Senin, 24 Maret 2008

Catatan Kedai Kopi (3-Habis)

Air Juga Makhluk!

Setiap tanggal 22 Maret selalu diperingati sebagai Hari Air se-Dunia. Namun tidak sadar, selama berabad-abad lamanya, manusia memperlakukan air seenaknya. Di saat berlimpah keberadaannya tak pernah dihiraukan. Namun di kala terbatas ketersediannya juga selalu menjadi bahan gerutuan. Padahal sebagai barang publik, keberadaan dan ketersediaan air harus dimanfaatkan secara beradab, adil antara kebutuhan dan keinginan. Ironisnya, justru atas nama dua alasan itu, air akhirnya berubah menjadi makhluk yang menakutkan.

Dalam prakteknya, karena kebutuhan air akhirnya menjadi barang yang dikuasai untuk kepentingan berdalih keagamaan. Air karena keinginan, akhirnya juga menyerah menjadi barang yang dikuasai kepentingan ekonomi. Saat air menjadi barang ekonomi, maka saat itulah statusnya sebagai barang publik berakhir. Ia dipuja karena berharga jual. Air menjadi komoditas yang diperjualbelikan, baik saat melimpah apalagi saat terbatas. Dua motif itulah, keagamaan dan ekonomi yang akhirnya membuat air sebagai makhluk tercerabut dari akar keadilannya. Alhasil, air untuk sebagian dipaksa untuk menyandera makluk lain.

Ujungnya bahaya perang juga mengintip, karena aksi klaim dan kesewenangan terhadap keberadaan dan ketersediaan. Apalagi dengan dalih keagamaan, air semakin dibekap suaranya sebagai keadilan dunia. Dia menjadi sesuatu yang sia-sia karena alasan ritual. Menjadi semakin parah, ketika dengan ketersediaan dan keberadaaan itu akhirnya dieksploitasi karena ambisi mengejar rente. Banyak contoh bisa dilihat, sebut saja saat terjadi kenaikan tarif air. Dengan semakin menipisnya cadangan air layak guna, seharusnya keberadaan dan ketersediaan air dikembalikan pada asalnya. Agar hidup ini tidak menjadi panas karena hilangnya rasa keadilan. Karena, untuk alasan apapun dan bagaimanapun, air juga makhluk!

Catatan Kedai Kopi (2)

Memaknai Ayat Ayat Kontemporer

Sejak meledaknya karya sinema berjudul “Ayat-ayat Cinta” besutan Hanung Bramantyo, mengadopsi novel karya Habiburrahman El Shirazy, mencuatkan betapa dahsyatnya kekuatan sastra bagi perubahan sosial, atau setidaknya bagi perdebatan sosial. Baik melalui milis, opini media, lorong perkauman, atau lewat lapak-lapak pedagang kaki lima. Dalam banyak perdebatan itu, saling berkelindan berbagai kepentingan, dan pembenaran.

Tafsir pun bermunculan. Benarkah ada kepentingan kapitalisme di dalamnya? Sungguhkan ada semangat anti kapitalisme di situ? Atau malah, salahkah menjadikannya kepentingan politik atas nama pencitraan diri? Tak jelas ada tidaknya jawaban semua pertanyaan itu. Kecuali sebuah jeda, antara benar dan salah. Biar tak terlarut dalam debat kusir, mungkin sebaiknya simak ujaran Karl Popper, filsuf Inggris sebagai semacam sandaran, “Sesuatu dianggap benar ketika terbukti tidak keliru,” Setelah itu, silakan memaknai ayat-ayat kontemporer tersebut.

