Selasa, 18 November 2008

Catatan Media (1)

Fenomena Ghostwriter

KIAN mendekat ke tahun politik 2009, maka sembarang isu yang mengemuka ke tengah masyarakat sebagai calon pemilih, langsung ditangkap cepat sembarang kalangan yang merasa berhak bependapat. Sebut saja polemik kenaikan tarif BBM, air atau listrik termasuk di Batam. Namun agar pendapat itu bisa tersalurkan, dan syukur-syukur didengar masyarakat, maka cara mudah melirik media, terutama yang menyediakan rubrik opini dan interaktif.

Menjadi kian menarik, karena ternyata dari semua yang ingin bersuara itu, tak semuanya bisa menyampaikan secara tertulis, alias melalui artikel media. Meski secara subtansi, pemikiran dan logika pendapat yang bergemuruh di benak mereka jelas dan make sense. Namun, sama seperti di banyak tempat lainnya, itu agaknya bukan menjadi sebuah persoalan pelik. Karena selalu ada orang yang siap membantu menuangkan ide itu menjadi sebuah pendapat yang tersaji sebagai tulisan.

Maka bermunculanlah fenomena, dalam istilah orang bule, Ghostwriter (tapi bukan penulis hantu loh!) Di Kepri menurut penuturan seorang kawan memang ada kenyataan itu. Menariknya, motif dan kerjasama mereka beragam. Tapi, tujuannya sama ialah terdengarnya suara dan aspirasi mereka, tentu saja aspirasi pribadi apapun alasan pembungkusnya.

Lalu terjalinlah simbiosis mutualisme, dan beberapa varian sebagai hasil : (1) Tulisan pesanan, dan (2) Tulisan konsinyasi. Tulisan pesanan, Ghostwriter hanya menjadi penulis yang menuangkan ide dan pendapat pemesan, alias begitu keluar yang tertera nama (by line) pemesan. Dan sebagai kompensasi biasanya uang, atau bentuk tanda terima kasih lainnya. Tulisan konsinyasi, keduanya punya andil karena sama-sama membutuhkan dukungan. Ikatan kerjasamanya berupa, penulis yang mempunyai ide tapi menggunakan nama orang lain yang dianggap suaranya lebih didengar, minimal dianggap tokoh atau menokohkan diri. Kompensasi? Tidak selalu uang, tapi sebuah relasi.

Meski bukan fenomena baru, keberadaan Ghostwriter selalu menarik, terutama jelang tahun politik. Pasalnya, semua yang berkepentingan ingin didengar, dan memposisikan diri sebagai penyambung lidah suara yang tersendat, dipastikan tak bisa lama menafikan penulis hantu ini, eh..maaf Ghostwriter. Selebihnya, selamat mencermati dan mengenali fenomena ini! Tabik!

Minggu, 12 Oktober 2008

Kritik Seorang Robby...

BELAKANGAN ini, kalau lagi main ke Pinang, saya bersama kawan-kawan terangsang berdiskusi tentang istilah baru, yang diinisiasi temanku Aji dalam jurnalistik : Wartawan Birokrat! Istilah yang tiba-tiba membuat Aji riang mendiskusikannya, membuat temanku lainnya, Robbi berikhtiar menerangkannya lewat narasi menarik dalam tulisan di blog-nya.

Bahkan di blog-nya dengan kritis ditulis: Wartawan birokrat kerjanya hanya di kantor dan jarang terjun ke lapangan meliput berita berbobot. Mereka hanya duduk depan komputer memindahkan berita reporter ke desain halaman koran. Mereka sok berkuasa dengan egonya memerintahkan wartawan lainnya, bawahannya yang tak lain wartawan.

Padahal mereka juga wartawan. Hanya pangkat yang diberikan oleh manajemen kantor yang membuat mereka jadi wartawan birokrat. Mungkin karena mereka sudah lama bekerja di media tersebut. Sehingga manajemen memberikan penghargaan dengan diberikan pangkat, dan gaji lebih besar. Sungguh berbeda dengan jurnalis di negara maju. Walaupun sudah diangkat menjadi editor, namun mereka tetap menulis.

Tentunya tulisan yang berkelas dalam bentuk in-depth news. Bukannya berita biasa atau straight news. Ataupun berita seremoni meliput kegiatan pejabat. Sungguh memalukan jika sekelas wartawan birokrat menulis berita seremoni. Dan paling parah, EYD-nya juga salah. (...)

Selepas membaca itu, saya tertarik. Apalagi Robbi memberikan contoh wartawan di luar negeri. (1) Kalau boleh jujur sebenarnya istilah itu bukan hanya diperlukan, tapi niscaya dalam industri pers saat ini. Karena kerja pers sifatnya berjenjang, dan mempunyai alur penyelesaian panjang. Mulai bahan mentah menjadi masakan, dalam istilah Robbi, yang lezat. (2) Namun saya juga sepakat, kalau saat ini gejala yang dikritisi Robbi memang ada dan nyata.

Saya menyebut (1) meniscaya, dengan merujuk perspektif birokrasi Weber. Dimana tujuan birokrasi sebut Weber, ialah mengupayakan tujuan organisasi tercapai dengan memanfaatkan instrumen, dan sumber daya yang ada. Konteks media massa tentu jejaring dan birokrasi internal yang ada dalam redaksi. Birokrasi Weber juga mengupayakan kerja lebih maksimal, masuk akal, dan terorganisir. Pada akhirnya, ada profesionalisme bidang alias seseorang bertanggung jawab sesuai dengan pekerjaannya.

Dengan merujuk perspektif Weberian ini, maka bagi saya wartawan birokrat bukan seratus persen menjadi terdakwa dalam perdebatan profesionalisme jurnalis, baik etik maupun definisi. Namun sebaliknya, (2) mengacu birokrasi Mataram-an maka saya sangat sepakat dengan Robbi. Karena dalam suasana birokrasi ini terjadi egoisme. Lantaran bukan hanya ada pengenalan kelas memerintah dan diperintah. Lebih dari itu, birokrasi Mataraman juga lahir bukan untuk pencapaian tujuan organisasi, tapi sebaliknya pencapaian kelas tertentu di redaksi. Nah, birokrasi mana yang kini mengisi redaksi pers di Batam, Indonesia, dan bahkan internasional? Nuwun.

Senin, 30 Juni 2008

The Shock Doctrine of Naomi Klein

(Los Angeles Times, June 22, 2008)

NAOMI Klein launches a highly polemical, and persuasive, assault on free-market fundamentalism. She rips into the big-business agenda to show how economic opportunists need and promote misery and disaster, challenging us to look at world-changing events -- Pinochet's coup, Tiananmen Square, the collapse of the Soviet Union, Hurricane Katrina -- from a whole other perspective. Not everybody's going to agree with her, but this is reporting and history-writing in the tradition of Izzy Stone and Upton Sinclair. Klein upends assumptions and demands that we think -- her book is thrilling, troubling and very dark.

Turki: Luar Biasa!

KALAU boleh jujur, dari sekian pertandingan yang dimainkan saat hajatan Piala Eropa 2008 Austria-Swiss begulir, hanya pertandingan Jerman-Turki yang membuatku terangsang untuk berkomentar. Pasalnya, pertandingan keduanya juga bernuansa duel sejarah. Semua bermula dari kekuasaan Kekaisaran Turki Usmani, yang di masa lalu pernah disebut “imperialis” oleh bangsa eropa. Bahkan, kalau pintu gerbang Wina pada saat itu bisa jebol oleh bala tentara Turki Usmani, maka boleh jadi peta eropa tidak seperti saat ini.

Namun, terlepas dari sentimen sejarah itu, pertandingan Jerman-Turki mempertontonkan semangat tak kenal menyerah hingga peluit terakhir berbunyi. Selebihnya, inilah pertanda kebangkitan Turki setelah bertahun-tahun lamanya menndapat julukan “The Sick Man of Europe” Semangat menyala gelandang Kazim Kazim, dan penyerang tengah Semih Santurk, dengan dukungan kiper Rustu Recber menggambarkan terbebasnya Turki dari belenggu trauma sejarah, yang selalu distigmakan dengan “pertarungan” modernisme cum sekulerisme dengan moderinisme cum Erbakanisme.

Seakan semua itu merupakan bagian masa lalu. Kini adalah Turki yang menatap terang jalan masa depan. Terang yang suluh lenteranya bermula dari kemenangan Erdogan dengan dukungan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) mendudukan Abdullah Gul sebagai kepala negara, dan menguasai parlemen yang sejak bertahun-tahun lamanya dikuasai kalangan sekuler dukungan militer. Turki saat ini juga Turkiye yang tengah menjalani proses krusian de-sekulerisasi. Benarkah? Tapi, setidaknya sepakbola yang dipertontonkan anak asuh Fetih Terim menggambarkan sebuah nyala nasionalisme.

Itu artinya olahraga, persisnya sepakbola juga mewariskan semangat cinta tanah air. Ia telah berhasil menghidupkan semangat kebangsaan. Bahkan bagi sebagian, kemenangan sepakbola berubah menjadi kompensasi cum katarsis sebuah negara akibat sebuah kenyataan getir. Pertandingan Argentina-Inggris, Iran-Amerika Serikat, Korea Utara-Korea Selatan selalu merebakkan sinyal itu. Tapi, di luar semua itu lazimnya bahasa, kini sepakbola juga telah menjadi elemen perekat rasa kebangsaan. Ia telah menjadi identitas kebangsaan. Balack adalah Jerman, Chivu ialah Romania, Novak adalah Kroasia. Buffon adalah Cattenacio, Robben ialah Totaal Voetball, Torres adalah El Matadore. Selebihnya, Turkey is Superb!

Jurnalisme Bantuan Langsung Tunai!

BEBERAPA hari terakhir, entah kenapa kami bersama sebagian kawan tiba-tiba saja suka bicara soal jurnalisme, termasuk beberapa variannya. Namun di antara perbincangan, yang tiba-tiba tercetus begitu saja, agaknya mencuat dua varian jurnalisme yang selalu mengusik, bukan hanya untuk diperdebatkan tapi juga dicemooh. Apalagi kalau bukan (1) Jurnalisme Sontoloyo, dan (2) Jurnalisme Bantuan Langsung Tunai (BLT)!

Entah kenapa tiba-tiba dua jurnalisme itu begitu menarik dibicarakan, bahkan renyah untuk dijadikan bahan olokan. Padahal, kalau boleh jujur, sebagai sebuah varian jurnalisme keduanya terhitung banyak pengikutnya. Setidaknya hingga kami sepakat mengakhiri perdebatan beberapa hari yang lalu. Tapi, berbicara jurnalisme sebenarnya banyak jenis dan varian jurnalisme. Kalau merujuk sejarah, terutama di Amerika Serikat di masa keemasan Joseph Pulitzer---terakhir namanya diabadikan sebagai anugerah tertinggi jurnalistik di negeri Paman Sam, dan Wiliam Randolph Hearst, maka mengemuka jurnalisme sensasi.

Sebuah genre jurnalisme yang dibangun berdasar kabar burung, gosip dan sensasi. Meski sebenarnya kadang juga merupakan fakta yang terkesan fiksi. Namun pada sat itu, boleh disebut jurnalisme sensasi memang sedang mendapatkan momentum. Maka, dua nama yang sepanjang hidupnya terus menerus bersaing sehingga membuat negeri Paman Sam akhirnya menjadi kiblat jurnalisme, meraih reputasi sangat tinggi di masyarakat. Informasi yang mereka beritakan selalu beroleh sambutan antusias.

Dengan sedikit bumbu okultisme, takhayul, bahlul, laporan yang penuh sensasi, dan penulisan hiperbolik keduanya berlomba menawarkan sebuah pemberitaan yang menawarkan semangat “pencerahan” jaman. Tentu saja Amerika Serikat jaman perkembangan. Sejarah akhirnya mencatat, kehadiran mereka dengan berita sensasi itu menandai lahirnya jurnalisme khas yellow newspaper alias koran kuning. Sebuah genre yang sejauh ini terus berhasil menadapat tempat di hati masyarakat lantaran pemberitaan bombastis, mistik, dan kadang berdarah-darah.

Selain jurnalisme itu, sejarah juga mencatat varian jurnalisme lain seperti jurnalisme investigasi yang mencapai puncaknya saat dua wartawan Washington Post, Woordward dan Bernstein berhasil mengungkap skandal Watergate yang akhirnya menjungkalkan Presiden Richard Nixon. Tapi, sejarahnya sendiri seperti tulis Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam 9 Elemen Jurnalisme, bermula beberapa tahun sebelumnya. Persisnya, Amerika Serikat pascaperang dunia II. Terakhir, keberhasilan itu diangkat ke layar perak dengan judul film “All President’s Men”

Lalu muncul pula jurnalisme sains, bisnis, olahraga, dan paling gres seiring dengan semangat jaman, dan kemajuan teknologi informasi yaitu jurnalisme warga (citizen journalism). Kemunculan jurnalisme ini berangkat dari premis, dengan berkembangnya teknologi, maka kekuasaan informasi tidak lagi monolitik. Dengan kata lain telah terjadi demokrasi informasi melalui bantuan teknologi. Informasi bukan lagi monopoli media konvensional yang monolog, tapi sebuah forum masyarakat yang terbingkai dalam sebuah dialog digital. Kemunculannya juga diyakini oleh sebagian pemikir dan pengamat media, lantaran bakal berakhirnya masa keemasan kiprah media konvensional. Disebut 2044, media cetak diperkirakan akan berakhir. Keyakinan itu didukung kian menurunya tiras media cetak, dan pada saat yang bersamaan mulai digandrungi media online. Tapi, di antara semua varian itu paling menarik menurut aku, tentu saja jurnalisme yang selama ini diyakini Leonard Downie Jr, Pemred Washington Post yang belum lama ini menyatakan pensiun setelah mengawal koran kebanggaan Katherine Graham meraih 25 penghargaan Pulitzer selama 17 tahun kepemimpinannya.

Apalagi kalau bukan jurnalisme akuntabilitas. Sebuah jurnalisme yang dibangun, bukan semata mendasarkan pada fakta tapi juga berusaha menghindari sensasi. Tak heran, Downie beberapa kali menunda pemuatan berita yang sebenarnya kalau bicara pasar bakal laku keras, hanya lantaran belum memenuhi aspek akuntabilitas, baik secara jurnalistik maupun secara etik. Selain jurnalisme semua itu, kita juga mengenal jurnalisme sentuhan (touching journalism) yang berkonsep empati, dengan mengulurkan bantuan meringankan derita sesama. Sebuah jurnalisme, yang menurut aku, sangat pas dengan kondisi negeri kita saat ini.

