Kamis, 02 April 2009

Menunggu Kabar Semenanjung Gingseng

MEMANASNYA situasi Semenanjung Korea patut dicermati secara seksama. Apalagi di tengah kondisi perekonomian dunia yang belum pulih dari pukulan krisis keuangan global. Pecahnya perang dipastikan membuat dunia berada di tubir ketidakpastian.
Bukan saja terbitnya ancaman perang Korea babak II, sehingga dikhawatirkan memicu terjadinya eskalasi perang. Namun lebih dari itu dampak lanjutan yang timbul seandainya hal itu terjadi. Meski tidak langsung berpengaruh terhadap negeri kita, namun perang yang terjadi berpotensi merusak tatanan yang ada, termasuk tatanan ekonomi.
Namun bukan alasan ekonomi yang membuat kita berharap ancaman perang itu redam. Sebaliknya, sebagai negara kita tentu ingin dunia ini terbebas dari peperangan. Apalagi konstitusi negeri kita juga menyerukan pentingnya perdamaian dunia di atas segalanya. Karena hanya dengan kondisi damai, negara dapat menata langkah untuk mewujudkan cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Namun demikian, kita juga tak bisa pungkiri ancaman perang di semenanjung penghasil gingseng itu bakal berimbas terhadap negara lainnya, termasuk negara kita. Mungkin bukan hubungan politik yang terimbas, tapi bisa jadi hubungan dagang. 
Pasalnya, negara Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat dan Korea Utara merupakan mitra perdagangan selama ini, meski dengan skala dan besaran yang berbeda. Tentu di tengah situasi ekonomi dalam negeri yang masih terpukul krisis keuangan global, kita tak ingin ada lagi hantaman krisis baru. 
Namun memang tak ada yang bisa dilakukan lebih jauh, selain menunggu kabar baik dari Negeri Gingseng itu. Selebihnya, kita berharap krisis itu segera mereda, sehingga ancaman krisis baru terhindarkan. Kita juga berharap para pihak bertikai kembali duduk bersama berdialog menghilangkan rasa saling curiga. 
Karena pilihan perang seperti peribahasa, hanya akan menyisakan pemenang menjadi arang, dan yang kalah menjadi abu. Sejarah juga mencatat perang hanya membuat dunia berduka. Namun demikian, situasi di Semenanjung Gingseng sejak lama memang tak bisa diprediksi. Di dalamnya bukan hanya persoalan politik dan ekonomi, namun diyakini juga ada faktor lain yang membuat rekonsiliasi seperti sebuah duri.
Negeri kita bukannya tak pernah melakukan upaya diplomasi meredakan ketegangan yang berakar sejak Perang Korea di tahun 1953. Bahkan, secara teknis kedua Korea masih berperang karena belum ada perjanjian perdamaian. Perdamaian di semenanjung itu penting, namun demikian kita juga tak bisa melarang masing-masing negara mempertahankan harga dirinya.
Selebihnya, kita hanya bisa berharap di tengah morat maritnya perekonomian dunia saat ini, situasi yang terjadi bukan bagian pembenaran asumsi Von Clausewitz, pemikir perang Jerman.
Bahwa perang adalah politik dengan cara lain seperti terekam dalam karyanya On War (1832).
Karena perang, bagaimanapun dan untuk alasan apapun hanya mengabarkan cerita duka. (*)



Selasa, 18 November 2008

Catatan Media (1)

Fenomena Ghostwriter

KIAN mendekat ke tahun politik 2009, maka sembarang isu yang mengemuka ke tengah masyarakat sebagai calon pemilih, langsung ditangkap cepat sembarang kalangan yang merasa berhak bependapat. Sebut saja polemik kenaikan tarif BBM, air atau listrik termasuk di Batam. Namun agar pendapat itu bisa tersalurkan, dan syukur-syukur didengar masyarakat, maka cara mudah melirik media, terutama yang menyediakan rubrik opini dan interaktif.

Menjadi kian menarik, karena ternyata dari semua yang ingin bersuara itu, tak semuanya bisa menyampaikan secara tertulis, alias melalui artikel media. Meski secara subtansi, pemikiran dan logika pendapat yang bergemuruh di benak mereka jelas dan make sense. Namun, sama seperti di banyak tempat lainnya, itu agaknya bukan menjadi sebuah persoalan pelik. Karena selalu ada orang yang siap membantu menuangkan ide itu menjadi sebuah pendapat yang tersaji sebagai tulisan.