Kenapa kontemporer? Novel dan sinema, meski diyakini sebagai alat perubahan sosial, keduanya juga bias terhadap pemaknaan, bahkan kepentingan. Sehingga keduanya tidak netral nilai. Namun sebagai ruang, keduanya merupakan katarsis guna mencurahkan semua pengalaman hidup, bahkan pemikiran sebuah keinginan termasuk yang paling kontroversial sekalipun. Rancunya, kedua fungsi itu berkelindan, bahkan kadang berselingkuh atas semangat “siapa memanfaatkan apa”. Ambil contoh novel Salman Rushdie, “The Satanic Verses”. Sebagai ruang pemaknaan, novel itu sempat menimbulkan perdebatan sosial, bahkan dimanfaatkan sebagai sarana propaganda, baik penentang maupun pendukungnya. Hal serupa juga berlaku untuk novel karya El Shirazy, kali ini untuk kepentingan propaganda membangun citra diri.

Setidaknya tafsir itulah yang bisa disodorkan guna memahami “langkah’ cerdas Jusuf Kalla, dan Ismeth Abdullah. Wakil Presiden RI dan Gubernur Kepri itu seperti mengerti betul psikologi budaya pop guna mendongkrak popularitas. Terlepas untuk mengisi libur panjang, namun pilihan keduanya menonton film “Ayat-Ayat Cinta” terpisah di Jakarta dan Batam, dengan liputan media massa seakan memposisikan diri sebagai bagian masa kini, dan bukan warisan generasi jadul alias jaman dulu. Dan perjalanan budaya kontemporer mengajarkan, setidaknya ada dua pola guna mendongkrak rating ketenaran diri.

Selain melalui laku kontroversi, juga bisa menumpang budaya kontemporer yang sedang meroket saat itu. Apalagi di jaman ketika keinginan bisa direkayasa dengan bantuan media massa, termasuk melalui karya sasta dan karya sinema. Tulisan Bre Redana, Kompas (23/3) bertajuk Agnes sangat cerdas mengulasnya. Mengutip teori Benjamin Barber, yang terkenal dengan bukunya Jihad Vs McWorld, Bre menyebut saat ini sedang terjadi fenomena terbalik. Hadirnya mal, kata dia merujuk buku Consumed-nya Benjamin Barber, tak lebih pabrikasi keinginan (manufacturing of wants). Pada konteks yang sama, dibuatnya film “Ayat-Ayat Cinta” juga dalam upaya meniscayakan kegairahan itu.

Sehingga semakin meledak budaya pop itu, maka kian terkatrol rating diri. Begitupun sebaliknya, kian kontroversial pilihan sikap dan laku terhadap sebuah isu kontemporer, maka semakin mengular pula barisan pendukung paduan suaranya. Novel dan sinema, juga sudah lama menjadi sarana untuk kepentingan itu. Sebut sinema, sudah sejak lama ia menjadi wahana melontarkan gagasan, guna mengetahui respon publik. Sehingga ketika publik memprotesnya, maka bisa dipahami publik belum bisa menerima ide yang difilmkan. Namun demikian, ide itu tidak akan punah, sebaliknya dia tetap membara dan hanya meninggalkan film sebagai tumbalnya.

Lazimnya hukum kekekalan energi, meminjan istilah John F. Kennedy, keduanya (novel dan film) juga mengalami jatuh bangun, pemujaan dan penistaan. Namun ide itu tetap kekal, sekekal kepentingan dalam politik. Tak heran, jika dibalik suksesnya film “Ayat Ayat Cinta” terselip kritik masuknya kepentingan kapitalisme (baca: monopoli). Sederhana saja, kalau film itu dibuat untuk mengejar keuntungan dan tak semata menyediakan hiburan, maka jelas itu bentuk kapitalisme. Namun dari jenis yang tidak membahayakan. Lalu sungguhkan di dalamnya juga ada semangat anti kapitalisme?

Dalam perspektif Hegelian, setiap kehadiran kapitalisme pasti dengan sendirinya dibarengi semangat anti-kapitalisme. Tidak percaya? Tengok saja di lapak-lapal kaki lima, video bajakan film sama dengan mudah ditemukan. Tentu saja dengan harga proletar, yang sejak dulu diposisikan diametral dengan kaum borjuasi pendukung kapitalisme. Lalu apa artinya? Kalau pembajakan adalah cara melawan kapitalisme, maka banjirnya keping film bajakan merupakan manisfestasi semangat itu. Namun dari jenis yang belum jelas keberpihakannya. Dan antara kapitalisme dengan anti kapitalisme ada jeda. Ruang yang bisa dimaknai sesuai kebutuhan, dan kepentingan.