Sebuah koran terbitan Batam secara konsisten mengusung jurnalisme jenis ini. Hampir lupa, ada juga jurnalisme pariwara alias jurnalisme kapital. Sebuah jurnalisme yang dirancang berdasar siapa yang bayar [mohon maaf!] dan semata-mata untuk menumpuk kapital, agar modal terus membesar. Tapi, di saat kapitalisme juga menjangkiti media massa dan telah menjadi sebuah industri maka, sedikit mengutip Tajuk Rencana Kompas (28/6) berjudul “Media Massa dan Determinasi Pasar”, maka dalam pemahaman saya merupakan sesuatu yang tak terbendung, atau niscaya dalam semangat untuk bertahan hidup. Hanya, ironisnya seringkali tafsir untuk menghamba ke pasar itu justru dipicu oleh pengelola koran itu sendiri.

Nah, kini kembali ke obrolan kami beberapa hari terakhir sekaligus menambah deretan jurnalisme yang pernah dikenal. Pertama, tentu saja jurnalisme sontoloyo---meninjam istilah Kepala BIN Syamsir Siregar. Yaitu sebentuk jurnalisme yang semata-mata lahir dan didorong perilaku pragmatisme. Ketika etika, dan rasa profesi dinisbikan untuk merengkuh sesuatu yang absolut (baca: uang, tapi bukan berupa amplop loh!). Kedua, ini yang paling asyik diperbincangkan, yaitu jurnalisme BLT, alias jurnalisme bantuan langsung tunai (baca: jurnalisme amplop, begitu wawancara terima amplop). Seperti banyak pengamat masalah sosial sebutkan, bantuan langsung tunai (BLT) disebut tidak mendidik, tapi untuk saat ini memang dibutuhkan. Maka jurnalisme BLT juga berlaku aturan yang sama.

Jurnalisme BLT tidak lain jurnalisme memberi ikan, dan bukan kail (kata pengamat loh!). Tapi, uniknya varian jurnalisme lama ini selalu berhasil mendapatkan dukungan baru setiap waktu. Bahkan keberadaannya seakan telah menjelma menjadi berhala. Apalagi di saat deretan angka merupakan keniscayaan, dan ukuran sebuah kesuksesan. Sebuah perilaku, meminjam istilah Goethe dalam lakon Faust, yang subur menjamur di saat sesiapapun rela menggadaikan kepalanya untuk kepentingan “ideologi” perut, dan bawah perut. [informasi terkait baca tulisan Karl Marx di Mata Temanku Paijo—pen]. Lalu kenapa itu bisa terus terjadi? Tentu bukan kapasitas aku untuk menjawabnya, dan malah boleh jadi Anda, sidang pembaca yang bisa menjawabnya. Tabik!

Sabtu, 31 Mei 2008

Masak, Macak, Manak

Entah siapa yang memulai perempuan selalu saja lekat dengan stereotype masak, macak, dan manak. Seolah kehidupan perempuan tak pernah jauh dari sumur, dapur, dan kasur. Padahal sebuah riset membuktikan, kemampuan matematikan perempuan sama baiknya dengan kaum laki-laki, bahkan di Finlandia malah jauh lebih unggul. Bagi kalangan feminis, stereotype itu jelas merendahkan. Tapi, bagi sebagian lainnya sepertinya memang sebuah kenyataan. Apalagi sejauh ini masih banyak kaum perempuan yang belum menyadari kekuatan utamanya. Apa itu? Tentu saja kekuatan dan kedahsyatan teori reproduksi. Apa itu artinya? “Hamil Adalah Hak!” Setujukah? Coba tanya pada diri sendiri gals!

Jumat, 25 April 2008

Sejarah Manusia Adalah Sejarah Payudara (2)

Tatkala Persepsi Cabul Berkuasa

TAK bisa disangkal dalam dunia yang dibangun oleh kumpulan persepsi, maka relasi persepsi yang terbangun oleh bisa jender yang rentan dominasi persepsi kaum laki-laki. Dan lazimnya hukum perilaku, maka berabad-abad lamanya relasi perempuan, kekuasaan, laki-laki dan harta mengerucut menjadi relasi takhta, harta dan wanita. Pendeknya, fitnah perempuan adalah harta, fitnah laki-laki tak lain perempuan. Lalu siapa pada akhirnya yang paling berkuasa dalam relasi itu (baca: berkuasa), maka tak salah jika pada akhirnya ada yang menyebut perempuanlah yang berkuasa. Itu sejalan dengan pandangan yang menyebutkan, perempuan adalah puncak pemujaan pria, tapi sekaligus nadir penistaan. Tapi bagi Mariana Amiruddin persepsi tidak hanya sebatas itu.

Persepsi Pria Persepsi Kecabulan
Tubuh perempuan abad kini, dipenuhi oleh persepsi kecabulan! Sekalipun ia hanya tersingkap, sekalipun atas keinginan si empunya tubuh. Tank-top, tropis, matahari, udara panas, perempuan-perempuan itu mengenakannya dengan rasa nyaman. Tetapi tidak! Itu melanggar kesusilaan. Jangan sekali-kali perempuan memperlihatkan tubuhnya sekalipun itu hanya lengan, karena semua laki-laki akan berhak memperkosa mereka, juga karena malam hari akan segera menangkap mereka.

Begitulah media pada akhirnya menjadi suara terbanyak mengerangkeng perempuan dari kehidupannya, dan menambah jurang bagi kehidupan perempuan sendiri. Karena yang tadinya tidak cabul menjadi imaji kecabulan, lalu perempuan menjadi sasaran empuk kesalahan, sebagaimana rasa sakit mereka ketika menstruasi dan melahirkan anak. Melalui seksualitasnya, ia tidak pernah menjadi berangkat dari dirinya sendiri. Tubuh perempuan seperti instrumen musik yang selalu dimainkan media (baca: laki-laki).

Dan karena laki-laki diberi kehendak seks yang lebih, maka adalah wajar bila eksploitasi bersamaan dengan pengerangkengan perempuan itu ditindaklanjuti. Seperti kata-kata ‘perempuan nakal’ yang tidak lebih baik daripada ‘hidung belang’ lalu perempuan harus pasif dan tabu untuk mengatakan hasrat tubuhnya karena bila ia aktif dan agresif, perempuan akan dihukum secara sosial! Ciptaan masyarakat dan kultur terhadap kehidupan perempuan memang sangat skizofrenik!

Hanya ruang-ruang penderitaan yang harus diisi perempuan, ruang-ruang sadomasokis, ditinggikan lalu dijatuhkan sedalam-dalamnya, lalu ditinggikan lagi, dan dijatuhkan lagi sedalam-dalamnya, begitulah saya katakan di sini media melakukan persepsi yang mendehumanisasi perempuan, lalu melalui media ini perempuan diterjemahkan yang jelas bukan atas diri perempuan sendiri, melainkan atas sebuah konstruksi berupa simbol-simbol, tanda-tanda, pesan-pesan yang ‘diinginkan dunia laki-laki’.

Media akhirnya membuat simbol-simbol perempuan seperti apa, seperti masalah pelacuran bahwa pelacur-lah agen persoalannya, tanpa melihat si hidung belang dan dengan tanpa mau benar-benar si hidung belang itu di shoot sedekat mungkin dan dikatakan bahwa mereka itu adalah penjahat kelamin, membeli tubuh manusia, tubuh perempuan dengan uangnya, dan perempuan menjualnya karena untuk susu anak-anaknya, sedangkan si hidung belang untuk menghambur-hamburkan spermanya sama dengan caranya menghambur-hamburkan uang, atau sekadar mengukur kejantanannya melalui tubuh-tubuh perempuan-perempuan itu.

Lalu libido laki-laki menjadi sesuatu yang alamiah, dan kebutuhan lelaki atas banyak perempuan dan tubuh-tubuh perempuan yang dikotori mereka adalah juga alamiah, dan itu tercover dalam berita-berita kriminal dan perempuan-perempuan menderita lalu laki-laki hanya dipenjara sekian jam dan perempuan terpenjara seumur hidupnya akibat perbuatan laki-laki atas tubuh mereka.

Media Idaman Perempuan?
Ketika tubuh menjadi persepsi yang manusiawi, yang menjadi tidak cabul, yang menjadi milik perempuan sendiri, yang dengan tubuhnya perempuan tidak merasa hina dan tidak pula merasa suci. Dan dari tubuh itu perempuan adalah juga pikiran dan jiwanya.
Perempuan menggambarkan tubuhnya merupakan suatu keputusan perempuan, tetapi ingat bahwa hal itu digunakan untuk mejelaskan pikiran perempuan, dimana seorang perempuan tidak merasa paling suci, tidak juga merasa takut atau hina atas tubuhnya baik dalam hal psikologis maupun seksnya---Virgina Woolf. Pada akhirnya, mohon maaf, sejarah manusia adalah sejarah payudara!

Sejarah Manusia Adalah Sejarah Payudara (1)

Ketika Libido Bersabda

ANDA boleh tidak bersepakat, tapi merupakan aksioma payudara lekat dengan perempuan. Dengan payudaranya, bahkan perempuan diyakini mampu mempengaruhi dan menjadikan hidup ini tak lagi sekedar hitam di atas putih. Itu artinya, perempuan sosok berkuasa. Hanya saja memang tidak semua perempuan memahami. Ironisnya, bahkan sebagian malah senang terkotak-kotak oleh sematan sosial. Sebagian lagi malah senang dengan jerat sesaat kepentingan atas nama eksploitasi kapitalisme komunikasi bernama iklan, dan hiburan.

Itulah mengapa iklan banyak sekali menjadikan perempuan sebagai objek. Begitupun hiburan, tak pernah jauh dari perempuan sebagai pelakon utamanya. Hingga akhirnya, mengutip tulisan Mariana Amiruddin yang juga redaktur Jurnal Perempuan, melalui bukunya “Perempuan Menolak Tabu: Hermeneutik, Feminisme, Sastra dan Seks”, tubuh yang melahirkan kehidupan itu justru membuatnya bermasalah di mana-mana. [di bawah ini kutipan lengkap artikelnya]

Bahan Dasar Ekonomi Libido
Jeratan profan dan sakral itu membuat tubuh perempuan tidak menjadi tubuhnya sendiri. Ia ditangkap dalam kamera, bagian-bagian tubuhnya diabadikan untuk masturbasi para lelaki gila. Ia dikejar-kejar kamera. Ia ‘ditelanjangi’ oleh berita, dipajang di kota-kota, dan bahkan menjadi bahan dasar ekonomi libido. Praktis, semua itu seolah telah tersusun dan dirancang dalam dunia yang bukan miliknya, melainkan justru dunia milik lelaki. Kamera dengan mata lelaki dan berita dengan lidah lelaki.

Sesungguhnya kehidupan diawali oleh tubuh perempuan. Bayangkan bila seorang bayi tidak menyusu. Dari mana lagi ia harus mengenal kehidupan? Sejarah payudara, sejarah tubuh perempuan adalah sejarah umat manusia. Tetapi kemudian kehidupan telah memenjarakannya ke dalam dua dunia yang berbeda, dan celakanya keduanya sama-sama tidak menguntungkan, yaitu dunia profan dan dunia sakral. Dunia sakral atau ‘kesucian’ menjerat perempuan pada proteksi terhadap tubuh karenanya harus ditutupi setiap bagiannya agar tidak tersentuh agar tetap menjadi bersih.

Dunia sakral atau kesucian begitu mengagungkan ‘keperawanan’, sebuah tanda mati lambang kejujuran perempuan lajang dalam memasuki perkawinan dan hanya dengan selaput tipis itu para suami mengukur dan menilai kejujuran sang istri. Dunia profan atau kebejatan sebaliknya, mengadili tubuh perempuan sebagai godaan sekaligus hinaan, oleh karena itu bila tubuhnya telihat begitu indah, ia harus ditangkap. Karena dari payudaranya ia meracuni kesusilaan, dari kedua pahanya dan selangkangannya ia membuat lelaki tergiur memperkosa, dan dari tatapan serta bibirnya ia membuat jantung lelaki berdebar keras dan segera meninggalkan istri-istri mereka.

Kemudian tubuh-tubuh perempuan itu diciptakan dalam bentuk-bentuk yang tidak proposional, payudara dan pantat yang besar atau badan yang kurus dan rambut yang lurus, dan kulit-kulit yang harus putih serta hidung-hidung yang mancung. Tetapi di saat yang sama, tubuh-tubuh itu dipenjara dengan persepsi dalam dua kubu, profan dan sakral, dibuka sama sekali, atau ditutup sama sekali. Dan milik siapakah tubuh-tubuh itu? Tidak pernah menjadi milik mereka sendiri!

Imaji Media, Imaji Laki-laki
Persepsi terhadap tubuh-tubuh perempuan salah satunya adalah dibangun oleh media. Persepsi apakah yang dibangun? Inilah persoalannya, tubuh perempuan yang diasosiasikan dengan alam: reproduksi dan pengasuhan, terus bergeser menjadi kebutuhan ekonomi libido laki-laki, dilihat dalam kapasitas permintaan yang besar dari konsumen media-media porno, dan kebutuhan atas dunia imaji seperti tubuh ‘super ideal’ sesuai dengan kebutuhan laki-laki dalam reklame-reklame.

Sampai pada sumber persoalan moral yang kontroversial: di satu sisi dicerca habis-habisan dan di sisi lain laku untuk ditonton, seperti tayangan kriminal yang dari kameranya fokus hanya mengejar pelacur-pelacur yang ketakutan dan clos up- clos up bagian-bagian tubuh penari-penari di pub-pub malam. Tubuh-tubuh yang bersalah tetapi boleh juga memupuk kekayaan imaji seksual laki-laki. Tubuh-tubuh putih dan coklat dan sumber dari segala pemberitaan yang kontraversial.

Sekali lagi, persepsi apakah yang dibangun oleh kebanyakan media? Bukan tubuh seorang manusia berjenis kelamin perempuan secara natural, seperti ibu-ibu yang mandi di sungai, atau perempuan-perempuan muda yang telanjang dada di menyusui bayinya. Tetapi tubuh itu lebih laku untuk imaji untuk memperkaya khazanah seksual fantasi laki-laki. Ekonomi libido yang memang menggiurkan.