Maka bermunculanlah fenomena, dalam istilah orang bule, Ghostwriter (tapi bukan penulis hantu loh!) Di Kepri menurut penuturan seorang kawan memang ada kenyataan itu. Menariknya, motif dan kerjasama mereka beragam. Tapi, tujuannya sama ialah terdengarnya suara dan aspirasi mereka, tentu saja aspirasi pribadi apapun alasan pembungkusnya.

Lalu terjalinlah simbiosis mutualisme, dan beberapa varian sebagai hasil : (1) Tulisan pesanan, dan (2) Tulisan konsinyasi. Tulisan pesanan, Ghostwriter hanya menjadi penulis yang menuangkan ide dan pendapat pemesan, alias begitu keluar yang tertera nama (by line) pemesan. Dan sebagai kompensasi biasanya uang, atau bentuk tanda terima kasih lainnya. Tulisan konsinyasi, keduanya punya andil karena sama-sama membutuhkan dukungan. Ikatan kerjasamanya berupa, penulis yang mempunyai ide tapi menggunakan nama orang lain yang dianggap suaranya lebih didengar, minimal dianggap tokoh atau menokohkan diri. Kompensasi? Tidak selalu uang, tapi sebuah relasi.

Meski bukan fenomena baru, keberadaan Ghostwriter selalu menarik, terutama jelang tahun politik. Pasalnya, semua yang berkepentingan ingin didengar, dan memposisikan diri sebagai penyambung lidah suara yang tersendat, dipastikan tak bisa lama menafikan penulis hantu ini, eh..maaf Ghostwriter. Selebihnya, selamat mencermati dan mengenali fenomena ini! Tabik!

Minggu, 12 Oktober 2008

Kritik Seorang Robby...

BELAKANGAN ini, kalau lagi main ke Pinang, saya bersama kawan-kawan terangsang berdiskusi tentang istilah baru, yang diinisiasi temanku Aji dalam jurnalistik : Wartawan Birokrat! Istilah yang tiba-tiba membuat Aji riang mendiskusikannya, membuat temanku lainnya, Robbi berikhtiar menerangkannya lewat narasi menarik dalam tulisan di blog-nya.

Bahkan di blog-nya dengan kritis ditulis: Wartawan birokrat kerjanya hanya di kantor dan jarang terjun ke lapangan meliput berita berbobot. Mereka hanya duduk depan komputer memindahkan berita reporter ke desain halaman koran. Mereka sok berkuasa dengan egonya memerintahkan wartawan lainnya, bawahannya yang tak lain wartawan.

Padahal mereka juga wartawan. Hanya pangkat yang diberikan oleh manajemen kantor yang membuat mereka jadi wartawan birokrat. Mungkin karena mereka sudah lama bekerja di media tersebut. Sehingga manajemen memberikan penghargaan dengan diberikan pangkat, dan gaji lebih besar. Sungguh berbeda dengan jurnalis di negara maju. Walaupun sudah diangkat menjadi editor, namun mereka tetap menulis.

Tentunya tulisan yang berkelas dalam bentuk in-depth news. Bukannya berita biasa atau straight news. Ataupun berita seremoni meliput kegiatan pejabat. Sungguh memalukan jika sekelas wartawan birokrat menulis berita seremoni. Dan paling parah, EYD-nya juga salah. (...)

Selepas membaca itu, saya tertarik. Apalagi Robbi memberikan contoh wartawan di luar negeri. (1) Kalau boleh jujur sebenarnya istilah itu bukan hanya diperlukan, tapi niscaya dalam industri pers saat ini. Karena kerja pers sifatnya berjenjang, dan mempunyai alur penyelesaian panjang. Mulai bahan mentah menjadi masakan, dalam istilah Robbi, yang lezat. (2) Namun saya juga sepakat, kalau saat ini gejala yang dikritisi Robbi memang ada dan nyata.

Saya menyebut (1) meniscaya, dengan merujuk perspektif birokrasi Weber. Dimana tujuan birokrasi sebut Weber, ialah mengupayakan tujuan organisasi tercapai dengan memanfaatkan instrumen, dan sumber daya yang ada. Konteks media massa tentu jejaring dan birokrasi internal yang ada dalam redaksi. Birokrasi Weber juga mengupayakan kerja lebih maksimal, masuk akal, dan terorganisir. Pada akhirnya, ada profesionalisme bidang alias seseorang bertanggung jawab sesuai dengan pekerjaannya.