Sebut saja pragmatisme. Sebuah fenomena yang kini sudah kentara dalam kegairahan menyambut datangnya masa wajib tebar pesona 2009. Kerja tebar pesona, kendati kerap disinisi namun tetap menjadi satu-satunya pilihan masuk akal untuk mendulang popularitas. Apalagi dalam budaya politik yang menisbikan kegunaan platform dan kerja-kerja jangka panjang. Semakin pragmatis terhadap kehebohan budaya pop yang berkembang, maka kian jelas anatomi keberpihakan atas nama tebar pesona. Selebihnya, selamat memaknai ayat-ayat kontemporer itu!

Jumat, 07 Maret 2008

Catatan Kedai Kopi (1)

Temanku Zaki dan Bakteri Sakazakii

Tak di desa atau kota, tak di Batam ataupun Jakarta. Beberapa hari terakhir ini para orang tua, khususnya kaum ibu sibuk menyimak siaran televisi, melumat surat kabar, dan memantau terus berita radio. Semuanya tertuju dan berusaha mencari tahu sebuah cerita berjudul enterobacter sakazakii, yang disebut bisa menyebabkan radang otak otak pada balita yang mengkonsumsi susu formula yang dicemarinya. Kisah bermula dari publikasi hasil penelitian yang dilakukan tim peneliti IPB terhadap sejumlah sampel susu formula balita. Disebut, berdasar hasil penelitian sebanyak 23 persen sampel susu formula yang diuji tercemar. Celakanya, selama dua tahun sejak kesimpulan itu dilaporkan ke Departemen Kesehatan tidak terlihat respon sama sekali. Reaksi baru diberikan setelah masyarakat panik. Kabar baiknya, kendati terlambat publikasinya keputusan tim peneliti membuka temuan sangat tepat. Begitulah komentar editorial sebuah majalah berpengaruh terbitan ibu kota.

Gara-gara kabar itu pula, Zaki temanku mengaku sempat sebal karenanya. Ceritanya, ia sempat diledekin teman kantornya hanya gara-gara namanya mirip dengan si bakteri---What is in a name kata William Shakespeare mencoba menghibur si Zaki. Kendati mengaku sebel, bukan watak Zaki untuk lantas menjadi naik darah apalagi naik pesawat. Sebaliknya, kemiripan dan ledekan itu membuatnya kian sumringah saja saat berangkat kerja ke kantornya, yang berada di bilangan kawasan industri Jakarta Timur. Teman-temannya, terutama perempuan khususnya yang lagi memiliki anak balita jadi teringat bahaya yang di bawa si Zaki, eh maksudku si bakteri Zakii. Ibarat kerja Interpol, kehadiran si Zaki tak ubahnya orange notice (Jus Jeruk kaleee...). "Iya neh Ki, kalau ketemu kamu jadi teringat bakteri susu itu," tutur Zaki menirukan temen perempuan sekantornya, "Tolong dong kasih tahu apa nama merek susu yang tercemar itu," sambung temannya berharap Zaki memberitahu. "Lantas kamu jawab apa?" tanyaku penasaran. "Ya mane ku te he," serunya sembari ngeloyor ke kamar mandi depan kamar kos tempatnya bersarang selama di Jakarta.