Para lelaki, meskipun di kamar tidurnya sudah ada istri-istri yang tidur seranjang dengan mereka setiap malam, dan tubuh-tubuh perempuan dari perempuan yang telah mereka nikahi, masih kurang saja imajinasi seksual yang mereka khayalkan. Para lelaki rupanya masih membutuhkan ‘tubuh-tubuh’ buatan media, tubuh-tubuh telanjang yang tak proposional dan tidak lebih baik dari istri-istri mereka, atau suara-suara histeria pelacur-pelacur yang tertangkap.

Dan bokong-bokong mereka serta belahan-belahan dada mereka yang tak sengaja tersingkap lalu di situ pula kamera segera menikamnya, dan bahasa-bahasa yang membuat kegiatan perkosaan menjadi nikmat buat seorang kakek, serta seorang nenek yang berjalan sendirian menjadi nikmat diperkosa oleh belasan lelaki muda.

Sungguh, kekerasan serta pelecehan seksual menjadi persepsi baru yang diciptakan media yang seluruhnya diciptakan dari, oleh dan untuk dunia laki-laki. Dunia ini memang milik laki-laki ketika mereka keluar dari rahim-rahim dan vagina-vagina menganga perempuan serta selaput-selaput dara yang bisu, dan air ketuban yang pecah, tumpah meriah di seprai putih rumah sakit serta darah-darah kental yang melumuri plasenta mereka yang lahir, serta teriak tangis bocah laki-laki yang masih tertutup matanya, dan bibir-bibir mungil mereka yang menghisap air susu ibu dengan rakusnya.

Kamis, 24 April 2008

Karl Marx Dimata Temanku Paijo

KONON tubuh manusia, sejak ujung kepala hingga tapak kaki paling bawah membawa dan mengandung ciri ideologi sendiri. Setidaknya itulah yang diungkapkan temanku, sebut saja Paijo. Sehingga sangat mudah untuk memaknai dan menafsirkannya sebagai temuan guna menjawab kegelisahan pemikiran selama ini. Dengan kata lain lanjut dia, tak perlu repot belanja buku karya Karl Marx, ataupun pergi jauh mencari tahu apa itu Kapitalisme.

Lho kok? “Karena semua pemikiran yang saat ini berkembang sudah sangat jelas tergambar dalam anatomi tubuh manusia,” tegas dia. Aku terdiam karena menjadi semakin tak mengerti penjelasannya. “Mudah Mat, coba kamu sebut apa saja pemikiran yang kini menjadi ideologi banyak orang,” perintah dia. Seperti terhipnotis, aku pun sekenanya menjawab: idealis, sosialis, kapitalis, liberalis, dan komunis. “Nah, barusan yang kamu sebut tadi sudah mencerminkan anatomi manusia,” simpul dia.

Aku semakin terdiam. “Kamu tak usah berkerut kening mencari jawabnya,” saran dia. Lantas dia pun berkhutbah, “Itulah manusia suka sekali kepada kerumitan.” Aku kian terdiam, tapi kali ini agak berang. Maksud kamu? Tanyaku meninggi. “Tenang bro, dalam kerumitan selalu ada kesederhanaan,” jawab dia menenangkan aku. Manusia kata dia, diciptakan sebagai mahkluk sempurna. Karena itu lanjut dia, Tuhan dengan sempurna melengkapi makhluk ciptaannya “kesempurnaan” pemikiran.

Aku makin tak paham. “Kamu itu ngomong apa, Jo? Tak jelas gitu!” debatku dengan nada sengit. Paijo hanya terkekeh. Lalu terdiam sejenak. Sebelum akhirnya dengan panjang lebar menceramahiku siang itu. “Jadi?” tanyaku mencoba memotong ceramahnya agar segera ke titik kesimpulan. “Begini Mat,” potong dia cepat. Idealisme kata dia, merupakan pemikiran yang merujuk pada penggambaran yang ideal. Karena ideal, dia hanya ada dan bisa berkembang saat berada di kepala. Artinya, ia hanya bisa menjadi pegangan, dan teori. Namun lanjut dia, idealisme harus ada. Karena dia merupakan alasan utama adanya keinginan.

Hasrat untuk berbuat dan melakukan sesuatu, sekaligus alasan untuk selalu bertanya dan mencari tahu sesuatu. “Idealisme adalah Id, sebagaimana Freud gambarkan dalam psikoanalisanya. Ia berada dalam relung jiwa (psyche) setiap manusia. Bersama ego dan superego, ketiganya membentuk karakter kejiwaan manusia memaknai keberadaanya,” urai Paijo mengutip Sigmund Freud, pemikir besar psikologi. Sosialisme jelas dia, lekat dan identik dengan laku toleran dan selalu berbagi dengan sesama. Senasib sepenanggungan. Kapitalisme sinis dia, dibolehkan mengupayakan segala cara. “Karena kapitalisme memang ujungnya mengumpulkan keuntungan,” kata dia.

Liberalisme sebut dia, sebuah kebebasan. “Free Will!” pekiknya. Sesiapun berhak meyakini apapun yang diyakininya sebagai sesuatu yang terbaik. Sedangkan komunisme sambung dia, “Dari akar katanya, maka terkait dengan upaya mewujudkan pemikiran Karl Marx yaitu sebuah kehidupan ‘idaman’ ala Marxis yang akhirnya gagal dengan adanya pemberontakan Paris Commune,” terang dia. “Maksudnya?” tanyaku. “Tak ada maksud,” jawab Paijo cepat. Dulu lanjut dia, para pengikut Marxis pernah berfikir, pemikiran Karl Marx tentang kehidupan tanpa kelas merupakan keniscayaan. Karena itu mereka coba membangun kehidupan sebuah kota dengan sepenuhnya bersandar pada pemikiran Marx. “Tapi esensinya bukan itu. Paling mudah, awam kan sepakat komunisme adalah sama rata sama rasa,” jelasnya.

Nah, hubungannya dengan tubuh manusia begini sambung Paijo. Tubuh terbagi dalam tiga bagian, yaitu atas, tengah dan bawah. Bagian atas atau kepala berisikan kepala dan didalamnya terdapat otak yang menjadi basis penalaran manusia. “Agar manusia layak mendapat sematan sebagai pemakna alam semesta, maka manusia harus selalu mempunyai idealisme. Dan idealisme hanya ada di rasio,” Itu artinya ujung kepala identik dengan ideologi Idealisme. Bagian tengah ada dada dan perut. Dalam dada ada jantung dan hati. Keduanya merupakan organ penting, dan sejak berabad-abad lamanya diyakini sebagai sumber kebajikan dan perigi toleransi untuk saling berbagi. “Dada atau hati artinya identik dengan Sosialisme ya,” simpulku cepat. Paijo hanya mengangguk pelan.

Lalu perut ideologinya apa? Perut kata Paijo, meskipun setiap harinya selalu termasuki asupan, baik makanan ataupun minuman. Namun setiap kalinya pula tidak pernah merasa kenyang. “Alias selalu merasa lapar!” Karena tak pernah kenyang itu, maka perut selala merasa berhak rakus untuk menghilangkan rasa laparnya. Maka, tak peduli apa bentuknya sepanjang mengenyangkan maka boleh dimakan. “Persis seperti ikan kecil dimakan ikan sedang, ikan sedang dimakan ikan besar, dan ikan itu lalu dimakan ikan yang lebih besar,” jelas Paijo. “Persis seperti game Feeding Frenzy di komputer!” Bagaimana dengan liberalisme?

“Dia terdapat di tubuh bagian bawah. Persisnya bagian bawah perut,” kata dia. Sama seperti perut, bagian itu juga tak pernah merasa puas. Namun bedanya, definis kepuasan yang dicari dan tuju berbeda. Perut lapar kata Paijo, meski setiap harinya diisi indomie kalau sudah terisi pasti kenyang. “Tapi bagian ini (bawah perut), justru sebaliknya. Bukan kekenyangan yang diinginkan, tapi adanya kebebasan untuk menuju rasa kenyang itu,” terang dia filosofis. “Maksudnya?” tanyaku. “Makanya lekas nikah. Agar kamu tidak terpikir menjadi liberalis,” saran dia filosfis. [Cape dech!]

Lalu bagaimana dengan komunisme? Paijo diam sejenak sembari menarik nafas. Komunisme kata dia, awam kerap memahami sebagai ideologi sama rata sama rasa. “Nah, itu artinya itu ada di tapak kaki. Jadi kalau pas jalan kena kerikil dan tak pakai sendal pasti rasa gelinya sama hwakakakakkakakka!” ketawa Paijo. Semprul pikirku. Namun diakhir aku tahu, kenapa komunisme letaknya di kaki. Karena komunisme selalu menyebarkan ideologinya dengan pesan-pesan populis alias menyentuh banyak orang, meski belum tentu penting untuk orang banyak! Apa pasal? “Karena manusia adalah kerumitan dalam kesederhanaan,” simpul Paijo. Akuur deh Jo!

Senin, 24 Maret 2008

Catatan Kedai Kopi (3-Habis)

Air Juga Makhluk!

Setiap tanggal 22 Maret selalu diperingati sebagai Hari Air se-Dunia. Namun tidak sadar, selama berabad-abad lamanya, manusia memperlakukan air seenaknya. Di saat berlimpah keberadaannya tak pernah dihiraukan. Namun di kala terbatas ketersediannya juga selalu menjadi bahan gerutuan. Padahal sebagai barang publik, keberadaan dan ketersediaan air harus dimanfaatkan secara beradab, adil antara kebutuhan dan keinginan. Ironisnya, justru atas nama dua alasan itu, air akhirnya berubah menjadi makhluk yang menakutkan.

Dalam prakteknya, karena kebutuhan air akhirnya menjadi barang yang dikuasai untuk kepentingan berdalih keagamaan. Air karena keinginan, akhirnya juga menyerah menjadi barang yang dikuasai kepentingan ekonomi. Saat air menjadi barang ekonomi, maka saat itulah statusnya sebagai barang publik berakhir. Ia dipuja karena berharga jual. Air menjadi komoditas yang diperjualbelikan, baik saat melimpah apalagi saat terbatas. Dua motif itulah, keagamaan dan ekonomi yang akhirnya membuat air sebagai makhluk tercerabut dari akar keadilannya. Alhasil, air untuk sebagian dipaksa untuk menyandera makluk lain.

Ujungnya bahaya perang juga mengintip, karena aksi klaim dan kesewenangan terhadap keberadaan dan ketersediaan. Apalagi dengan dalih keagamaan, air semakin dibekap suaranya sebagai keadilan dunia. Dia menjadi sesuatu yang sia-sia karena alasan ritual. Menjadi semakin parah, ketika dengan ketersediaan dan keberadaaan itu akhirnya dieksploitasi karena ambisi mengejar rente. Banyak contoh bisa dilihat, sebut saja saat terjadi kenaikan tarif air. Dengan semakin menipisnya cadangan air layak guna, seharusnya keberadaan dan ketersediaan air dikembalikan pada asalnya. Agar hidup ini tidak menjadi panas karena hilangnya rasa keadilan. Karena, untuk alasan apapun dan bagaimanapun, air juga makhluk!

Catatan Kedai Kopi (2)

Memaknai Ayat Ayat Kontemporer

Sejak meledaknya karya sinema berjudul “Ayat-ayat Cinta” besutan Hanung Bramantyo, mengadopsi novel karya Habiburrahman El Shirazy, mencuatkan betapa dahsyatnya kekuatan sastra bagi perubahan sosial, atau setidaknya bagi perdebatan sosial. Baik melalui milis, opini media, lorong perkauman, atau lewat lapak-lapak pedagang kaki lima. Dalam banyak perdebatan itu, saling berkelindan berbagai kepentingan, dan pembenaran.

Tafsir pun bermunculan. Benarkah ada kepentingan kapitalisme di dalamnya? Sungguhkan ada semangat anti kapitalisme di situ? Atau malah, salahkah menjadikannya kepentingan politik atas nama pencitraan diri? Tak jelas ada tidaknya jawaban semua pertanyaan itu. Kecuali sebuah jeda, antara benar dan salah. Biar tak terlarut dalam debat kusir, mungkin sebaiknya simak ujaran Karl Popper, filsuf Inggris sebagai semacam sandaran, “Sesuatu dianggap benar ketika terbukti tidak keliru,” Setelah itu, silakan memaknai ayat-ayat kontemporer tersebut.

Kenapa kontemporer? Novel dan sinema, meski diyakini sebagai alat perubahan sosial, keduanya juga bias terhadap pemaknaan, bahkan kepentingan. Sehingga keduanya tidak netral nilai. Namun sebagai ruang, keduanya merupakan katarsis guna mencurahkan semua pengalaman hidup, bahkan pemikiran sebuah keinginan termasuk yang paling kontroversial sekalipun. Rancunya, kedua fungsi itu berkelindan, bahkan kadang berselingkuh atas semangat “siapa memanfaatkan apa”. Ambil contoh novel Salman Rushdie, “The Satanic Verses”. Sebagai ruang pemaknaan, novel itu sempat menimbulkan perdebatan sosial, bahkan dimanfaatkan sebagai sarana propaganda, baik penentang maupun pendukungnya. Hal serupa juga berlaku untuk novel karya El Shirazy, kali ini untuk kepentingan propaganda membangun citra diri.

Setidaknya tafsir itulah yang bisa disodorkan guna memahami “langkah’ cerdas Jusuf Kalla, dan Ismeth Abdullah. Wakil Presiden RI dan Gubernur Kepri itu seperti mengerti betul psikologi budaya pop guna mendongkrak popularitas. Terlepas untuk mengisi libur panjang, namun pilihan keduanya menonton film “Ayat-Ayat Cinta” terpisah di Jakarta dan Batam, dengan liputan media massa seakan memposisikan diri sebagai bagian masa kini, dan bukan warisan generasi jadul alias jaman dulu. Dan perjalanan budaya kontemporer mengajarkan, setidaknya ada dua pola guna mendongkrak rating ketenaran diri.

Selain melalui laku kontroversi, juga bisa menumpang budaya kontemporer yang sedang meroket saat itu. Apalagi di jaman ketika keinginan bisa direkayasa dengan bantuan media massa, termasuk melalui karya sasta dan karya sinema. Tulisan Bre Redana, Kompas (23/3) bertajuk Agnes sangat cerdas mengulasnya. Mengutip teori Benjamin Barber, yang terkenal dengan bukunya Jihad Vs McWorld, Bre menyebut saat ini sedang terjadi fenomena terbalik. Hadirnya mal, kata dia merujuk buku Consumed-nya Benjamin Barber, tak lebih pabrikasi keinginan (manufacturing of wants). Pada konteks yang sama, dibuatnya film “Ayat-Ayat Cinta” juga dalam upaya meniscayakan kegairahan itu.