Dengan merujuk perspektif Weberian ini, maka bagi saya wartawan birokrat bukan seratus persen menjadi terdakwa dalam perdebatan profesionalisme jurnalis, baik etik maupun definisi. Namun sebaliknya, (2) mengacu birokrasi Mataram-an maka saya sangat sepakat dengan Robbi. Karena dalam suasana birokrasi ini terjadi egoisme. Lantaran bukan hanya ada pengenalan kelas memerintah dan diperintah. Lebih dari itu, birokrasi Mataraman juga lahir bukan untuk pencapaian tujuan organisasi, tapi sebaliknya pencapaian kelas tertentu di redaksi. Nah, birokrasi mana yang kini mengisi redaksi pers di Batam, Indonesia, dan bahkan internasional? Nuwun.

Senin, 30 Juni 2008

The Shock Doctrine of Naomi Klein

(Los Angeles Times, June 22, 2008)

NAOMI Klein launches a highly polemical, and persuasive, assault on free-market fundamentalism. She rips into the big-business agenda to show how economic opportunists need and promote misery and disaster, challenging us to look at world-changing events -- Pinochet's coup, Tiananmen Square, the collapse of the Soviet Union, Hurricane Katrina -- from a whole other perspective. Not everybody's going to agree with her, but this is reporting and history-writing in the tradition of Izzy Stone and Upton Sinclair. Klein upends assumptions and demands that we think -- her book is thrilling, troubling and very dark.

Turki: Luar Biasa!

KALAU boleh jujur, dari sekian pertandingan yang dimainkan saat hajatan Piala Eropa 2008 Austria-Swiss begulir, hanya pertandingan Jerman-Turki yang membuatku terangsang untuk berkomentar. Pasalnya, pertandingan keduanya juga bernuansa duel sejarah. Semua bermula dari kekuasaan Kekaisaran Turki Usmani, yang di masa lalu pernah disebut “imperialis” oleh bangsa eropa. Bahkan, kalau pintu gerbang Wina pada saat itu bisa jebol oleh bala tentara Turki Usmani, maka boleh jadi peta eropa tidak seperti saat ini.

Namun, terlepas dari sentimen sejarah itu, pertandingan Jerman-Turki mempertontonkan semangat tak kenal menyerah hingga peluit terakhir berbunyi. Selebihnya, inilah pertanda kebangkitan Turki setelah bertahun-tahun lamanya menndapat julukan “The Sick Man of Europe” Semangat menyala gelandang Kazim Kazim, dan penyerang tengah Semih Santurk, dengan dukungan kiper Rustu Recber menggambarkan terbebasnya Turki dari belenggu trauma sejarah, yang selalu distigmakan dengan “pertarungan” modernisme cum sekulerisme dengan moderinisme cum Erbakanisme.

Seakan semua itu merupakan bagian masa lalu. Kini adalah Turki yang menatap terang jalan masa depan. Terang yang suluh lenteranya bermula dari kemenangan Erdogan dengan dukungan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) mendudukan Abdullah Gul sebagai kepala negara, dan menguasai parlemen yang sejak bertahun-tahun lamanya dikuasai kalangan sekuler dukungan militer. Turki saat ini juga Turkiye yang tengah menjalani proses krusian de-sekulerisasi. Benarkah? Tapi, setidaknya sepakbola yang dipertontonkan anak asuh Fetih Terim menggambarkan sebuah nyala nasionalisme.

Itu artinya olahraga, persisnya sepakbola juga mewariskan semangat cinta tanah air. Ia telah berhasil menghidupkan semangat kebangsaan. Bahkan bagi sebagian, kemenangan sepakbola berubah menjadi kompensasi cum katarsis sebuah negara akibat sebuah kenyataan getir. Pertandingan Argentina-Inggris, Iran-Amerika Serikat, Korea Utara-Korea Selatan selalu merebakkan sinyal itu. Tapi, di luar semua itu lazimnya bahasa, kini sepakbola juga telah menjadi elemen perekat rasa kebangsaan. Ia telah menjadi identitas kebangsaan. Balack adalah Jerman, Chivu ialah Romania, Novak adalah Kroasia. Buffon adalah Cattenacio, Robben ialah Totaal Voetball, Torres adalah El Matadore. Selebihnya, Turkey is Superb!

