasa pasar dengan omzet Rp34,89 triliun (2006) atau setara 56 persen kue industri seluler Tanah Air. (Agoes Soemarwah) [artikel ini pernah diterbitkan di Harian Tribun Batam]
Khalil Gibran pun Bertekuk Lutut
(Refleksi 12 Tahun Telkomsel Mengejar Laba)
SEPERTI musik, cinta adalah tema universal. Saking mendunianya cinta, ia bahkan bisa memerintah siapa melakukan apa saja. Namun, meminjam istilah William Shakespeare, cinta butuh medium. "Katakan (Cinta) dengan bunga," cetus pengarang Hamlet ini. Bunga hanya simbol, lazimnya musik yang berabad-abad lamanya menjadi simbol suasana.
Dan peradaban mencatat, perjalanan musik sebagai simbol suasana melampaui kelahirannya. Sejak jaman bahula hingga era nada sambung pribadi (NSP). Cinta dan musik, seiring waktu bahu membahu, menjadi medium manusia memaknai hidupnya. Keduanya menjadi "penyampai pesan" kemanusiaan menembus ruang dan waktu.
Seperti terungkap dalam kata-kata Khalil Gibran melalui The Prophet (1923). Atas nama cinta pula, pujangga cinta negeri Lebanon ini, rela mengembara ke segala penjuru mata angin. Namun, era Shakespeare dan Gibran sebagai "penyampai pesan" cinta telah usai. Sebagai gantinya hadir Telkomsel, yang tak henti-hentinya menjadi pengelana jagad maya mengabarkan pesan (baca:SMS), ke semua anak jagad.
Sebuah misi suci yang terekam baik oleh Gibran dalam The Wanderer (1932) dan diteruskan Telkomsel tepat 12 tahun silam. Melalui produk perdana sekaligus pasca bayar pertama pada 26 Mei 1995, Telkomsel membuat karir Gibran pensiun dini. Dengan sebuah wasiat, "terus jaga kesucian cinta,"
"Sayang, kapan kita jalan-jalan ke Lagoi lagi," bunyi SMS pecah keheningan malam seorang Cleopatra, bukan nama sebenarnya, di Batam, setahun silam. Namun bukan membuat hati berbunga namum murka. Selidik punya selidik pesan mesra itu salah alamat dan aib selingkuh pun terbongkar. Gibran pun meratap, Telkomsel gagal menjaga kesucian cinta.
"Sayap (Cinta) telah Patah," perih Gibran, (1912). Sebagai protes, Gibran memilih pensiun selamanya dan membiarkan Telkomsel melanjutkan tugasnya, meskipun Ia gundah namun Gibran mengakui kedigjayaan Telkomsel hingga akhir hayatnya. Setidaknya sebagai "penyampai pesan" Telkomsel telah membumi.
Melalui produk KartuHALO, SimPATI dan KartuAS, tulis situs www.telkomsel.com, sebanyak 35,6 juta (2006) pemujanya menunggu. Menjangkau 90 persen anak negeri, dari megapolitan Jakarta hingga kecamatan Sembulang, Batam. Sebanyak 16.000 BTS menjahit komunikasi antarpulau. Tahun 2007 sebanyak 5000 BTS antre menyambung komunikasi dari Aceh hingga Papua.
Penetrasi agresif ini kian menguatkan pengakuan Gibran, Telkomsel memang bisa dipercaya. Berbekal jaringan luas, kualitas jaringan, fasilitas produk yang lengkap, kenyamanan pelayanan purna jual, dan tarif yang wajar. Telkomsel makin menjulang sebagai penguasa pasar dengan omzet Rp34,89 triliun (2006) atau setara 56 persen kue industri seluler Tanah Air. (Agoes Soemarwah) [artikel ini pernah diterbitkan di Harian Tribun Batam]
Rabu, 30 Januari 2008
Narsis Tapi Bukan Ateis!
Bagi sebagian kalangan, narsis atau menyukai diri sendiri secara berlebihan merupakan sesuatu yang keterlaluan, bahkan tidak tahu malu (Nah lo!). Begitu pula menjadi ateis. Tidak hanya akan dicibir mereka yang mengaku saleh, tapi juga bakal dinista mereka yang beragama. Berangkat dari pengertian ini, ijinkan aku menjelaskan maksud menjadi narsis, tapi bukan ateis. Bagi aku percaya adanya Tuhan, atau Yang Maha Sempurna merupakan sebuah keniscayaan, dan juga ungkapan keyakinan hati. Karena itu aku tak ingin menjadi ateis. Kenapa narsis? Karena sejatinya, pada setiap jiwa bersemayam ego menyukai diri sendiri. Sementara narsis dalam pengertian, dan konteks aku di sini tidak lebih keyakinan aku terhadap sembarang isu, dan permasalahan yang ada. Karena itu aku sangat senang dengan tanggapan, bahkan kritik untuk setiap isu yang telah aku komentari.
Dari Kampoeng Menuju Loemboeng
Saat menulis judul ini aku juga tak tahu maksudnya. Namun, secara singkat bisa aku jelaskan alasan memilih judul itu. Sebagai perantau, bagi aku kampung halaman merupakan titik awal sebuah perjalanan panjang, yang tetap akan menjadi bagian masa lalu, masa kini, dan masa depan. (Interupsi Pembaca: Foto Cover Karya Temanku, Nyonk) Kampung, tempat dimana aku terlahir merupakan sebuah ruang hidup yang mengajari segala bentuk, dan ragam cerita kehidupan berikut segala tipu dayanya. Lalu apa makna lumbung? Yang jelas bukan tempat untuk menyimpan padi, apalagi harta hasil korupsi. Lumbung di sini lebih bermakna tempat untuk memaknai arti masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang lengkap dengan kisah duka lara, dan suka cita. Akhirnya, selamat datang dan bergabung dengan catatan perjalanan ringkas seorang narsis, tapi bukan ateis!
Langganan:
Postingan (Atom)