Jumat, 25 April 2008

Sejarah Manusia Adalah Sejarah Payudara (2)

Tatkala Persepsi Cabul Berkuasa

TAK bisa disangkal dalam dunia yang dibangun oleh kumpulan persepsi, maka relasi persepsi yang terbangun oleh bisa jender yang rentan dominasi persepsi kaum laki-laki. Dan lazimnya hukum perilaku, maka berabad-abad lamanya relasi perempuan, kekuasaan, laki-laki dan harta mengerucut menjadi relasi takhta, harta dan wanita. Pendeknya, fitnah perempuan adalah harta, fitnah laki-laki tak lain perempuan. Lalu siapa pada akhirnya yang paling berkuasa dalam relasi itu (baca: berkuasa), maka tak salah jika pada akhirnya ada yang menyebut perempuanlah yang berkuasa. Itu sejalan dengan pandangan yang menyebutkan, perempuan adalah puncak pemujaan pria, tapi sekaligus nadir penistaan. Tapi bagi Mariana Amiruddin persepsi tidak hanya sebatas itu.

Persepsi Pria Persepsi Kecabulan
Tubuh perempuan abad kini, dipenuhi oleh persepsi kecabulan! Sekalipun ia hanya tersingkap, sekalipun atas keinginan si empunya tubuh. Tank-top, tropis, matahari, udara panas, perempuan-perempuan itu mengenakannya dengan rasa nyaman. Tetapi tidak! Itu melanggar kesusilaan. Jangan sekali-kali perempuan memperlihatkan tubuhnya sekalipun itu hanya lengan, karena semua laki-laki akan berhak memperkosa mereka, juga karena malam hari akan segera menangkap mereka.

Begitulah media pada akhirnya menjadi suara terbanyak mengerangkeng perempuan dari kehidupannya, dan menambah jurang bagi kehidupan perempuan sendiri. Karena yang tadinya tidak cabul menjadi imaji kecabulan, lalu perempuan menjadi sasaran empuk kesalahan, sebagaimana rasa sakit mereka ketika menstruasi dan melahirkan anak. Melalui seksualitasnya, ia tidak pernah menjadi berangkat dari dirinya sendiri. Tubuh perempuan seperti instrumen musik yang selalu dimainkan media (baca: laki-laki).

Dan karena laki-laki diberi kehendak seks yang lebih, maka adalah wajar bila eksploitasi bersamaan dengan pengerangkengan perempuan itu ditindaklanjuti. Seperti kata-kata ‘perempuan nakal’ yang tidak lebih baik daripada ‘hidung belang’ lalu perempuan harus pasif dan tabu untuk mengatakan hasrat tubuhnya karena bila ia aktif dan agresif, perempuan akan dihukum secara sosial! Ciptaan masyarakat dan kultur terhadap kehidupan perempuan memang sangat skizofrenik!

Hanya ruang-ruang penderitaan yang harus diisi perempuan, ruang-ruang sadomasokis, ditinggikan lalu dijatuhkan sedalam-dalamnya, lalu ditinggikan lagi, dan dijatuhkan lagi sedalam-dalamnya, begitulah saya katakan di sini media melakukan persepsi yang mendehumanisasi perempuan, lalu melalui media ini perempuan diterjemahkan yang jelas bukan atas diri perempuan sendiri, melainkan atas sebuah konstruksi berupa simbol-simbol, tanda-tanda, pesan-pesan yang ‘diinginkan dunia laki-laki’.

Media akhirnya membuat simbol-simbol perempuan seperti apa, seperti masalah pelacuran bahwa pelacur-lah agen persoalannya, tanpa melihat si hidung belang dan dengan tanpa mau benar-benar si hidung belang itu di shoot sedekat mungkin dan dikatakan bahwa mereka itu adalah penjahat kelamin, membeli tubuh manusia, tubuh perempuan dengan uangnya, dan perempuan menjualnya karena untuk susu anak-anaknya, sedangkan si hidung belang untuk menghambur-hamburkan spermanya sama dengan caranya menghambur-hamburkan uang, atau sekadar mengukur kejantanannya melalui tubuh-tubuh perempuan-perempuan itu.