Sesaat aku terdiam. Di benakku lantas berhamburan sejumlah pertanyaan. Benarkah respon Depkes RI memang terlambat? Kalau memang terlambat, apa kira-kira yang menjadi alasan menunda penyampaian kabar buruk itu ke tengah masyarakat? Apakah hanya karena tak ingin masyarakat menjadi panik, yang ujung-ujungnya membuat jagad bisnis susu tanah air juga ikutan panik? Atau jangan-jangan ada pertimbangan lain? "Eh Mat, elo lagi mengkhayal jorok ya," tanya dia tiba-tiba sembari melotot ke layar televisi, yang kini sudah kuganti dengan tayangan dvd film Unfaithful (2002). "Lagi mbayangin si Diane Lane ya, secara gimana dia kan favorit elo," cerocos dia tak memberi kesempatan aku sekedar mengatupkan bibir agar tidak melongo. "Tak lagi," jawabku sekenanya. Sembari memamerkan aroma sabun mandinya, Zaki pun duduk persis di atasku di bangku kayu yang katanya selama ini setia menyonkong tubuhnya saat duduk melepaskan beban penat kerja atau pikiran.

"Kesempatan neh," pikirku dalam hati. Ada teman diskusi kata benakku sekali lagi. Lantas aku lontarkan sederet pertanyaan yang sempat berhamburan di benakku tadi. Tak tahunya bukan jawaban yang kudapat, tapi malah senyum nyengir kuda. "Macan tutul!" pekikku tertahan. "Apa Mat," menetralisir kedongkolanku, "Oh...itu," tukas dia seolah sudah mempunyai jawaban. Dia pun lantas berceloteh panjang kali lebar, meski ujungnya dia hanya ingin mengatakan, "Kalau aku berfikiran sepertinya pemerintah sedang menyiapkan sebuah agenda, yang ujungnya sebuah kebijakan baru," Aku semakin melongo. Tak ingin aku terlalu lama melongo dia lantas melanjutkan teorinya. "Bisa jadi pemerintah ingin kembali menggairahnya, secara tersirat kebiasaan memberikan air susu ibu yang kini semakin kalah pamor dengan susu formula," Mendengar jawabannya, dalam hati seketika sepakat dengan teorinya.

Apalagi kecenderungan menggunakan susu formula sebagai pengganti susu juga terlihat semakin menjadi-jadi, bahkan seolah menjadi gaya hidup baru para ibu muda yang terkesima dengan kesempurnaan gizi susu buatan pabrik, rekomendasi ahli nutrisi meski ujung-ujungnya hanya tak ingin kelihatan payudaranya tak lagi berisi. Lagipula dalam banyak kejadian, terlihat kecendrungan masyarakat kita adalah masyarakat latah yang melakukan sesutu bukan pada pertimbangan keperluan, namun semata karena keinginan. Baik keinginan untuk ikut-ikutan kecenderungan gaya hidup, asal tampil beda dan sebagainya. Jadi pilihan menggunakan susu formula semata karena keinginan bukan kebutuhan. Lain cerita mereka yang untuk membeli beras saja tak mampu, maka memberi ASI ke buah hatinya pada konteks yang sama juga bisa diartikan bukan keinginan namun semata karena tidak ada pilihan lain. Fakta lain, terlihat juga adanya kecenderungan sebuah kebijakan akan dipatuhi ketika memang tidak ada pilihan lain lagi. Ya, kultur panik memang selalu menisbikan rasio. Pada titik inilah, kehebohan enterobacter sakazakii seakan menemukan benang merahnya dengan teori Zaki. "Tapi tetap saja tak boleh sinis gitu, Mat," Zaki mengingatkanku.

Faktanya, tulis opini Majalah Tempo, susu formula telah lama menjadi andalan lebih dari separuh ibu Indonesia. Pada 2003 saja, menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 61 persen bayi usia hingga enam bulan bergantung pada susu formula. Survei Hellen Keller International pada 2002 menemukan air susu ibu hanya digunakan rata-rata 1,7 bulan, jauh dari syarat ideal pemakaian ASI selama enam bulan. Pantas saja, lanjut Zaki mengomentari fakta itu, angka kekerasan terhadap anak-anak yang dilakukan orang tuanya tinggi. Rupanya mereka berebut jatah susu toh. "Rupanya ada kesenjangan generasi. Perjuangan kelas," sinis Zaki. Kendati asal bunyi, sinisme Zaki cukup memancing pemikiran. Apalagi jika susu, persisnya susu entah ASI atau susu formula kita pahami sebagai mekanisme ketahanan pangan. Artinya, keberadaan susu merupakan mekanisme hubungan suplai pangan kepada bayi. Itulah mengapa setiap bayi menangis pasti terdiam saat disusui ibunya, atau diberikan susu. Karena diyakini tangis itu merupakan bentuk komunikasi bayi saat lapar atau haus. Dan sebuah penelitian kabarnya membuktikan itu, bahkan mengungkapkan fungsi antara satu dengan payudara lainnya berdasar fungsinya, sebut saja bagian kiri ASI "makan" dan bagian kanan ASI "minum"