Jurnalisme Bantuan Langsung Tunai!

BEBERAPA hari terakhir, entah kenapa kami bersama sebagian kawan tiba-tiba saja suka bicara soal jurnalisme, termasuk beberapa variannya. Namun di antara perbincangan, yang tiba-tiba tercetus begitu saja, agaknya mencuat dua varian jurnalisme yang selalu mengusik, bukan hanya untuk diperdebatkan tapi juga dicemooh. Apalagi kalau bukan (1) Jurnalisme Sontoloyo, dan (2) Jurnalisme Bantuan Langsung Tunai (BLT)!

Entah kenapa tiba-tiba dua jurnalisme itu begitu menarik dibicarakan, bahkan renyah untuk dijadikan bahan olokan. Padahal, kalau boleh jujur, sebagai sebuah varian jurnalisme keduanya terhitung banyak pengikutnya. Setidaknya hingga kami sepakat mengakhiri perdebatan beberapa hari yang lalu. Tapi, berbicara jurnalisme sebenarnya banyak jenis dan varian jurnalisme. Kalau merujuk sejarah, terutama di Amerika Serikat di masa keemasan Joseph Pulitzer---terakhir namanya diabadikan sebagai anugerah tertinggi jurnalistik di negeri Paman Sam, dan Wiliam Randolph Hearst, maka mengemuka jurnalisme sensasi.

Sebuah genre jurnalisme yang dibangun berdasar kabar burung, gosip dan sensasi. Meski sebenarnya kadang juga merupakan fakta yang terkesan fiksi. Namun pada sat itu, boleh disebut jurnalisme sensasi memang sedang mendapatkan momentum. Maka, dua nama yang sepanjang hidupnya terus menerus bersaing sehingga membuat negeri Paman Sam akhirnya menjadi kiblat jurnalisme, meraih reputasi sangat tinggi di masyarakat. Informasi yang mereka beritakan selalu beroleh sambutan antusias.

Dengan sedikit bumbu okultisme, takhayul, bahlul, laporan yang penuh sensasi, dan penulisan hiperbolik keduanya berlomba menawarkan sebuah pemberitaan yang menawarkan semangat “pencerahan” jaman. Tentu saja Amerika Serikat jaman perkembangan. Sejarah akhirnya mencatat, kehadiran mereka dengan berita sensasi itu menandai lahirnya jurnalisme khas yellow newspaper alias koran kuning. Sebuah genre yang sejauh ini terus berhasil menadapat tempat di hati masyarakat lantaran pemberitaan bombastis, mistik, dan kadang berdarah-darah.

Selain jurnalisme itu, sejarah juga mencatat varian jurnalisme lain seperti jurnalisme investigasi yang mencapai puncaknya saat dua wartawan Washington Post, Woordward dan Bernstein berhasil mengungkap skandal Watergate yang akhirnya menjungkalkan Presiden Richard Nixon. Tapi, sejarahnya sendiri seperti tulis Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam 9 Elemen Jurnalisme, bermula beberapa tahun sebelumnya. Persisnya, Amerika Serikat pascaperang dunia II. Terakhir, keberhasilan itu diangkat ke layar perak dengan judul film “All President’s Men”

Lalu muncul pula jurnalisme sains, bisnis, olahraga, dan paling gres seiring dengan semangat jaman, dan kemajuan teknologi informasi yaitu jurnalisme warga (citizen journalism). Kemunculan jurnalisme ini berangkat dari premis, dengan berkembangnya teknologi, maka kekuasaan informasi tidak lagi monolitik. Dengan kata lain telah terjadi demokrasi informasi melalui bantuan teknologi. Informasi bukan lagi monopoli media konvensional yang monolog, tapi sebuah forum masyarakat yang terbingkai dalam sebuah dialog digital. Kemunculannya juga diyakini oleh sebagian pemikir dan pengamat media, lantaran bakal berakhirnya masa keemasan kiprah media konvensional. Disebut 2044, media cetak diperkirakan akan berakhir. Keyakinan itu didukung kian menurunya tiras media cetak, dan pada saat yang bersamaan mulai digandrungi media online. Tapi, di antara semua varian itu paling menarik menurut aku, tentu saja jurnalisme yang selama ini diyakini Leonard Downie Jr, Pemred Washington Post yang belum lama ini menyatakan pensiun setelah mengawal koran kebanggaan Katherine Graham meraih 25 penghargaan Pulitzer selama 17 tahun kepemimpinannya.