Lalu libido laki-laki menjadi sesuatu yang alamiah, dan kebutuhan lelaki atas banyak perempuan dan tubuh-tubuh perempuan yang dikotori mereka adalah juga alamiah, dan itu tercover dalam berita-berita kriminal dan perempuan-perempuan menderita lalu laki-laki hanya dipenjara sekian jam dan perempuan terpenjara seumur hidupnya akibat perbuatan laki-laki atas tubuh mereka.

Media Idaman Perempuan?
Ketika tubuh menjadi persepsi yang manusiawi, yang menjadi tidak cabul, yang menjadi milik perempuan sendiri, yang dengan tubuhnya perempuan tidak merasa hina dan tidak pula merasa suci. Dan dari tubuh itu perempuan adalah juga pikiran dan jiwanya.
Perempuan menggambarkan tubuhnya merupakan suatu keputusan perempuan, tetapi ingat bahwa hal itu digunakan untuk mejelaskan pikiran perempuan, dimana seorang perempuan tidak merasa paling suci, tidak juga merasa takut atau hina atas tubuhnya baik dalam hal psikologis maupun seksnya---Virgina Woolf. Pada akhirnya, mohon maaf, sejarah manusia adalah sejarah payudara!

Sejarah Manusia Adalah Sejarah Payudara (1)

Ketika Libido Bersabda

ANDA boleh tidak bersepakat, tapi merupakan aksioma payudara lekat dengan perempuan. Dengan payudaranya, bahkan perempuan diyakini mampu mempengaruhi dan menjadikan hidup ini tak lagi sekedar hitam di atas putih. Itu artinya, perempuan sosok berkuasa. Hanya saja memang tidak semua perempuan memahami. Ironisnya, bahkan sebagian malah senang terkotak-kotak oleh sematan sosial. Sebagian lagi malah senang dengan jerat sesaat kepentingan atas nama eksploitasi kapitalisme komunikasi bernama iklan, dan hiburan.

Itulah mengapa iklan banyak sekali menjadikan perempuan sebagai objek. Begitupun hiburan, tak pernah jauh dari perempuan sebagai pelakon utamanya. Hingga akhirnya, mengutip tulisan Mariana Amiruddin yang juga redaktur Jurnal Perempuan, melalui bukunya “Perempuan Menolak Tabu: Hermeneutik, Feminisme, Sastra dan Seks”, tubuh yang melahirkan kehidupan itu justru membuatnya bermasalah di mana-mana. [di bawah ini kutipan lengkap artikelnya]

Bahan Dasar Ekonomi Libido
Jeratan profan dan sakral itu membuat tubuh perempuan tidak menjadi tubuhnya sendiri. Ia ditangkap dalam kamera, bagian-bagian tubuhnya diabadikan untuk masturbasi para lelaki gila. Ia dikejar-kejar kamera. Ia ‘ditelanjangi’ oleh berita, dipajang di kota-kota, dan bahkan menjadi bahan dasar ekonomi libido. Praktis, semua itu seolah telah tersusun dan dirancang dalam dunia yang bukan miliknya, melainkan justru dunia milik lelaki. Kamera dengan mata lelaki dan berita dengan lidah lelaki.

Sesungguhnya kehidupan diawali oleh tubuh perempuan. Bayangkan bila seorang bayi tidak menyusu. Dari mana lagi ia harus mengenal kehidupan? Sejarah payudara, sejarah tubuh perempuan adalah sejarah umat manusia. Tetapi kemudian kehidupan telah memenjarakannya ke dalam dua dunia yang berbeda, dan celakanya keduanya sama-sama tidak menguntungkan, yaitu dunia profan dan dunia sakral. Dunia sakral atau ‘kesucian’ menjerat perempuan pada proteksi terhadap tubuh karenanya harus ditutupi setiap bagiannya agar tidak tersentuh agar tetap menjadi bersih.