Sehingga semakin meledak budaya pop itu, maka kian terkatrol rating diri. Begitupun sebaliknya, kian kontroversial pilihan sikap dan laku terhadap sebuah isu kontemporer, maka semakin mengular pula barisan pendukung paduan suaranya. Novel dan sinema, juga sudah lama menjadi sarana untuk kepentingan itu. Sebut sinema, sudah sejak lama ia menjadi wahana melontarkan gagasan, guna mengetahui respon publik. Sehingga ketika publik memprotesnya, maka bisa dipahami publik belum bisa menerima ide yang difilmkan. Namun demikian, ide itu tidak akan punah, sebaliknya dia tetap membara dan hanya meninggalkan film sebagai tumbalnya.

Lazimnya hukum kekekalan energi, meminjan istilah John F. Kennedy, keduanya (novel dan film) juga mengalami jatuh bangun, pemujaan dan penistaan. Namun ide itu tetap kekal, sekekal kepentingan dalam politik. Tak heran, jika dibalik suksesnya film “Ayat Ayat Cinta” terselip kritik masuknya kepentingan kapitalisme (baca: monopoli). Sederhana saja, kalau film itu dibuat untuk mengejar keuntungan dan tak semata menyediakan hiburan, maka jelas itu bentuk kapitalisme. Namun dari jenis yang tidak membahayakan. Lalu sungguhkan di dalamnya juga ada semangat anti kapitalisme?

Dalam perspektif Hegelian, setiap kehadiran kapitalisme pasti dengan sendirinya dibarengi semangat anti-kapitalisme. Tidak percaya? Tengok saja di lapak-lapal kaki lima, video bajakan film sama dengan mudah ditemukan. Tentu saja dengan harga proletar, yang sejak dulu diposisikan diametral dengan kaum borjuasi pendukung kapitalisme. Lalu apa artinya? Kalau pembajakan adalah cara melawan kapitalisme, maka banjirnya keping film bajakan merupakan manisfestasi semangat itu. Namun dari jenis yang belum jelas keberpihakannya. Dan antara kapitalisme dengan anti kapitalisme ada jeda. Ruang yang bisa dimaknai sesuai kebutuhan, dan kepentingan.

Sebut saja pragmatisme. Sebuah fenomena yang kini sudah kentara dalam kegairahan menyambut datangnya masa wajib tebar pesona 2009. Kerja tebar pesona, kendati kerap disinisi namun tetap menjadi satu-satunya pilihan masuk akal untuk mendulang popularitas. Apalagi dalam budaya politik yang menisbikan kegunaan platform dan kerja-kerja jangka panjang. Semakin pragmatis terhadap kehebohan budaya pop yang berkembang, maka kian jelas anatomi keberpihakan atas nama tebar pesona. Selebihnya, selamat memaknai ayat-ayat kontemporer itu!

Jumat, 07 Maret 2008

Catatan Kedai Kopi (1)

Temanku Zaki dan Bakteri Sakazakii

Tak di desa atau kota, tak di Batam ataupun Jakarta. Beberapa hari terakhir ini para orang tua, khususnya kaum ibu sibuk menyimak siaran televisi, melumat surat kabar, dan memantau terus berita radio. Semuanya tertuju dan berusaha mencari tahu sebuah cerita berjudul enterobacter sakazakii, yang disebut bisa menyebabkan radang otak otak pada balita yang mengkonsumsi susu formula yang dicemarinya. Kisah bermula dari publikasi hasil penelitian yang dilakukan tim peneliti IPB terhadap sejumlah sampel susu formula balita. Disebut, berdasar hasil penelitian sebanyak 23 persen sampel susu formula yang diuji tercemar. Celakanya, selama dua tahun sejak kesimpulan itu dilaporkan ke Departemen Kesehatan tidak terlihat respon sama sekali. Reaksi baru diberikan setelah masyarakat panik. Kabar baiknya, kendati terlambat publikasinya keputusan tim peneliti membuka temuan sangat tepat. Begitulah komentar editorial sebuah majalah berpengaruh terbitan ibu kota.

Gara-gara kabar itu pula, Zaki temanku mengaku sempat sebal karenanya. Ceritanya, ia sempat diledekin teman kantornya hanya gara-gara namanya mirip dengan si bakteri---What is in a name kata William Shakespeare mencoba menghibur si Zaki. Kendati mengaku sebel, bukan watak Zaki untuk lantas menjadi naik darah apalagi naik pesawat. Sebaliknya, kemiripan dan ledekan itu membuatnya kian sumringah saja saat berangkat kerja ke kantornya, yang berada di bilangan kawasan industri Jakarta Timur. Teman-temannya, terutama perempuan khususnya yang lagi memiliki anak balita jadi teringat bahaya yang di bawa si Zaki, eh maksudku si bakteri Zakii. Ibarat kerja Interpol, kehadiran si Zaki tak ubahnya orange notice (Jus Jeruk kaleee...). "Iya neh Ki, kalau ketemu kamu jadi teringat bakteri susu itu," tutur Zaki menirukan temen perempuan sekantornya, "Tolong dong kasih tahu apa nama merek susu yang tercemar itu," sambung temannya berharap Zaki memberitahu. "Lantas kamu jawab apa?" tanyaku penasaran. "Ya mane ku te he," serunya sembari ngeloyor ke kamar mandi depan kamar kos tempatnya bersarang selama di Jakarta.

Sesaat aku terdiam. Di benakku lantas berhamburan sejumlah pertanyaan. Benarkah respon Depkes RI memang terlambat? Kalau memang terlambat, apa kira-kira yang menjadi alasan menunda penyampaian kabar buruk itu ke tengah masyarakat? Apakah hanya karena tak ingin masyarakat menjadi panik, yang ujung-ujungnya membuat jagad bisnis susu tanah air juga ikutan panik? Atau jangan-jangan ada pertimbangan lain? "Eh Mat, elo lagi mengkhayal jorok ya," tanya dia tiba-tiba sembari melotot ke layar televisi, yang kini sudah kuganti dengan tayangan dvd film Unfaithful (2002). "Lagi mbayangin si Diane Lane ya, secara gimana dia kan favorit elo," cerocos dia tak memberi kesempatan aku sekedar mengatupkan bibir agar tidak melongo. "Tak lagi," jawabku sekenanya. Sembari memamerkan aroma sabun mandinya, Zaki pun duduk persis di atasku di bangku kayu yang katanya selama ini setia menyonkong tubuhnya saat duduk melepaskan beban penat kerja atau pikiran.

"Kesempatan neh," pikirku dalam hati. Ada teman diskusi kata benakku sekali lagi. Lantas aku lontarkan sederet pertanyaan yang sempat berhamburan di benakku tadi. Tak tahunya bukan jawaban yang kudapat, tapi malah senyum nyengir kuda. "Macan tutul!" pekikku tertahan. "Apa Mat," menetralisir kedongkolanku, "Oh...itu," tukas dia seolah sudah mempunyai jawaban. Dia pun lantas berceloteh panjang kali lebar, meski ujungnya dia hanya ingin mengatakan, "Kalau aku berfikiran sepertinya pemerintah sedang menyiapkan sebuah agenda, yang ujungnya sebuah kebijakan baru," Aku semakin melongo. Tak ingin aku terlalu lama melongo dia lantas melanjutkan teorinya. "Bisa jadi pemerintah ingin kembali menggairahnya, secara tersirat kebiasaan memberikan air susu ibu yang kini semakin kalah pamor dengan susu formula," Mendengar jawabannya, dalam hati seketika sepakat dengan teorinya.

Apalagi kecenderungan menggunakan susu formula sebagai pengganti susu juga terlihat semakin menjadi-jadi, bahkan seolah menjadi gaya hidup baru para ibu muda yang terkesima dengan kesempurnaan gizi susu buatan pabrik, rekomendasi ahli nutrisi meski ujung-ujungnya hanya tak ingin kelihatan payudaranya tak lagi berisi. Lagipula dalam banyak kejadian, terlihat kecendrungan masyarakat kita adalah masyarakat latah yang melakukan sesutu bukan pada pertimbangan keperluan, namun semata karena keinginan. Baik keinginan untuk ikut-ikutan kecenderungan gaya hidup, asal tampil beda dan sebagainya. Jadi pilihan menggunakan susu formula semata karena keinginan bukan kebutuhan. Lain cerita mereka yang untuk membeli beras saja tak mampu, maka memberi ASI ke buah hatinya pada konteks yang sama juga bisa diartikan bukan keinginan namun semata karena tidak ada pilihan lain. Fakta lain, terlihat juga adanya kecenderungan sebuah kebijakan akan dipatuhi ketika memang tidak ada pilihan lain lagi. Ya, kultur panik memang selalu menisbikan rasio. Pada titik inilah, kehebohan enterobacter sakazakii seakan menemukan benang merahnya dengan teori Zaki. "Tapi tetap saja tak boleh sinis gitu, Mat," Zaki mengingatkanku.

Faktanya, tulis opini Majalah Tempo, susu formula telah lama menjadi andalan lebih dari separuh ibu Indonesia. Pada 2003 saja, menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 61 persen bayi usia hingga enam bulan bergantung pada susu formula. Survei Hellen Keller International pada 2002 menemukan air susu ibu hanya digunakan rata-rata 1,7 bulan, jauh dari syarat ideal pemakaian ASI selama enam bulan. Pantas saja, lanjut Zaki mengomentari fakta itu, angka kekerasan terhadap anak-anak yang dilakukan orang tuanya tinggi. Rupanya mereka berebut jatah susu toh. "Rupanya ada kesenjangan generasi. Perjuangan kelas," sinis Zaki. Kendati asal bunyi, sinisme Zaki cukup memancing pemikiran. Apalagi jika susu, persisnya susu entah ASI atau susu formula kita pahami sebagai mekanisme ketahanan pangan. Artinya, keberadaan susu merupakan mekanisme hubungan suplai pangan kepada bayi. Itulah mengapa setiap bayi menangis pasti terdiam saat disusui ibunya, atau diberikan susu. Karena diyakini tangis itu merupakan bentuk komunikasi bayi saat lapar atau haus. Dan sebuah penelitian kabarnya membuktikan itu, bahkan mengungkapkan fungsi antara satu dengan payudara lainnya berdasar fungsinya, sebut saja bagian kiri ASI "makan" dan bagian kanan ASI "minum"

Pada saat yang sama, susu kalau coba dilebarkan sebagai pangan maka ujungnya juga kekuasaan. Imbasnya menciptakan mekanisme ketergantungan. Pangan dan kekuasan sendiri memang sangat berkaitan erat. Setidaknya merujuk pada tulisan Susan George yang berjudul Pangan: Dari Penindasan Sampai ke Ketahanan Pangan (2007). Dia katakan, kelaparan yang melanda manusia tidak disebabkan oleh hal-hal mistis. Kelaparan yang melanda secara luas bukanlah kutukan Tuhan, sehingga kita tidak perlu repot-repot bertapa atau bersemadi mencari penyebabnya. Kelaparan sebenarnya terjadi karena ulah manusia sendiri: seperti keserakahan segelintir manusia yang merampas sumber daya. Paralel dengan argumentasi itu, maka seorang ibu yang rela mengganti ASI dengan susu formula untuk buah hatinya---apalagi untuk alasan egois kesempurnaan penampilan--- sejatinya juga tengah menciptakan sebuah kelaparan berupa "kelaparan" hubungan psikologis. "Tapi payudara (payu+dara), kalau dimakna bebas berdasar asal kata kan berarti sarana agar sang empunya laku, minimal menjadi daya tarik lawan jenis," sinis Zaki sekali lagi, sembari mengurai kata Payu yang berarti Laku dalam bahasa Jawa, dan Dara yang berarti gadis. Lalu apa hubungannya dengan bakteri? Aku dan Zaki tak bisa lagi berteori. Namun, kami berdua meyakini sekiranya itu juga jenis bakteri, maka bukan jenis yang membahayakan, namun sebaliknya malah memabukkan. Tabik!

Kabar Sang Waktu

Tidak ada yang bisa membantah, semua yang berserak dan terhampar dalam kehidupan sepenuhnya merupakan rencana Tuhan, dan sepenuhnya hak milik Yang Maha Kuasa. Massa, gravitasi, termasuk sang waktu juga sepenuhnya kuasa Yang Maha Memiliki. Sehingga manusia tidak bisa membalikkan waktu, sekalipun itu diinginkan karena alasan tertentu. Pada akhirnya manusia hanya bisa berencana, dan mencoba menjadi pemakna jeda antara waktu dan keabadian. Sebab daur hidup, jejaring kehidupan, perjalanan waktu, dan semua sirkumtasi kejadian memang sepenuhnya kuasaTuhan, dan hanya Dia pula yang menentukan segala-galanya. Termasuk akhir sebuah jalan cerita hidup. Lazimnya daur hidup, maka proses ada meniscayakan hadirnya ketiadaan. Semua hadir dan mengalir lazimnya lembayung petang menyambut datangnya sang fajar. Terus mengalir dan berdaur ulang layaknya lenting jarum jam saat bersama-sama berada di angka 12. Kulminasi sekaligus nadir sebuah perjalanan waktu. Selebihnya, pendulum waktu terus bergulir dan bergilir, sembari menghitung urut kacang daftar tunggu. Ada besar maka ada kecil. Ada suka tentu saja menunggu duka. Berdaya sekaligus tak berdaya. Semua berpasangan, agar hukum alam berjalan, daur hidup berkesinambungan. Sesungguhnya yang datang dari Tuhan juga akan kembali keharibaan Yang Maha Mencipta pula. Terima kasih kebersamaan. Selamat Jalan Kenangan. (dedicated to my beloved parents)

Rabu, 20 Februari 2008

DELAPAN ENAM

Siapa tak kenal Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur. Budayawan, pemikir, sekaligus mantan presiden negeri ini, yang juga seorang polyglot alias penutur banyak bahasa asing. Siapa pula yang tak tahu Clint Eastwood. Aktor kenamaan Hollywood, seorang walikota di negara bagian California, dan juga pria dengan banyak istri. Lalu, apa hubungan keduanya? Yang jelas, Gus Dur dikenal amat menyukai karya film, dan Eastwood terkenal sebagai sutradara jempolan, tentu saja lewat film Unforgiven.

Namun, kalau mau dihubung-hubungkan. Keduanya ternyata memang mempunyai keterkaitan, meski terpisah tapi mempunyai satu sumber benang merah yang sama. Apa itu? Tentu saja kepedulian keduanya terhadap penegakkan hukum, lebih tepatnya tegaknya lembaga hukum di tengah centang perenangnya sistem hukum, dan penegakkan hukum yang ada. Eastwood, melalui film-filmnya banyak mengungkapkan kisah karut marutnya dunia penegakkan hukum. Paling terkenal tentu saja lewat perannya sebagai Inspektur Harry Callahan dalam film Dirty Harry (1971).