Pada saat yang sama, susu kalau coba dilebarkan sebagai pangan maka ujungnya juga kekuasaan. Imbasnya menciptakan mekanisme ketergantungan. Pangan dan kekuasan sendiri memang sangat berkaitan erat. Setidaknya merujuk pada tulisan Susan George yang berjudul Pangan: Dari Penindasan Sampai ke Ketahanan Pangan (2007). Dia katakan, kelaparan yang melanda manusia tidak disebabkan oleh hal-hal mistis. Kelaparan yang melanda secara luas bukanlah kutukan Tuhan, sehingga kita tidak perlu repot-repot bertapa atau bersemadi mencari penyebabnya. Kelaparan sebenarnya terjadi karena ulah manusia sendiri: seperti keserakahan segelintir manusia yang merampas sumber daya. Paralel dengan argumentasi itu, maka seorang ibu yang rela mengganti ASI dengan susu formula untuk buah hatinya---apalagi untuk alasan egois kesempurnaan penampilan--- sejatinya juga tengah menciptakan sebuah kelaparan berupa "kelaparan" hubungan psikologis. "Tapi payudara (payu+dara), kalau dimakna bebas berdasar asal kata kan berarti sarana agar sang empunya laku, minimal menjadi daya tarik lawan jenis," sinis Zaki sekali lagi, sembari mengurai kata Payu yang berarti Laku dalam bahasa Jawa, dan Dara yang berarti gadis. Lalu apa hubungannya dengan bakteri? Aku dan Zaki tak bisa lagi berteori. Namun, kami berdua meyakini sekiranya itu juga jenis bakteri, maka bukan jenis yang membahayakan, namun sebaliknya malah memabukkan. Tabik!

Kabar Sang Waktu

Tidak ada yang bisa membantah, semua yang berserak dan terhampar dalam kehidupan sepenuhnya merupakan rencana Tuhan, dan sepenuhnya hak milik Yang Maha Kuasa. Massa, gravitasi, termasuk sang waktu juga sepenuhnya kuasa Yang Maha Memiliki. Sehingga manusia tidak bisa membalikkan waktu, sekalipun itu diinginkan karena alasan tertentu. Pada akhirnya manusia hanya bisa berencana, dan mencoba menjadi pemakna jeda antara waktu dan keabadian. Sebab daur hidup, jejaring kehidupan, perjalanan waktu, dan semua sirkumtasi kejadian memang sepenuhnya kuasaTuhan, dan hanya Dia pula yang menentukan segala-galanya. Termasuk akhir sebuah jalan cerita hidup. Lazimnya daur hidup, maka proses ada meniscayakan hadirnya ketiadaan. Semua hadir dan mengalir lazimnya lembayung petang menyambut datangnya sang fajar. Terus mengalir dan berdaur ulang layaknya lenting jarum jam saat bersama-sama berada di angka 12. Kulminasi sekaligus nadir sebuah perjalanan waktu. Selebihnya, pendulum waktu terus bergulir dan bergilir, sembari menghitung urut kacang daftar tunggu. Ada besar maka ada kecil. Ada suka tentu saja menunggu duka. Berdaya sekaligus tak berdaya. Semua berpasangan, agar hukum alam berjalan, daur hidup berkesinambungan. Sesungguhnya yang datang dari Tuhan juga akan kembali keharibaan Yang Maha Mencipta pula. Terima kasih kebersamaan. Selamat Jalan Kenangan. (dedicated to my beloved parents)