Dunia sakral atau kesucian begitu mengagungkan ‘keperawanan’, sebuah tanda mati lambang kejujuran perempuan lajang dalam memasuki perkawinan dan hanya dengan selaput tipis itu para suami mengukur dan menilai kejujuran sang istri. Dunia profan atau kebejatan sebaliknya, mengadili tubuh perempuan sebagai godaan sekaligus hinaan, oleh karena itu bila tubuhnya telihat begitu indah, ia harus ditangkap. Karena dari payudaranya ia meracuni kesusilaan, dari kedua pahanya dan selangkangannya ia membuat lelaki tergiur memperkosa, dan dari tatapan serta bibirnya ia membuat jantung lelaki berdebar keras dan segera meninggalkan istri-istri mereka.

Kemudian tubuh-tubuh perempuan itu diciptakan dalam bentuk-bentuk yang tidak proposional, payudara dan pantat yang besar atau badan yang kurus dan rambut yang lurus, dan kulit-kulit yang harus putih serta hidung-hidung yang mancung. Tetapi di saat yang sama, tubuh-tubuh itu dipenjara dengan persepsi dalam dua kubu, profan dan sakral, dibuka sama sekali, atau ditutup sama sekali. Dan milik siapakah tubuh-tubuh itu? Tidak pernah menjadi milik mereka sendiri!

Imaji Media, Imaji Laki-laki
Persepsi terhadap tubuh-tubuh perempuan salah satunya adalah dibangun oleh media. Persepsi apakah yang dibangun? Inilah persoalannya, tubuh perempuan yang diasosiasikan dengan alam: reproduksi dan pengasuhan, terus bergeser menjadi kebutuhan ekonomi libido laki-laki, dilihat dalam kapasitas permintaan yang besar dari konsumen media-media porno, dan kebutuhan atas dunia imaji seperti tubuh ‘super ideal’ sesuai dengan kebutuhan laki-laki dalam reklame-reklame.

Sampai pada sumber persoalan moral yang kontroversial: di satu sisi dicerca habis-habisan dan di sisi lain laku untuk ditonton, seperti tayangan kriminal yang dari kameranya fokus hanya mengejar pelacur-pelacur yang ketakutan dan clos up- clos up bagian-bagian tubuh penari-penari di pub-pub malam. Tubuh-tubuh yang bersalah tetapi boleh juga memupuk kekayaan imaji seksual laki-laki. Tubuh-tubuh putih dan coklat dan sumber dari segala pemberitaan yang kontraversial.

Sekali lagi, persepsi apakah yang dibangun oleh kebanyakan media? Bukan tubuh seorang manusia berjenis kelamin perempuan secara natural, seperti ibu-ibu yang mandi di sungai, atau perempuan-perempuan muda yang telanjang dada di menyusui bayinya. Tetapi tubuh itu lebih laku untuk imaji untuk memperkaya khazanah seksual fantasi laki-laki. Ekonomi libido yang memang menggiurkan.

Para lelaki, meskipun di kamar tidurnya sudah ada istri-istri yang tidur seranjang dengan mereka setiap malam, dan tubuh-tubuh perempuan dari perempuan yang telah mereka nikahi, masih kurang saja imajinasi seksual yang mereka khayalkan. Para lelaki rupanya masih membutuhkan ‘tubuh-tubuh’ buatan media, tubuh-tubuh telanjang yang tak proposional dan tidak lebih baik dari istri-istri mereka, atau suara-suara histeria pelacur-pelacur yang tertangkap.

Dan bokong-bokong mereka serta belahan-belahan dada mereka yang tak sengaja tersingkap lalu di situ pula kamera segera menikamnya, dan bahasa-bahasa yang membuat kegiatan perkosaan menjadi nikmat buat seorang kakek, serta seorang nenek yang berjalan sendirian menjadi nikmat diperkosa oleh belasan lelaki muda.