Seorang hamba hukum, yang resah dengan sistem hukum yang lemah. Sehingga para pelanggar hukum nyaris tak tersentuh hukum. Tapi dasar Harry, sistem hukum bukanlah sebuah penghalang bagi dirinya untuk tampil menegakkan hukum, meski untuk itu harus melanggar hukum itu sendiri. Sebuah kritik terhadap kondisi penegakkan hukum, dan lembaga penegak hukum yang ada di San Fransisco saat itu. Lembaga kepolisian, saat itu seperti selalu kalah cepat, dan lihai ketimbang penjahat. Sejarah Amerika Serikat sendiri pernah memiliki catatan kelam lembaga kepolisian.

Saat dimana lembaga kepolisian justru menghamba kepada para pelanggar hukum. Hingga datangnya “The Untouchable” yang berhasil menjebloskan bandit terbesar Chicago, sekaligus Amerika Serikat saat itu, Al Capone. Perjuangan Eliott Ness saat itu sungguh sangat berat. Bukan saja karena korupnya sistem hukum, namun juga karena suburnya budaya suap. Budaya suap, dan sistem penegakkan hukum yang korup konon juga terjadi, dan menjadi praksis keseharian lembaga hukum di negeri ini. Mulai pengadilan, kejaksaan hingga kepolisian. Tak aneh, akhirnya kepada mereka lahir sematan meyakitkan seperti mafia peradilan.

Bahkan khusus lembaga kepolisian kerap terdengar anekdot, “Lapor kehilangan kambing, malah kehilangan kerbau” Kepolisian sendiri sebenarnya bukannya tak berbenah, bahkan sejarah kepolisian negeri ini pernah harum dengan sosok Hoegeng Iman Santoso, Kepala Polri yang dikenal bersih, dan relatif tak tersentuh suap. Menarik kemudian membaca sebuah ulasan tentang kepolisian di Harian Kompas (18/2), yang memimpikan sosok hamba hukum yang tangguh, profesional, dan bebas suap. Membacanya lebih lanjut, ternyata bukan hanya personilnya yang harus dibenahi namun juga sistem hukumnya. Selain masih banyak meninggalkan celah, juga terkesan akomodatif terhadap fenomena pertemanan, patron-client berjudul “Haopeng” [siapa memanfaatkan siapa]

Relasi yang aneh tapi nyata. Hubungan terlarang namun menjadi praktek kasih sayang. Celakanya relasi itu bukannya berangsur pudar malah semakin liar, dan bersinar. Bahkan terangnya hingga menyilaukan para hamba hukum. Saking kesalnya, hubungan gelap namun benderang itu oleh masyarakat distempel besar, dan tebal “DELAPAN ENAM” alias tahu sama tahu. Sudah sejak lama, praktek tersebut berlangsung di lembaga hukum negeri ini. Bahkan rantai hubungan ini semakin diperpanjang dengan sistem hukum negeri ini, yang masih mengandalkan pada trisula hukum, yaitu polisi, jaksa dan hakim.

Semua tahu, polisi memberkas. Jaksa menuntut, dan hakim memutus. Anehnya, pasal dakwaan seringkali berubah. Hingga ujungnya kerap terdakwa bebas karena tak cukup bukti. Kalau begini siapa yang salah. Tak jelas jawabnya, karena ibarat ular memakan ekornya sendiri. Tulisan di Kompas itu juga menyentil soal ini. Bahkan, proses ular memakan ekornya itu juga dipetakan, termasuk titik yang menjadi simpulnya. Sebuah kritik, sekaligus catatan bagi lembaga penegakkan hukum. Karena tanpa kesungguhan menjaga, dan mengawal ikatan simpul itu. Maka, hanya bakal menambah kasus yang tak terungkap (dark number). Bukan karena tidak ada jejak, tapi sulit mendefinisikan jejak itu sendiri. Itulah kenapa crime rate selalu lebih tinggi ketimbang crime clearance.

Sebab police hazard, alias potensi bagi lahirnya tindak kejahatan justru disemai lembaga yang selalu meneriakkan perlunya mewaspadai dinamika police hazard. Implikasinya jelas, kejahatan akan terus tumbuh dan lahir. Ibarat minum obat namun tak pernah diperhatikan dosisnya, kasus kejahatan kian sulit dipecahkan karena metode penyidikan tidak pernah diikuti seperti dosis obat yang seharusnya diminum. Imbasnya luar biasa, merujuk teori Malthus, kejahatan melesat bak deret ukur. Kemampuan menjejak kejahatan tak lebih deret hitung. Ironisnya, pada saat seperti ini selalu ada alibi, dan apologi sebagai pembenaran. Bukan saja dalih cekaknya anggaran, keterbatasan personil namun juga sebuah “kenyataan” yang dikabarkan sebuah teori buku.

Konon, kata teori itu, kejahatan merupakan keniscayaan bagi hadirnya harmoni kehidupan. Tak heran, jika sebagian pemikir sosiologi kejahatan juga meyakini, dan menyebutnya sebagai pintu menuju terbukanya sebuah perubahan. Bahkan, pada kondisi tertentu justru merupakan pendorong terjadinya perubahan itu. Kata Durkheim, seorang diantara yang meyakini teori itu, kejahatan “terikat dengan kondisi fundamental keseluruhan kehidupan sosial” dan berperan sebagai fungsi sosial. Karena itu, dia meyakini kehadirannya bukan hanya suatu yang “normal” dalam sebuah masyarakat, namun juga “fungsional” Normal, karena kejahatan ada pada setiap kehidupan masyarakat, dan fungsional karena dengannya, masyarakat justru bisa memberdayakan norma sosial, dan menyediakan “bahan” untuk perubahan sosial, layaknya “katup pengaman” bagi ketidakpuasan sosial---sebuah kondisi yang membuat orang melanggar hukum ketimbang mencari jalan keluar rasa tidak puasa itu. Sebuah paradoks: seru Durkheim!

Namun, terlepas apa pun teorinya, lembaga penegak hukum, khususnya kepolisian harus mulai membayar kepercayaan seorang Gus Dur, yang telah berjuang memandirikan kepolisian sebagai lembaga terpisah dari lembaga pertahanan. Tak hanya itu, kepolisian juga harus mulai menghapus stempel “DELAPAN ENAM” itu dengan kesungguhan menjadikan Tri Brata, dan Catur Prasetya sebagai bekal menjadi hamba hukum, yang bukan hanya layak mendapat anggaran APBN terbesar keempat [Rp36,108 triliun], setelah Depdiknas, Dephan, Departemen Pekerjaan Umum, namun juga berhak menyandang gelar insan Rastra Sewakottama. Sebab, kalau sampai ini tak terpenuhi maka benar kata Gus Dur, “Hanya Dua Polisi yang Jujur yaitu Hoegeng Iman Santoso, dan Polisi Tidur”

Kamis, 14 Februari 2008

Zuriat: Capek Deh..!

Dalam tradisi Jawa, lazim dikenal istilah 3B yaitu "Bobot, Bibit,Bebet" sebagai kriteria saat mencari pasangan hidup. Kendati sudah terdengar jadul, atau kuno namun dalam prakteknya masih banyak menjadi referensi. Entah karena percaya, atau malah takut kualat! Namun demikian, diyakini atau tidak, hampir semua kebudayaan mengenal tradisi dan kebiasaan seperti itu, khususnya soal asal usul atau latar belakang seseorang. Bahasa HRD-nya curriculum vitae (CV) alias riwayat hidup. Sebab bagi sebagian kalangan CV sangat penting, bahkan diagungkan dan menjadi prasyarat sebuah status sosial. Orang Malaysia menyebutnya Dzuriat! Ya, keturunan, asal usul yang bersumber dari pohon keluarga (family tree). Sebuah bagan, yang dalam budaya Jawa penting agar tidak "Kepaten Obor", yang memberikan terang tentang asal usul dan keterhubungan atas nama kekerabatan. Sampai titik ini sepertinya tidak ada yang keliru, bahkan justru sebuah keharusan untuk menjaga dan merawat kekerabatan atas nama dzuriat!

Hingga datang sebuah kabar buruk bernama kepentingan. Sebab kepentingan, apapun retorika dan argumentasinya, selalu lekat dan mendekat dengan idiom politik, tentu saja dalam pengertian luas. Sementara itu, praksis politik berabad-abad lamanya selalu meneriakkan adagium, "Tak ada lawan abadi, tapi kepentingan abadi" Pada titik ini, pengertian politik akhirnya menyempit menjadi "siapa mendapat apa" dan "apa harus bagaimana" Ujungnya jelas, mengutip ungkapan klasik, yaitu Takhta, Harta, dan Wanita. Sebuah idealitika sekaligus malapetaka politik---sebagai sebuah sarana mencapai tujuan. Tanjungpinang beberapa hari terakhir juga diramaikan dengan silang sengketa personal, yang sialnya melibatkan dalih keturunan menjadi demarkasi perbedaan. Konon, sumber silang sengketa adalah sebuah pulau, yang sejak turun temurun diyakini cikal bakal, dan kampung halaman penguasa dzuriat tertentu.

Silang sengketa itu bermula dari keinginan personal untuk "menggunakan" pulau tersebut sebagai cultural endorsement atas penasbihan sebuah sematan kehormatan. Dalam politik, dukungan budaya bisa menjadi political advantage. Apalagi jika keuntungan itu diperoleh dari tempat dimana sumber dukungan politik itu bermula. Hanya saja tak disangka, personal lain yang mengklaim sebagai dzuriat pulau menolak. Entah apa alasannya, yang jelas silang sengketa itu menjadi polemik. Hingga terjadi perang kata-kata. Saling bongkar cerita, dan lempar kosa kata. Ironisnya, tak ada kosa kata yang ber-bobot. Tidak ada bebet yang bisa diceritakan. Kecuali bibit beda kepentingan. Tentu ironis, kalau memaknai dzuriat hanya untuk berbeda. Karena kalau terus menerus disemai, perang kata-kata itu hanya akan menguras kisah penting untuk cerita tak penting. Sebab dzuriat seharusnya dirawat, bukan malah menjadi aurat yang dikerat. Dan terlepas dari apapun kepentingannya. Kalau terus dilanjut silang sengketa itu, meminjam istilah gaul anak Jakarta, Dzuriat: Capek Deh...!

Jumat, 08 Februari 2008

Kisah Sebuah Menara

Bahasa ternyata tak hanya menunjukkan bangsa, tapi juga mengandung esensi pentingnya sebuah perbedaan. Tak percaya, simak saja kisah aktris cantik Cate Blanchett dan aktor tampan Brad Pitt pada petualangan penuh enigma, dalam film besutan sutradara Alejandro Gonzales Innaritu, berjudul Babel (2006), produksi Paramount Vintage yang berganti nama menjadi Paramount Classic. Dalam film itu, penonton diajak berpetualang ke dalam empat kisah yang berbeda latar, dan kejadian termasuk karakter. Namun sejatinya, keempatnya mempunyai satu benang merah yang sama. Dengan gaya flash back, sutradara yang dikenal menelurkan karya seperti Amores Perros, dan 21 Grams, itu mengajak penonton memahami arti, dan pentingnya sebuah kesamaan dalam ketaksamaan.

Sebuah beda yang bukan pembeda, melainkan beda untuk menjadi sama. Sehingga ragam, dan langgam menjelma menjadi arti, dan artikulasi. Pasalnya, dalam relasi tanda, dan penanda bukan saja membuat bahasa bisa kehilangan makna, namun dapat juga menghilangkan nyawa. [tentu saja nyawa Cate Blanchett dalam film itu, yang tertembus peluru] Lalu apa sebenarnya pesan yang hendak disampaikan? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita menyimak tulisan Goenawan Mohamad dalam buku kumpulan esainya, Tuhan dan Hal-hal yang tak Selesai, terbitan Kata Kita, 2007. Sebab pesan yang hendak diungkap, dan disampaikan sama, yaitu berkisah tentang kekalutan sekaligus terang benderang makna sebuah bahasa.

Tulis Goenawan: Syahdan, menurut Alkitab, manusia datang ke sebelah timur tanah Sinear untuk menegakkan sebuah menara yang tinggi, agar mereka tak terserak ke pelbagai tempat dan bisa berbahasa satu. Tapi Tuhan murka. Menara itu ditumbangkan. Orang-orang dibuncang ke pelbagai penjuru, dan bahasa dikacau balau hingga manusia tak saling mengerti lagi. Demikian itulah takdir. Sebuah kitab suci lain, Qur’an, yang tak berbicara tentang Tuhan yang murka, tetap mengingatkan manusia bahwa Ia sengaja tak menghendaki segalanya jadi satu, melainkan berbeda. Beda melahirkan bahasa dan membentuk hidup.

Menara itu bernama Menara Babel. Persis kisah petualangan Brad Pitt dan Cate Blanchett. Apa itu Menara Babel? Kenapa hingga Tuhan murka dan menumbangkannya? Migdal Bavel dalam bahasa Ibrani, atau Burj Babil dalam bahasa Arab, tulis Wikipedia, merujuk sebuah kitab suci, sebuah menara yang dimaksudkan untuk menasbihkan pencapaian kota Babilu, atau Babilonia. Yaitu, sebuah kota yang menyatukan semua umat manusia, yang berhijrah dari timur, dan berbicara dalam bahasa yang sama. Sebuah kota yang dibangun selepas banjir bah yang melanda jaman Raja Namrud. Penduduk memutuskan, kota mereka harus mempunyai menara yang tinggi, dan kokoh menjulang sehingga “puncaknya berada di nirwana” Namun, ternyata Menara Babel akhirnya menjadi sebuah pengingkaran. Ia dibangun bukan untuk berserah, dan beribadah kepada Yang Maha Tinggi. Sebaliknya, malah menjadi puncak pemujaan terhadap kepalsuan, bukan kesejatian. Akibatnya Tuhan murka, membuncang manusia ke segenap penjuru dunia, bahasa juga dikacau balau agar mereka tidak saling mengerti satu sama lain.

Syahdan, di jantungnya Uni Eropa, Brussel 2004 pernah digagas perlunya sebuah bahasa yang sama, agar rivalitas bahasa tidak melembaga. Biar beban agenda tidak mendera. Supaya integrasi menjadi nyata. Sehingga hak budaya tetap terjaga. Mungkinkah? Sebuah tantangan, yang sejauh ini kental dengan sematan kerja babilon, akibat beratnya persoalan “Menara Babel” Bahkan di kala Uni Eropa sudah semakin jauh melangkah, dan nyata menjadi pesaing tunggal, dan sedarah bangsa Amerika Serikat.