Apalagi kalau bukan jurnalisme akuntabilitas. Sebuah jurnalisme yang dibangun, bukan semata mendasarkan pada fakta tapi juga berusaha menghindari sensasi. Tak heran, Downie beberapa kali menunda pemuatan berita yang sebenarnya kalau bicara pasar bakal laku keras, hanya lantaran belum memenuhi aspek akuntabilitas, baik secara jurnalistik maupun secara etik. Selain jurnalisme semua itu, kita juga mengenal jurnalisme sentuhan (touching journalism) yang berkonsep empati, dengan mengulurkan bantuan meringankan derita sesama. Sebuah jurnalisme, yang menurut aku, sangat pas dengan kondisi negeri kita saat ini.

Sebuah koran terbitan Batam secara konsisten mengusung jurnalisme jenis ini. Hampir lupa, ada juga jurnalisme pariwara alias jurnalisme kapital. Sebuah jurnalisme yang dirancang berdasar siapa yang bayar [mohon maaf!] dan semata-mata untuk menumpuk kapital, agar modal terus membesar. Tapi, di saat kapitalisme juga menjangkiti media massa dan telah menjadi sebuah industri maka, sedikit mengutip Tajuk Rencana Kompas (28/6) berjudul “Media Massa dan Determinasi Pasar”, maka dalam pemahaman saya merupakan sesuatu yang tak terbendung, atau niscaya dalam semangat untuk bertahan hidup. Hanya, ironisnya seringkali tafsir untuk menghamba ke pasar itu justru dipicu oleh pengelola koran itu sendiri.

Nah, kini kembali ke obrolan kami beberapa hari terakhir sekaligus menambah deretan jurnalisme yang pernah dikenal. Pertama, tentu saja jurnalisme sontoloyo---meninjam istilah Kepala BIN Syamsir Siregar. Yaitu sebentuk jurnalisme yang semata-mata lahir dan didorong perilaku pragmatisme. Ketika etika, dan rasa profesi dinisbikan untuk merengkuh sesuatu yang absolut (baca: uang, tapi bukan berupa amplop loh!). Kedua, ini yang paling asyik diperbincangkan, yaitu jurnalisme BLT, alias jurnalisme bantuan langsung tunai (baca: jurnalisme amplop, begitu wawancara terima amplop). Seperti banyak pengamat masalah sosial sebutkan, bantuan langsung tunai (BLT) disebut tidak mendidik, tapi untuk saat ini memang dibutuhkan. Maka jurnalisme BLT juga berlaku aturan yang sama.

Jurnalisme BLT tidak lain jurnalisme memberi ikan, dan bukan kail (kata pengamat loh!). Tapi, uniknya varian jurnalisme lama ini selalu berhasil mendapatkan dukungan baru setiap waktu. Bahkan keberadaannya seakan telah menjelma menjadi berhala. Apalagi di saat deretan angka merupakan keniscayaan, dan ukuran sebuah kesuksesan. Sebuah perilaku, meminjam istilah Goethe dalam lakon Faust, yang subur menjamur di saat sesiapapun rela menggadaikan kepalanya untuk kepentingan “ideologi” perut, dan bawah perut. [informasi terkait baca tulisan Karl Marx di Mata Temanku Paijo—pen]. Lalu kenapa itu bisa terus terjadi? Tentu bukan kapasitas aku untuk menjawabnya, dan malah boleh jadi Anda, sidang pembaca yang bisa menjawabnya. Tabik!

Sabtu, 31 Mei 2008

Masak, Macak, Manak

Entah siapa yang memulai perempuan selalu saja lekat dengan stereotype masak, macak, dan manak. Seolah kehidupan perempuan tak pernah jauh dari sumur, dapur, dan kasur. Padahal sebuah riset membuktikan, kemampuan matematikan perempuan sama baiknya dengan kaum laki-laki, bahkan di Finlandia malah jauh lebih unggul. Bagi kalangan feminis, stereotype itu jelas merendahkan. Tapi, bagi sebagian lainnya sepertinya memang sebuah kenyataan. Apalagi sejauh ini masih banyak kaum perempuan yang belum menyadari kekuatan utamanya. Apa itu? Tentu saja kekuatan dan kedahsyatan teori reproduksi. Apa itu artinya? “Hamil Adalah Hak!” Setujukah? Coba tanya pada diri sendiri gals!