Sungguh, kekerasan serta pelecehan seksual menjadi persepsi baru yang diciptakan media yang seluruhnya diciptakan dari, oleh dan untuk dunia laki-laki. Dunia ini memang milik laki-laki ketika mereka keluar dari rahim-rahim dan vagina-vagina menganga perempuan serta selaput-selaput dara yang bisu, dan air ketuban yang pecah, tumpah meriah di seprai putih rumah sakit serta darah-darah kental yang melumuri plasenta mereka yang lahir, serta teriak tangis bocah laki-laki yang masih tertutup matanya, dan bibir-bibir mungil mereka yang menghisap air susu ibu dengan rakusnya.

Kamis, 24 April 2008

Karl Marx Dimata Temanku Paijo

KONON tubuh manusia, sejak ujung kepala hingga tapak kaki paling bawah membawa dan mengandung ciri ideologi sendiri. Setidaknya itulah yang diungkapkan temanku, sebut saja Paijo. Sehingga sangat mudah untuk memaknai dan menafsirkannya sebagai temuan guna menjawab kegelisahan pemikiran selama ini. Dengan kata lain lanjut dia, tak perlu repot belanja buku karya Karl Marx, ataupun pergi jauh mencari tahu apa itu Kapitalisme.

Lho kok? “Karena semua pemikiran yang saat ini berkembang sudah sangat jelas tergambar dalam anatomi tubuh manusia,” tegas dia. Aku terdiam karena menjadi semakin tak mengerti penjelasannya. “Mudah Mat, coba kamu sebut apa saja pemikiran yang kini menjadi ideologi banyak orang,” perintah dia. Seperti terhipnotis, aku pun sekenanya menjawab: idealis, sosialis, kapitalis, liberalis, dan komunis. “Nah, barusan yang kamu sebut tadi sudah mencerminkan anatomi manusia,” simpul dia.

Aku semakin terdiam. “Kamu tak usah berkerut kening mencari jawabnya,” saran dia. Lantas dia pun berkhutbah, “Itulah manusia suka sekali kepada kerumitan.” Aku kian terdiam, tapi kali ini agak berang. Maksud kamu? Tanyaku meninggi. “Tenang bro, dalam kerumitan selalu ada kesederhanaan,” jawab dia menenangkan aku. Manusia kata dia, diciptakan sebagai mahkluk sempurna. Karena itu lanjut dia, Tuhan dengan sempurna melengkapi makhluk ciptaannya “kesempurnaan” pemikiran.

Aku makin tak paham. “Kamu itu ngomong apa, Jo? Tak jelas gitu!” debatku dengan nada sengit. Paijo hanya terkekeh. Lalu terdiam sejenak. Sebelum akhirnya dengan panjang lebar menceramahiku siang itu. “Jadi?” tanyaku mencoba memotong ceramahnya agar segera ke titik kesimpulan. “Begini Mat,” potong dia cepat. Idealisme kata dia, merupakan pemikiran yang merujuk pada penggambaran yang ideal. Karena ideal, dia hanya ada dan bisa berkembang saat berada di kepala. Artinya, ia hanya bisa menjadi pegangan, dan teori. Namun lanjut dia, idealisme harus ada. Karena dia merupakan alasan utama adanya keinginan.

Hasrat untuk berbuat dan melakukan sesuatu, sekaligus alasan untuk selalu bertanya dan mencari tahu sesuatu. “Idealisme adalah Id, sebagaimana Freud gambarkan dalam psikoanalisanya. Ia berada dalam relung jiwa (psyche) setiap manusia. Bersama ego dan superego, ketiganya membentuk karakter kejiwaan manusia memaknai keberadaanya,” urai Paijo mengutip Sigmund Freud, pemikir besar psikologi. Sosialisme jelas dia, lekat dan identik dengan laku toleran dan selalu berbagi dengan sesama. Senasib sepenanggungan. Kapitalisme sinis dia, dibolehkan mengupayakan segala cara. “Karena kapitalisme memang ujungnya mengumpulkan keuntungan,” kata dia.