Perluasan Uni Eropa dan Implikasi Terhadap Bahasa

Mulai tahun 2004 keanggotaan Uni Eropa akan bertambah lagi, menyusul disetujuinya beberapa negara, setelah melalui serangkaian persyaratan yang telah ditentukan. Perluasan keanggotaan ke arah Timur tentu mengandung beragam implikasi beberapa persoalan pasca-perluasaan, satu di antaranya adalah implikasi terhadap masalah bahasa. Persoalan yang lazim disebut "Menara Babel" ini menguraikan sejumlah implikasi mengenai soal bahasa di Uni Eropa.

Menyoal bahasa sebenarnya membahas masalah keterwakilan. Bahasa adalah soal representasi dan ini diakui sebagai prinsip kebahasaan yang berlaku di Uni Eropa. Adalah hak semua warga negara Uni Eropa untuk mengetahui dan mengungkapkan sesuatu melalui bahasa nasional mereka. Dengan demikian, bahasa, dalam kasus perluasan, merupakan aspek mendasar bagi suatu upaya integrasi. Bahasa sebagai indentitas nasional mencerminkan representasi bangsa tersebut dalam proses integrasi yang dilakukan.

Ini artinya bahasa memainkan peran penting sebagai elemen pendorong integrasi. Ironisnya, dalam perkembangannya persoalan bahasa juga memunculkan implikasi lain, yang bila tidak dikelola dengan seksama, akan bermuara pada inefisiensi dan lumpuhnya fungsi-fungsi keorganisasian. Inilah yang disebut sebagai problem "Menara Babel" yang di dalamnya mengandung persoalan administrasi dan persaingan politis.

Beban administrasi
Dengan bergabungnya beberapa negara baru dalam keanggotaan Uni Eropa maka mengacu pada prinsip keragaman bahasa setidaknya ada 12 bahasa lagi masuk dalam daftar bahasa "resmi". Bila selama ini telah ada 11 bahasa yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari (working language) dan 40 bahasa regional maka dengan masuknya 12 bahasa tersebut akan menaikkan jumlah working language menjadi 23 dan "bahasa regional" akan menjadi 60 buah.

Bahasa regional adalah bahasa yang ada dan dilindungi oleh negara anggota di mana ia bukan merupakan bahasa nasional. Sudah pasti ini menjadikan beban administrasi, terutama dinas penerjemahan dan interprestasi, menjadi berat. Menurut Archie Clark, penasihat dinas penerjemahan Komisi Eropa untuk urusan perluasan, dengan masuknya bahasa tersebut setidaknya dibutuhkan lagi 100 hingga 200 petugas penerjemah untuk setiap bahasa bersangkutan.

Sebagai ilustrasi, saat ini di setiap komisi Uni Eropa yang bersidang ada sekitar 33 penerjemah yang bertugas "mengkomunikasikan" jalannya agenda kerja dalam 11 bahasa resmi. Dengan bertambahnya anggota baru akan meningkatkan jumlah penerjemah yang dibutuhkan menjadi 69. Padahal hampir semua debat parlemen, sidang Komisi Eropa dan banyak pertemuan Dewan Eropa harus diterjemahkan dalam semua bahasa resmi.

Dari 11 bahasa resmi yang ada akan menghasilkan tidak kurang 110 kombinasi bahasa. Guna mengatasi persoalan ini, dinas penerjemah dan interpretasi tebesar di dunia ini ingat PBB hanya ada 5 bahasa resmi mengandalkan pada penerjemahan relai. Namun demikian, prosedur penerjemahan yang rumit membuat pemahaman dan penerjemahan yang semakna tidak mungkin.

Sehingga hampir-hampir bisa dipastikan tidak akan pernah bisa dijumpai debat retorik yang biasa ada dalam persidangan; padahal kekuatan bahasa ada di sini yaitu apabila kita mampu menyampaikan pendapat secara langsung tanpa perlu kehilangan makna dan retorika. Beban administrasi yang berat ini mengisyaratkan perlunya terobosan untuk mengatasi kondisi "Babylonian" yang ada. Pentingnya terobosan ini dibenarkan oleh Gerhard Weber, direktur dinas penerjemahan pada Mahkamah Pengadilan Eropa, di mana dari sekitar 230 staf hukumnya, yang rata-rata mahir 5-6 bahasa harus menerjemahkan setidaknya 330 ribu lembar "kata" bermasalah.

Belum lagi persoalan pemahaman tentang hukum dari anggota sehingga tidak kurang ada 140 ribu lembar naskah legal berkaitan dengan soal hukum yang belum diterjemahkan secara lengkap setiap tahunnya. Guna mengatasi persoalan itu tidak ada jalan lain selain hanya menerjemahkan naskah legal itu dalam beberapa bahasa utama saja, sebut misal Inggris, Jerman, dan Prancis.

Melihat beratnya beban administrasi dari dinas penerjemahan ini maka tidak heran bila ia mendapat prioritas lebih, di mana dari total 16 ribu staf yang ada di komisi Eropa seperlimanya bekerja di bidang ini atau setara kurang lebih 3.500 orang. Ini akan bertambah seiring dengan proses perluasan yang tengah berlangsung (European Commission, 1999). Tentu ini akan berdampak pada pembiayaan yang membengkak. Kalaupun ini bukan persoalan akan muncul masalah bagaimana menjamin administrasi Uni Eropa tetap berfungsi sekaligus mampu menjaga keragaman bahasa yang selama ini diakui sebagai salah satu bagian dari hak budaya masing-masing negara tetap ada.

Rivalitas bahasa
Implikasi lain yang muncul dari persoalan bahasa adalah persaingan terselubung antara beberapa negara utama Uni Eropa berkait dengan penggunaan bahasa mereka masing-masing. Dalam beberapa hal persaingan itu berubah menjadi perang dingin yang kadang meletup untuk soal-soal tertentu dengan klaim keterwakilan dan dalih kuantitas. Sudah menjadi rahasia umum jika Jerman, Prancis, dan Inggris terlibat dalam relasi yang rumit selama aktif dan berperan dalam Uni Eropa. Sebagai negara utama perang pengaruh di antara mereka teramat nyata.

Bila politik menyebut "siapa mendapat apa" maka persaingan mereka kentara dalam ranah kebahasaan di Uni Eropa. Jerman merupakan pihak yang paling, belakangan ini, gemar mengutarakan perlunya "keadilan" dalam soal ini. Sebagai satu bahasa yang digunakan oleh lebih dari 100 juta penutur; Bahasa Jerman selama ini seperti tidak diperlakukan dengan adil. Sekali lagi bahasa adalah soal representasi. Keterwakilan adalah nama lain dari kuantitas, dan secara politis ia merupakan elemen mendasar.

Berangkat dari representasi pula, Bahasa Prancis sebagai salah satu bahasa negara pendiri Uni Eropa merasa dinomorduakan oleh menguatnya dominasi Bahasa Inggris dalam kancah pertarungan bahasa selama ini. Tidak aneh apabila Spanyol menyebut situasi linguistik di Uni Eropa sebagai ekspresi "hegemoni utara terhadap selatan". Ini artinya dominasi mainstream anglo-saxon di mana Inggris dan Jerman ada di dalamnya terhadap kultur latin-mediterania yang diwakili Prancis dan Spanyol.

Akibat situasi yang cenderung "friksional" ini pemerintah Finlandia suatu ketika pernah mengusulkan agar menggunakan bahasa latin sebagai satu-satunya bahasa resmi Uni Eropa. Persoalan bahasa pada dasarnya adalah persoalan "perasaan" kebangsaan, sehingga memaksakan persoalan ini dengan sepihak akan menyiratkan penafian terhadap eksistensi lainnya. Berkait dengan perang dingin bahasa antara tiga negara utama Uni Eropa, telah banyak diupayakan langkah terobosan yang dirasa mampu mengakomodasi tuntutan yang ada tanpa merasa perlu menyinggung "perasaan" kebangsaan yang begitu "rapuh" dalam intregrasi Uni Eropa.

Sekadar ilustrasi, untuk soal finalisasi konstruk Uni Eropa ada perbedaan tajam antara Prancis yang menginginkan Konfederasi Eropa dengan Jerman yang mengusung Federalisme Eropa. Sementara Jerman dan Prancis berbeda pendapat soal penyatuan mata uang tunggal Eropa, Euro, dengan Inggris. Dalam pada itu, keberhasilan dari sejumlah negara yang kini menjadi anggota untuk fase pertama disinyalir karena adanya afiliasi bahasa dan kepentingan bahasa tertentu antara negara anggota baru dengan beberapa negara utama Uni Eropa.

Meskipun masih terlampau prematur untuk menduga seperti itu; akan tetapi kalau dicermati secara seksama di sana ada cukup kebenaran. Imbasnya bisa dicermati dalam "kuota" keterwakilan dan hak suara di beberapa lembag strategis Uni Eropa pasca-perluasaan. Dalam semangat "rekonsiliasi" itulah dalam soal bahasa pernah diusulkan oleh Manuel Schubert dari Lembaga Max Planck di Muenchen untuk menggunakan model berbasis tiga bahasa untuk mengatasi persoalan ini (Deutschland Magazine, 2002).

Pertama, menjadikan Bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman sebagai bahasa resmi, di mana semua aturan hukum dan dokumen yang mengikat secara hukum di Uni Eropa ditulis dalam ketiga bahasa tersebut. Kedua, menjadikan bahasa Inggris sebagai "working language" Uni Eropa yaitu bahasa yang digunakan oleh badan-badan UE untuk komunikasi internal.

Ketiga, melembagakan apa yang disebut Bahasa Union, yaitu bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi badan-badan UE dengan semua negara anggota. Penerapan langkah ini dipandang lebih efisien dalam menyelesaikan persoalan teknis kebahasaan sekaligus mengakui eksitensi bahasa nasional sebagai identitas fundamental setiap negara anggota. (agoes soemarwah)[artikel pernah diterbitkan Harian Republika]

The Decline of Firewall

In the market driven media, nowdays one can not rely just on the output of editorial work. But also deeply depends on the bussiness plan. Simply called it the synergy. Slow but surely, it is also becoming a mantra. A magical word for fortune, and everything entitled the winner takes all---by Smithians perspective. It therefore, the ideal credo of media separating, or simply firewall between news and bussines were faded away. Even, by all acount, especially rente based performance. The extention of the firewall was in decline. But, for the optismist, the condition wasn’t the end of the world, and it should be anticipated by doing it independently using such alternate way as blog, and so on. For the fatalist, it seems no more idealism of ideal press. There are thus, one ought to embrace, and starting a choice anew, that is doing pragmatism in the name of corporate culture. And now, the choice is yours!

Sepakbola, Media, Selera

Kalau ditanya apa beda sepakbola dan media, jawabnya tentu tak sesulit mencari jarum dalam tumpukkan jerami. Sepakbola, yang konon berasal dari Inggris Raya merupakan olahraga paling populer sejagat. Olahraga Rakyat! Sepakbola bagi sebagian penduduk dunia juga berarti katarsis beban hidup. Wajar jika sebagian memberhalakan, bahkan menganggapnya agama baru. Dengan nabi yang beragam namanya, berikut kitab sucinya mulai jogo bonito, total football hingga pragmatism football. Seperti halnya agama, maka sepakbola juga rentan bid’ah berupa aliran baru, varian baru, bahkan nabi naru. Sebagai agama, mungkin hanya “agama sepakbola” yang boleh dibilang paling demokratis, all shades of opinion!

Pun media, dalam artian media cetak, kabarnya juga bermula dari kedai kopi di Inggris Raya. Bagi pengagum demokrasi, media diyakini sebagi pilar keempat setelah legislatif, eksekutif, dan tentu saja yudikatif. Media juga diyakini sebagai penyambung lidah kaum paria, dan sudra. Juru bicara yang papa, dan lemah terhadap yang kuat, dan berkuasa. Tak aneh bagi sebagian, media tak lebih messias. Lorong terang bagi kaum tertindas, sumber bahan bakar bagi pendidikan kaum tertindas--thanks to Frater Paulo Freire. Media bukan hanya lilin dalam kegelapan, namun juga dian bagi kesewenangan. Sehingga, jika dihadapkan pada pilihan pemerintahan tanpa koran, atau koran tanpa pemerintahan, maka jawabnya jelas dan tegas. “Saya pilih yang kedua!” seru Thomas Jefferson, Pendiri Negeri Paman Sam suatu ketika.

Lalu apa beda sepakbola dan koran, ehm….tentu saja pada soal selera! Karena batas perbedaan dan persamaan keduanya tipis, tergantung, ehm…selera! Sebab sepakbola dan media mempunyai peran dan andil yang sama, yaitu membuat yang berserak mendekat, dan yang dekat merekat. Persis, seperti kisah mesiah yang didengungkan setiap agama. Keduanya juga sebuah wahana memberikan yang lemah, dan tak bersuara menjadi mampu, dan bersuara. Dalam bahasa Khalifah Umar bin Khatab, “Menguatkan yang lemah, dan melemahkan yang kuat” Keduanya juga diyakini memungkinkan hadirnya demokrasi. Benarkah? Tentu saja benar sampai datangnya, ehm…selera!

