Minggu, 12 Oktober 2008

Kritik Seorang Robby...

BELAKANGAN ini, kalau lagi main ke Pinang, saya bersama kawan-kawan terangsang berdiskusi tentang istilah baru, yang diinisiasi temanku Aji dalam jurnalistik : Wartawan Birokrat! Istilah yang tiba-tiba membuat Aji riang mendiskusikannya, membuat temanku lainnya, Robbi berikhtiar menerangkannya lewat narasi menarik dalam tulisan di blog-nya.

Bahkan di blog-nya dengan kritis ditulis: Wartawan birokrat kerjanya hanya di kantor dan jarang terjun ke lapangan meliput berita berbobot. Mereka hanya duduk depan komputer memindahkan berita reporter ke desain halaman koran. Mereka sok berkuasa dengan egonya memerintahkan wartawan lainnya, bawahannya yang tak lain wartawan.

Padahal mereka juga wartawan. Hanya pangkat yang diberikan oleh manajemen kantor yang membuat mereka jadi wartawan birokrat. Mungkin karena mereka sudah lama bekerja di media tersebut. Sehingga manajemen memberikan penghargaan dengan diberikan pangkat, dan gaji lebih besar. Sungguh berbeda dengan jurnalis di negara maju. Walaupun sudah diangkat menjadi editor, namun mereka tetap menulis.

Tentunya tulisan yang berkelas dalam bentuk in-depth news. Bukannya berita biasa atau straight news. Ataupun berita seremoni meliput kegiatan pejabat. Sungguh memalukan jika sekelas wartawan birokrat menulis berita seremoni. Dan paling parah, EYD-nya juga salah. (...)

Selepas membaca itu, saya tertarik. Apalagi Robbi memberikan contoh wartawan di luar negeri. (1) Kalau boleh jujur sebenarnya istilah itu bukan hanya diperlukan, tapi niscaya dalam industri pers saat ini. Karena kerja pers sifatnya berjenjang, dan mempunyai alur penyelesaian panjang. Mulai bahan mentah menjadi masakan, dalam istilah Robbi, yang lezat. (2) Namun saya juga sepakat, kalau saat ini gejala yang dikritisi Robbi memang ada dan nyata.

Saya menyebut (1) meniscaya, dengan merujuk perspektif birokrasi Weber. Dimana tujuan birokrasi sebut Weber, ialah mengupayakan tujuan organisasi tercapai dengan memanfaatkan instrumen, dan sumber daya yang ada. Konteks media massa tentu jejaring dan birokrasi internal yang ada dalam redaksi. Birokrasi Weber juga mengupayakan kerja lebih maksimal, masuk akal, dan terorganisir. Pada akhirnya, ada profesionalisme bidang alias seseorang bertanggung jawab sesuai dengan pekerjaannya.

Dengan merujuk perspektif Weberian ini, maka bagi saya wartawan birokrat bukan seratus persen menjadi terdakwa dalam perdebatan profesionalisme jurnalis, baik etik maupun definisi. Namun sebaliknya, (2) mengacu birokrasi Mataram-an maka saya sangat sepakat dengan Robbi. Karena dalam suasana birokrasi ini terjadi egoisme. Lantaran bukan hanya ada pengenalan kelas memerintah dan diperintah. Lebih dari itu, birokrasi Mataraman juga lahir bukan untuk pencapaian tujuan organisasi, tapi sebaliknya pencapaian kelas tertentu di redaksi. Nah, birokrasi mana yang kini mengisi redaksi pers di Batam, Indonesia, dan bahkan internasional? Nuwun.