Liberalisme sebut dia, sebuah kebebasan. “Free Will!” pekiknya. Sesiapun berhak meyakini apapun yang diyakininya sebagai sesuatu yang terbaik. Sedangkan komunisme sambung dia, “Dari akar katanya, maka terkait dengan upaya mewujudkan pemikiran Karl Marx yaitu sebuah kehidupan ‘idaman’ ala Marxis yang akhirnya gagal dengan adanya pemberontakan Paris Commune,” terang dia. “Maksudnya?” tanyaku. “Tak ada maksud,” jawab Paijo cepat. Dulu lanjut dia, para pengikut Marxis pernah berfikir, pemikiran Karl Marx tentang kehidupan tanpa kelas merupakan keniscayaan. Karena itu mereka coba membangun kehidupan sebuah kota dengan sepenuhnya bersandar pada pemikiran Marx. “Tapi esensinya bukan itu. Paling mudah, awam kan sepakat komunisme adalah sama rata sama rasa,” jelasnya.

Nah, hubungannya dengan tubuh manusia begini sambung Paijo. Tubuh terbagi dalam tiga bagian, yaitu atas, tengah dan bawah. Bagian atas atau kepala berisikan kepala dan didalamnya terdapat otak yang menjadi basis penalaran manusia. “Agar manusia layak mendapat sematan sebagai pemakna alam semesta, maka manusia harus selalu mempunyai idealisme. Dan idealisme hanya ada di rasio,” Itu artinya ujung kepala identik dengan ideologi Idealisme. Bagian tengah ada dada dan perut. Dalam dada ada jantung dan hati. Keduanya merupakan organ penting, dan sejak berabad-abad lamanya diyakini sebagai sumber kebajikan dan perigi toleransi untuk saling berbagi. “Dada atau hati artinya identik dengan Sosialisme ya,” simpulku cepat. Paijo hanya mengangguk pelan.

Lalu perut ideologinya apa? Perut kata Paijo, meskipun setiap harinya selalu termasuki asupan, baik makanan ataupun minuman. Namun setiap kalinya pula tidak pernah merasa kenyang. “Alias selalu merasa lapar!” Karena tak pernah kenyang itu, maka perut selala merasa berhak rakus untuk menghilangkan rasa laparnya. Maka, tak peduli apa bentuknya sepanjang mengenyangkan maka boleh dimakan. “Persis seperti ikan kecil dimakan ikan sedang, ikan sedang dimakan ikan besar, dan ikan itu lalu dimakan ikan yang lebih besar,” jelas Paijo. “Persis seperti game Feeding Frenzy di komputer!” Bagaimana dengan liberalisme?

“Dia terdapat di tubuh bagian bawah. Persisnya bagian bawah perut,” kata dia. Sama seperti perut, bagian itu juga tak pernah merasa puas. Namun bedanya, definis kepuasan yang dicari dan tuju berbeda. Perut lapar kata Paijo, meski setiap harinya diisi indomie kalau sudah terisi pasti kenyang. “Tapi bagian ini (bawah perut), justru sebaliknya. Bukan kekenyangan yang diinginkan, tapi adanya kebebasan untuk menuju rasa kenyang itu,” terang dia filosofis. “Maksudnya?” tanyaku. “Makanya lekas nikah. Agar kamu tidak terpikir menjadi liberalis,” saran dia filosfis. [Cape dech!]

Lalu bagaimana dengan komunisme? Paijo diam sejenak sembari menarik nafas. Komunisme kata dia, awam kerap memahami sebagai ideologi sama rata sama rasa. “Nah, itu artinya itu ada di tapak kaki. Jadi kalau pas jalan kena kerikil dan tak pakai sendal pasti rasa gelinya sama hwakakakakkakakka!” ketawa Paijo. Semprul pikirku. Namun diakhir aku tahu, kenapa komunisme letaknya di kaki. Karena komunisme selalu menyebarkan ideologinya dengan pesan-pesan populis alias menyentuh banyak orang, meski belum tentu penting untuk orang banyak! Apa pasal? “Karena manusia adalah kerumitan dalam kesederhanaan,” simpul Paijo. Akuur deh Jo!