Sebab selera berarti perdebatan soal rasa. Selera berarti berbicara soal kasta, siapa aku siapa kamu. Sehingga tidak ada lagi kebersamaan bernama kita, dan yang ada hanya kami dan kalian. Ini selera Adam Smith, itu rasa Karl Marx. Tak heran, dalam kebingungan Hegel pernah berteori: Setiap tesis, akan menghadirkan antitesis, guna melahirkan sintesis! Sungguhkah? Sampai ketiganya bertemu di alam kelanggengan, belum juga terjawab teori itu. Kapitalisme tetap merasa mempunyai selera. Marxisme terus mengklaim memiliki rasa. Selebihnya, tidak lain tak bukan (sintesis) selera rasa, rasa selera! [hwakakaka…]

Karena memang sejak selera dan rasa masuk, dan mengharu biru keduanya. Tidak ada lagi demokrasi, dan diseminasi partisipasi. Tak ada lagi kolektifitas, kebersamaan, dan perbedaan pandangan. Tak terdengar lagi pola, formasi apalagi inspirasi. Seolah semua kitab suci agama sepakbola terbuang. Tak ada lagi total footbal atau pun jogo bonito. Mesias yang menyebut dirinya juru bicara yang papa, dan tak bersuara juga sudah lama masuk lubang hitam (black hole). Terpenjara dalam nurani. Kini yang ada hanyalah pragmatisme, jeda antara idealisme dan opurtunisme. Apalagi dalam skisma industrialisasi. Sehingga semua potensi, dan sumberdaya hanya sebesar-besarnya, memlesetkan ungkapan “Banyak Jalan Menuju Roma”, dikerahkan untuk “Satu Jalan Menuju Roma”

Sepakbola tentu saja menjadi ladang demokrasi yang paling terimbas. Atas nama pragmatisme, dan kepentingan industri sepakbola menjelma menjadi padang perbudakkan modern. Pemain menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Hidup matinya ditentukan si pemilik kapital. Persis kisah gladiator di jaman Romawi kuno. Kabar buruknya, belum juga lahir mesias yang melakukan pencerahan, dan menghukum para penebar selera kapital. Media juga setali tiga uang, keberadaannya telah menjelma menjadi corong pemilik modal bertopeng mantra mujarab, hanya satu kata: pasar! Atas nama pasar pula, Fabio Cappelo rela dihujat karena pilihan strateginya yang pragmatis.

“Yang penting adalah hasil akhir,” ungkap dia suatu ketika mengungkap filosofi permainan sepakbola. Walhasil, selamat tingggal Rinus Michel, selamat jalan Jogo Bonito. Tak dapat disangkal, pragmatisme kini menjadi mantra ideal untuk mengatasi persoalan tidak ideal. Padahal kalau mau jujur, pilihan sepakbola pragmatis Cappelo tak lebih soal, ehm…..selera. Tentu saja selera seorang Cappelo. Persis seperti media, persaingan yang semakin ketat juga mengharuskan pasar menjadi parameter, selera audience sebagai pendekatan strategi. [I am agree to disagree]. Juntrungnya jelas, di akhir parameternya bukan keinginan pasar namun selera pemilik modal [market+share=marketshare]. Pada saat yang sama, industri media juga selalu dibayangi fenomena amplop. Keberadaannya juga terus menjadi perdebatan sepanjang waktu. Menariknya, banyak suara menyebut amplop bukan tujuan, namun semata soal pilihan. Wajar saja, jika amplop susah direduksi. Karena, amplop sebagai entitas lebih dulu, dan buru-buru ditarik menjadi persoalan privat, manakala lahir keinginan menjadikannnya ranah publik. Menerima amplop adalah soal pribadi, masing-masing orang. “Itu soal etika saja,” celetuk seorang pekerja pers.

Ironisnya, sepanjang berlalunya waktu bumi mengelilingi matahari, perdebatan soal etika tak lebih debat kusir. Hangat tapi tak pernah memikat. Apalagi jika perdebatan itu bergeser, dan berubah menjadi perdebatan soal Atika (baca: nama orang). Weleh....weleh, hasilnya sudah bisa ditebak. Pasti tak jauh dari soal, ehm…selera. Sehingga, pada akhirnya menarik mendengarkan pesan Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia dalam bukunya Renaisans Asia. "Kalau berdiskusi semata mendebatkan soal selera, maka sebaiknya masing-masing pergi berangkat tidur," pesan Anwar. Setubuh Pak Cik, eh…setuju!

Rabu, 06 Februari 2008

Lain Jalan Menuju Roma

Tak ada bunyi serak burung gagak, tidak pula terdengar sangkakala. Namun, mendung hitam tiba-tiba menggelayuti ketenangan Jalan Ganet, Batu 12, Tanjungpinang. Sejenak suasana senyap. Beberapa jeda kemudian, pecah tangis bocah bercampur kaget. Pasalnya, mata bening itu menatap sebujur kaku sosok yang sangat dikenalnya. Sri Lestari (36), demikian tubuh kaku itu sering dipanggil. Namun, kali ini panggilan ibu yang biasanya langsung bersambut dengan pelukan hangat, tak lagi berjawab apalagi memeluk. Hanya kaleng racun serangga, dan selembar surat yang menjawabnya.

“Ya tuhan ampunilah aku orang berdosa,
Suamiku kamu orang yang jujur, maafkanlah aku kamu sudah baik pa, nasihantin aku, tapi akunya saja,
Maafkanlah kesalahanku pa, aku bersalah besar padamu, jalan pikiranku menyalahkan orang, tetangga disini,
Pa aku titip anak-anak Chris, Cia , Dino
Pa kamu suamiku yang jujur, seharusnya aku bersyukur, tapi aku sudah membikin salah terus aku jadi bingung,
Padahal kamu sudah baik padaku dan anak-anak,
Sekali lagi maafkan aku istrimu yang bodoh dan lugu, ngomong tak pakai otak
Maafkan kesalahanku tetanggaku.”


Rabu (6/2) siang itu, seketika langit cerah Jalan Ganet berubah menjadi muram. Dan tubuh menggigil itu terpaku, mulut terkunci. Hanya bulir bening yang berkata-kata. Sri, ibunya mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun serangga. Kisah sedih itu tak hanya meninggalkan duka, namun juga menambah deret panjang enigma katarsis beban hidup bernama le suicide. Dan sepertinya kini laku menghabisi diri sendiri, atau bunuh diri menjadi pilihan paling rasional untuk membebaskan diri dari persoalan hidup, baik karena himpitan masalah ekonomi atau permasalahan lain yang tak bisa didefinisikan, bahkan dengan ukuran kata hati sekalipun. Seolah tidak ada cara lain untuk meringankan beban hidup. Semua buntu, dan beku. Seakan tak ada pilihan lain yang mudah, dan masuk akal. Dan meminjam ungkapan klasik “Banyak Jalan Menuju Roma”, laku bunuh diri seolah merupakan jalan pintas, dan tercepat untuk menuju Roma. Sebentuk eskapisme sosial atas nama ketidakberdayaan. Sebuah katarsis beban hidup.

Dan Ibu Chris, Cia, dan Dino itu memilih pergi ke “Roma” dengan jalan yang diyakininya. Belum diketahui alasan Sri nekat melepas belaian sayang kepada tiga buah hatinya. Namun dari berbagai kasus serupa yang ditangani kepolisian selalu berakhir dengan kesimpulan: karena beban kehidupan. Ya, kehidupan keluarga, ekonomi, hingga kehidupan cinta. Namun demikian, persoalan bunuh diri ternyata tak hanya sempit sebatas persoalan itu saja, bahkan dalam beberapa kebudayaan laku bunuh diri justru diyakini sebagai bentuk pengabdian, penghormatan dan pengorbanan untuk hal-hal yang tak bisa dijelaskan alasannya.

Tradisi bunuh diri, atau seppuku atau harakiri di Jepang merupakan satu diantaranya. Ada segenggam alasan yang tak bakal diterima nalar, namun kenyataannya itu selalu diyakini sebagai sebentuk pengabdian. Sigmund Freud melalui Psikoanalisa-nya berusaha membantu menjelaskan. Bahwa sejatinya, bukan semata itu alasannya. Namun justru ada argumentasi lain yang bisa menjadi alasan masuk akal terjadinya laku bunuh diri. “Dalam jiwa (psyche) manusia sejatinya ada dua insting dasar yang menggerakkan hidup, yaitu eros dan thanatos,” ungkap dia. Keduanya, lanjut Freud memiliki karakter yang saling menegasi satu sama lain. Eros mencintai kehidupan, dan thanatos membenci hidup. Sejenak dia terdiam. Sembari menarik nafas, Freud melanjutkan, berbeda dengan insting mencintai hidup. Insting membenci hidup bercirikan sifat agresi, rasa permusuhan, dan keinginan merusak. Kabar buruknya, ibarat pedang insting itu ternyata bermata dua. “Rasa permusuhan, agresi dan keinginan merusak itu bila menemukan sasarannnya di luar maka menjelma menjadi laku membunuh,” terang dia, “Sebaliknya, bila sasarannya ternyata justru ke dalam diri sendiri maka bentuknya berupa keinginan bunuh diri,” lanjut dia menerangkan.

Namun berbeda dengan Freud, yang berusaha menjawab fenomena bunuh diri dengan pendekatan psikologi, maka sosiolog Perancis Emile Durkheim menawarkan pendekatan lain. Seperti latar ilmu yang dimilikinya, Durkheim melihat fenomena bunuh diri terkait dengan ikatan sosial, antara individu dengan masyarakat dan sebaliknya. Kesimpulan analisanya itu, seperti terungkap dalam ouvre-nya Le Suicide (1897), membedakan laku bunuh diri dalam empat tipologi.

Pertama, bunuh diri egois (egoistic suicide). Yaitu ketika keterikatan antara satu individu dengan individu lain dalam satu masyarakat lemah, dan longgar. Sehingga secara emosional individu bersangkutan merasa bukan bagian masyarakat tersebut. Namun, sebagian kalangan menyebut laku bunuh diri ini terjadi memang semata pelakunya ingin bunuh diri. Khusus yang terakhir kasus bunuh diri sejumlah penulis kenamaan Jepan masuk dalam jenis ini. Durkheim sendiri meyakini, jenis ini banyak dilakukan orang dengan latar belakang sudah bercerai.

Kedua, bunuh diri altruis (altruistic suicide). Yaitu ketika satu individu merasa hidupnya adalah milik masyarakat bersangkutan. Karena itu, laku bunuh diri yang dilakukan diyakini bisa membawa manfaat bagi masyarakat bersangkutan. Durkheim lantas membaginya lagi menjadi dua varian, yaitu (1) Ketika keberadaan diri dianggap menjadi beban bagi lingkungan dimana ia berada. Semisal kasus bunuh diri yang kerap terjadi dalam lingkungan milter saat berperang. (2) Ketika keberadaan diri tak berguna untuk sesuatu yang lebih besar dan ideal. Semisal bunuh diri yang dilakukan pilot kamikaze Jepang, dan tradisi Sati dalam Agama Hindu.

Ketiga, bunuh diri anomi (anomic suicide). Yaitu ketika norma sosial lingkungan yang ada tak bisa lagi menjadi regulasi sosial bagi individu yang berada di dalamnya, karena terjadinya perubahan dramatis dalam perekonomian atau peri kehidupan sosial lainnya. Perlu diingat hampir semua norma sosial melarang laku bunuh diri. Durkheim mengungkapkan, jenis ini terjadi ketika norma sosial dan hukum yang mengatur peri kehidupan sosial tidak sejalan dengan tujuan hidup individu di dalamnya. Karena itu, individu bersangkutan bunuh diri merupakan jalan “keluar” dari aturan, atau kondisi hidup yang semakin tidak sejalan dengan keinginan. Sebagian kalangan menyebut, mereka yang bunuh diri karena alasan masalah ekonomi termasuk dalam jenis ini. Atau dari dulunya kaya, tiba-tiba jatuh miskin karena roda kehidupan yang berubah drastis.

Keempat, bunuh diri fatalis (fatalistic suicide). Yaitu kebalikan dari anomi. Fatalis adalah ketika aturan sosial justru menjadi sesuatu yang menyesakkan kehidupan. Sehingga tidak ada harapan lain bagi individu itu untuk terbebas dari aturan sosial itu selain “terbebas” dengan bunuh diri. Kasus bunuh diri yang dilakukan budak pada jaman perbudakan, dan masyarakat Jepang.

Selain membedakan bunuh diri berdasar tipologinya, Durkheim dalam karya itu juga menemukan bahwa angka bunuh diri justru rentan bagi janda/duda, dan bujangan ketimbang orang yang menikah. Bunuh diri, lanjut dia juga rentan dialami pasangan tanpa anak dibanding yang mempunyai keturunan. Namun faktanya saat ini kondisi yang berbeda justru lebih terlihat. Terlepas dari temuan Durkheim tersebut. Bunuh diri sejauh ini juga mengenal model berdasar usia kecenderungan melakukan bunuh diri. Secara umum dikenal tiga model.

Yaitu model Jepang, dimana terdapat dua usia kecenderungan melakukan bunuh diri yaitu sekitar 25 dan 50 tahun ke atas. Kurvanya, ketika mendekati usia 25 maka grafiknya naik lalu turun seiring bertambahnya usia, dan terlihat mendaki tinggi saat usia mendekati 50 tahun ke atas, dan menurun lagi seiring dengan pertambahan usia. Lalu model Hungaria, yaitu semakin bertambah usia semakin menunjukkan kurva menanjak. Terakhir model Skandinavia, yaitu usia rentan bunuh diri setelah mencapai usia 50 tahun ke atas. Berdasar statistik, warga negara Skandinavia atau Nordik secara umum, termasukm tinggi angka bunuh dirinya. Islandia pernah menjadi yang tertinggi di dunia.

Kalau merujuk pada tipologi bunuh diri Durkheim, maka kasus yang belakangan ini menghiasi halaman surat kabar, dan layar televisi lebih lebih mendekat ke jenis bunuh diri anomi. Khususnya dipicu himpitan masalah ekonomi, dan perubahan sosial yang cepat, sehingga membuat sebagian individu merasa hilang hak hidup sosialnya. Ironisnya, untuk sebagian justru negara ikut menjadi pemicunya, terutama melalui pemiskinan struktural. Goenawan Mohamad lewat kolom “Catatan Pinggir”-nya bahkan, dengan cerdas dan lugas hingga dua kali mengungkapkan secara tersirat, adanya “peran” negara dalam laku bunuh diri tersebut. Yaitu melalui kisah Sukardal dan Slamet. Yang pertama memilih mengakhiri hidupnya dengan menggantung di pohon Tanjung, setelah becak satu-satunya sekaligus “periuk nasi”-nya diangkut petugas ketertiban umum (Tibum) Kota Bandung, 19 Juli 1986. Tak kalah tragisnya Slamet, yang memilih gantung diri setelah harga kedelai melangit. Sehingga gorengan yang menjadi sandaran hidupnya, bukan meringankan namun justru menambah beban hutang yang harus ditanggung. Akibat bahan baku yang tak terbeli.

Pada akhirnya, laku bunuh diri bukan soal benar atau salah. Juga, bukan salah jalan atau banyak jalan menuju Roma. Bunuh diri, tak lebih sebentuk keyakinan bahwa menuju Roma, setiap orang punya pilihan, dan berhak meyakininya. Karena sesungguhnya manusia, mengutip pepatah Persia kuno, adalah jeda waktu dengan keabadian, kopula alam semesta.

Minggu, 03 Februari 2008

Ketika Abang Sam Memilih (3-Habis)

Seperti disinggung di awal tulisan bagian satu, persaingan merebut jabatan Air Force One juga tak hanya sengit di tingkat kandidat saja. Namun juga bakal keras setelah hasil konvensi masing-masing partai diumumkan. Saat itu, tak hanya kharisma dan aura persona tapi juga bersaing mesin partai. Itu pun dengan catatan Michael Bloomberg, Mantan Walikota New York tidak nyemplung sebagai calon presiden independen.

Sejarah mencatat, hanya pertarungan kandidat dua partai yaitu Republik dan Demokrat saja yang terus bertahan, dan mewarnai sejarah kontemporer Amerika Serikat. Partai Demokrat diyakini sejarah keberadaannya bermula dari Thomas Jefferson, Presiden AS paling kosmpolit dan berpikiran terbuka. Sedangkan Partai Republik, dipercayai jelas terlihat jejaknya saat Presiden Abraham Lincoln (Abe) memerintah AS. Dan beraba-abad lamanya, keduanya silih berganti menentukan masa depan negeri dengan penghasilan kotor (PDB) terbesar se-Dunia itu.

Keduanya juga mempunyai tokoh politik kharismatis di eranya, termasuk dinasti politik. Partai Republik yang berlambang gajah, sehingga berat dan lamban (baca: konservatif) mempunyai Ronald Reagan, yang dengan Reaganomics-nya di bawah arahan ekonom Milton Friedman berhasil membuat pemerintahan sosial-demokrat di Eropa tiarap, dan mengakui kedigjayaan ekonomi AS dekade itu. Republik juga menyisakan dinasti politik Bush. Partai Demokrat dengan lambang keledai, sehingga lincah dan ringat (baca: liberal) mempunyai Bill Clinton, yang dengan Clintonomics-nya di bawah besutan pemenang nobel Joseph Stiglitz mewariskan surplus anggaran selama delapan tahun pemerintahan demokratnya. Seperti Bush di Republik, Demokrat juga memiliki klan Kennedy yang melenggenda.

Secara umum, basis dukungan kedua partai itu juga mewakili mainstream ideologi yang diusungnya. Republik yang tegas membela nilai-nilai konservatisme banyak mendapat dukungan kaum puritan protestan, kelas menengah atas, dan kalangan masyarakat kulit putih mapan lainnya. Wajar agenda ekonomi mereka selalu pemangkasan pajak, dan mekanisme pasar, dengan isu keamanan menjadi pijakan utama diplomasi luar negeri. Implikasinya, Partai Republik kental dengan isu seperti militerisme. Dalam spektrum politik Amerika Serikat, kalangan republikan yang menjadi penyokong utama sering disebut Red Liners.

Partai Demokrat seperti pendirinya, Thomas Jefferson yang kosmopolit maka basis spektrum dukungannya juga meluas. Mulai kalangan pemuja kebebasan hak sipil, pemikir liberal, kaum menengah ke bawah hingga warga pendatang, dan masyarakat kulit berwarna. Wajar jika pemikiran ekonominya berusaha menyeimbangkan anggaran dengan belanja, peran pasar dengan campur tangan pemerintah. Isu ekonomi mereka penyeimbangan pajak dengan belanja kesejahteraan, dengan isu demokratisasi sebagai tema sentral kebijakan luar negeri. Karena itu para pendukung Demokrat mengindentifikasi dirinya sebagai True Bluers.

Secara langsung memang tidak ada pengaruh pilpres tersebut dengan negara lain, termasuk negara kita. Namun, sebagai pemilik PDRB terbesar di dunia, pusat transaksi dan keuangan nomor satu dunia. Setiap kebijakan makro ekonomi yang berpotensi meluruhkan pertumbuhan ekonomi AS bakal berimbas pada perekonomian dunia. Pilihan diplomasi politik luar negeri AS juga mencerminkan agenda perubahan sosial yang diinginkan pemerintahan yang berkuasa saat itu. Lalu bagaimana seharusnya memaknai transisi kekuasaaan, dan kebijakan dari merah ke biru, atau sebaliknya. Tanpa bermaksud mengajari bisa digunakan teori warna sekunder. Warna primer sendiri ada tiga yaitu kuning, merah dan biru. Karena Amerika Serikat hanya kental dua warna yaitu merah dan biru, maka simpel campurkan keduanya. Jika hasilnya warna lembayung, artinya siapapun yang berkuasa di Gedung Putih kelak, entah biru atau merah maka perubahan kebijakan utamanya tidak akan pernah tegas, merah atau biru namun tak lebih nuansa violet yang memendar.

Ketika Abang Sam Memilih (2)

Bagi Hillary dan Obama, aturan tidak tertulis white, anglo-saxon, and protestant (WASP) bisa menjadi batu sandungan. Sehingga kian melempangkan kandidat Partai Republik menuju Gedung Putih. Konon, tak tuntasnya JFK memerintah AS karena dirinya tidak bisa memenuhi persyaratan tidak tertulis itu. Kennedy adalah pemeluk Katolik yang saleh. Dan Presiden GW. Bush terpilih berkat dukungan solid dari kalangan Protestan saleh di Amerika Serikat. Bagi Hillary, sepertinya WASP tidak bakal menyandung dirinya. Namun kenyataan dirinya seorang perempuan ditengarai bakal membuat niatnya melenggang ke Gedung Putih menyusul artis Geena Davis dalam kisah drama serial telivisi, “Commander in Chief”, bukan tidak mungkin bakal berakhir tragis seperti kisah Sysyphus dalam mitologi Yunani kuno.

Drama itu sendiri mengisahkan pergulatan, dan keseharian presiden perempuan pertama AS, persis seperti keyakinan harian New York Times saat memberikan endorsement kepada Hillary melalui judul tulisan yang sama, “Comannder In Chief” Sebuah harapan, yang tidak begitu saja disetujui majalah The Economist yang implisit sepakat dengan agenda Obama. Setidaknya ada beberapa alasan kenyataan Hillary sebagai calon presiden perempuan pertama AS berhadapan diametral dengan “pemali” politik WASP.

Pertama, dalam sejarahnya belum pernah ada presiden AS berkelamin perempuan. Dan ini merupakan satu-satunya jabatan politis, dan publik yang belum pernah dirasakan perempuan negeri Paman Sam. Walikota, Gubernur, Senator hingga Hakim Agung, semua pernah ada perempuan yang menjabat. Kedua, diyakini elemen pendukung WASP sejak mula berdiri didominasi laki-laki. Dan rekam jejak politik AS sejauh ini juga identik dengan pergulatan politik kaum Adam.

Kedua, fakta itu diperkuat dengan simpulan penulis Belanda, Geert Hofstede's melalui bukunya Culture's Consequences, (1980). Menurut Geert, AS bersama Jepang, Jerman, dan Meksiko termasuk negara “berkelamin” laki-laki. Maksud maskulin di sini, lanjut Geert merujuk pada sebuah budaya dimana pria menjadi fokus kesuksesan ekonomi, dan berperan secara lebih asertif. Sementara perempuan diharuskan tampil bersahaja, dan hanya perlu mengurusi urusan kualitas sebuah relasi saja. Implikasinya, berdasar penafisiran aku terhadap pengamatan statistik di ketiga negara itu, mengungkap (1) Partisipasi dan representasi politik perempuan cenderung rendah (Jerman dan Jepang). (2) Jabatan kunci untuk pengambil kebijakan penting di sejumlah perusahaan mayoritas masih milik laki-laki (Jerman, Jepang, dan AS). (3) Usia pensiun juga relatif lebih tinggi (Jepang), dan (4) Sistem kesejahteraan sosial yang belum sepenuhnya bersifat womb to tomb lazimnya negeri Nordik.

Kebalikannya, menurut Geert, negara “berkelamin” perempuan tak lebih sebuah tatanan masyarakat dimana laki-laki dan perempuan sama-sama tampil bersahaja, dan mengutamakan kualitas hubungan (baca: kualitas hidup). Contoh paling nyata tentu saja negeri Nordik, termasuk di dalamnya tiga negara Skandinavia. Di sini tingkat partisipasi politik dan represntasi politik tinggi, bahkan Finlandia dipimpin Presiden Perempuan dengan jumlah menteri perempuan lebih dari separo jabatan kementerian yang dibentuk. Lalu konsep breadwinner tidak hanya dominasi laki-laki. Tak heran jika kaum laki-laki di negeri Nordik juga boleh mengajukan ijin cuti mengurus anak-anaknya. Kefeminiman lain, perbedaan penghasilan antar jabatan publik juga kecil sekali. Paling dikenal tentu saja kerahiman negara (welfare state system) yang bisa dimiliki sejak dari ayunan hingga buyutan (from craddle to grave).

Sedangkan bagi Obama, WASP bisa membuat pencalonan dirinya berakhir seperti kisah Martin Luther King Jr, dan Presiden Abrahan Lincoln, tumpas episode hidupnya karena memperjuangkan persamaan hak dan menghapuskan sekat rasialisme. Sebab meski dirinya seorang protestan namun bukan masuk mainstream anglo-saxon, yang bisa dilacak jejak di eropa khusunya Jerman, Belanda dan Inggris. Pun, kendati Obama berorang tua birasial, namun dirinya tetap saja termasuk kulit berwarna. Wajar jika banyak pendukung dia yang mengkhawatirkan nasibnya seperti kisah para sebelumnya, termasuk kisah JFK dan Robert Kennedy yang getol memperjuangan disegregasi antar warga AS berdasar warna kulit, termasuk merintis muncul kebijakan afirmasi terhadap kulit berwarna.

Kabar baiknya, keduanya juga melambangkan perubahan baru bagi Amerika Serikat sekaligus pembuktian bunyi konstitusi yang menyatakan, bahwa setiap orang dianugerahi hak yang sama, termasuk untuk mengejar kebahagiaan. Tak hanya itu, majunya Hillary-Obama juga menandai bangkitanya kaum perempuan, dan kulit berwarna yang selama ini terpinggirkan dalam sistem perwakilan politik negeri yang sempat koyak oleh perang sipil itu. Kesamaan hak di depan hukum itu tentu saja sejalan dengan keinginan pendiri negeri yang memimpikan sebuah melting pot bertajuk E Pluribus Unum.

Ketika Abang Sam Memilih (1)

Dibanding penyelenggaran Pilpres Amerika Serikat sebelumnya. Pemilu pendahuluan tahun ini memang menunjukkan kegairahan yang berbeda. Bukan saja karena agenda pertarungan kampanye yang semakin mengental, dan kentara antara Partai Republik dan Demokrat. Namun juga karena hadirnya persaingan ketat antar kandidat masing-masing partai bersangkutan.

Sebut saja pertarungan Senator (R-Az) John McCain dengan Mantan Gubernur Massachusetts, Mitt Romney di kubu Partai Republik. Keduanya, dengan berbagai cara berusaha mendulang delegasi dari setiap ceruk negara bagian yang mungkin bersimpati. Sejauh ini McCain mengungguli Romney dalam jumlah delegasi untuk konvensi partai 6 bulan mendatang. McCain, yang dikenal lihai memainkan isu keamanan ketimbang Romney, juga diuntungkan mengalirnya dukungan moral dari mantan Walikota New York, Rudy Guilani.

Dan Gubernur California, Arnold Scwarzenegger. Rudy, yang dikenang jasanya karena berhasil menekan angka krimininalitas negeri Apel Besar, dan memandu melewati masa sulit pascakecelakaan sejarah 9/11 mendukung, karena alasan kesamaan visi, dan yakin terhadap agenda kebijakan keamanan McCain, yang dulunya juga veteran perang. Arnie, demikian suami keponakan Presiden John F. Kennedy dipanggil, mendukung McCain karena agenda kampanyenya relatif moderat untuk beberapa isu utama.

Beralih ke kubu Partai Demokrat, pertarungan kian sengit sepeninggal John Edward. Pasalnya, John Edward disebut memiliki agenda kebijakan yang sejalan dengan Senator (D-Il)Barack Obama, justru memiliki konstituen yang segaris dengan Senator (D-Ny)Hillary Clinton yaitu kalangan kelas menengah kulit putih. Pertarunga semakin sengit karena Hillary disebut banyak didukung sebagian besar petinggi Partai Demokrat, bukan saja karena jejak cemerlangnya sebagai Senator New York, namun juga karena mantan first lady semasa Bill Clinton menjabat di Gedung Putih itu dikenal inisiatif, dan istri yang bisa menjadi mitra sejajar.

Tak heran jika Hillary beroleh simpati mantan Senator New York kharismatis, Daniel Patrick Moynihan. Uniknya, janda senator itu justru secara terbuka terlibat dalam penggalangan dana Barack Obama. Soal dukung mendukung, Hilarry mau pun Obama juga menjadi ajang rebutan saling curah perhatian, dan dukungan. Namun, blunder Hillary melibatkan suaminya, Clinton pada kampanye di South Carolina justru berujung dukungan dinasiti Kennedy kepada Obama.

Melalui Caroline Kennedy, Obama disebut figur yang menyerupai JFK yaitu mampu menginspirasi, dan menjadi simpul lintas generasi, dan etnis. Sementar Ted Kennedy, sang paman mendukung karena geram dengan pesan kampanye Clinton yang menyentil isu rasialisme. Sebuah isu yang mendekatkan Kennedy bersaudara di masanya dengan icon kulit hitam, Martin Luther King Jr, khususnya dalam kesetaran hak-hak sipil.

Obama yang menyatakan dirinya bukan sebagai kandidat presiden kulit hitam, melainkan calon presiden yang kebetulan berkulit hitam, juga mengusung kuat aura perubahan yang diimpikan Martin Luther King Jr, “I Have A Dream” Sebuah pesan moral yang akhirnya juga meluluhkan ratu talkshow, Oprah Winfrey kepincut pada pria yang pernah melewatkan masa kanak-kanak di Jakarta itu. Dukungan signifikan lainnya juga meluncur dari mulut Gubernur Kansas, Katherine Sibelius.

Siapa dia? Tiada lain perempuan demokrat pertama yang bisa memimpin negara bagian Kansas, negara bagian dengan tradisi republiken sejati (Red States). Dukungannya disebut karena pilihan visi pemerinatahnnya senada dengan pilihan Obama. Singkat kata, pertarungan calon Partai Demokrat beda-beda tipis, dan harap-harap cemas. Bukan saja karena begitu kuatnya dukungan politik, moral dan finansial kepada keduanya. Bahkan disebut Hillary kena batunya. Namun juga karena keduanya mewakili gerbong masing-masing, yang terancam bakal terantuk batu penghalang rel yang sama, yaitu aturan tak tertulis: white anglo-saxon, and protestant (WASP).