Ketika Libido Bersabda
ANDA boleh tidak bersepakat, tapi merupakan aksioma payudara lekat dengan perempuan. Dengan payudaranya, bahkan perempuan diyakini mampu mempengaruhi dan menjadikan hidup ini tak lagi sekedar hitam di atas putih. Itu artinya, perempuan sosok berkuasa. Hanya saja memang tidak semua perempuan memahami. Ironisnya, bahkan sebagian malah senang terkotak-kotak oleh sematan sosial. Sebagian lagi malah senang dengan jerat sesaat kepentingan atas nama eksploitasi kapitalisme komunikasi bernama iklan, dan hiburan.
Itulah mengapa iklan banyak sekali menjadikan perempuan sebagai objek. Begitupun hiburan, tak pernah jauh dari perempuan sebagai pelakon utamanya. Hingga akhirnya, mengutip tulisan Mariana Amiruddin yang juga redaktur Jurnal Perempuan, melalui bukunya “Perempuan Menolak Tabu: Hermeneutik, Feminisme, Sastra dan Seks”, tubuh yang melahirkan kehidupan itu justru membuatnya bermasalah di mana-mana. [di bawah ini kutipan lengkap artikelnya]
Bahan Dasar Ekonomi Libido
Jeratan profan dan sakral itu membuat tubuh perempuan tidak menjadi tubuhnya sendiri. Ia ditangkap dalam kamera, bagian-bagian tubuhnya diabadikan untuk masturbasi para lelaki gila. Ia dikejar-kejar kamera. Ia ‘ditelanjangi’ oleh berita, dipajang di kota-kota, dan bahkan menjadi bahan dasar ekonomi libido. Praktis, semua itu seolah telah tersusun dan dirancang dalam dunia yang bukan miliknya, melainkan justru dunia milik lelaki. Kamera dengan mata lelaki dan berita dengan lidah lelaki.
Sesungguhnya kehidupan diawali oleh tubuh perempuan. Bayangkan bila seorang bayi tidak menyusu. Dari mana lagi ia harus mengenal kehidupan? Sejarah payudara, sejarah tubuh perempuan adalah sejarah umat manusia. Tetapi kemudian kehidupan telah memenjarakannya ke dalam dua dunia yang berbeda, dan celakanya keduanya sama-sama tidak menguntungkan, yaitu dunia profan dan dunia sakral. Dunia sakral atau ‘kesucian’ menjerat perempuan pada proteksi terhadap tubuh karenanya harus ditutupi setiap bagiannya agar tidak tersentuh agar tetap menjadi bersih.
Dunia sakral atau kesucian begitu mengagungkan ‘keperawanan’, sebuah tanda mati lambang kejujuran perempuan lajang dalam memasuki perkawinan dan hanya dengan selaput tipis itu para suami mengukur dan menilai kejujuran sang istri. Dunia profan atau kebejatan sebaliknya, mengadili tubuh perempuan sebagai godaan sekaligus hinaan, oleh karena itu bila tubuhnya telihat begitu indah, ia harus ditangkap. Karena dari payudaranya ia meracuni kesusilaan, dari kedua pahanya dan selangkangannya ia membuat lelaki tergiur memperkosa, dan dari tatapan serta bibirnya ia membuat jantung lelaki berdebar keras dan segera meninggalkan istri-istri mereka.
Kemudian tubuh-tubuh perempuan itu diciptakan dalam bentuk-bentuk yang tidak proposional, payudara dan pantat yang besar atau badan yang kurus dan rambut yang lurus, dan kulit-kulit yang harus putih serta hidung-hidung yang mancung. Tetapi di saat yang sama, tubuh-tubuh itu dipenjara dengan persepsi dalam dua kubu, profan dan sakral, dibuka sama sekali, atau ditutup sama sekali. Dan milik siapakah tubuh-tubuh itu? Tidak pernah menjadi milik mereka sendiri!
Imaji Media, Imaji Laki-laki
Persepsi terhadap tubuh-tubuh perempuan salah satunya adalah dibangun oleh media. Persepsi apakah yang dibangun? Inilah persoalannya, tubuh perempuan yang diasosiasikan dengan alam: reproduksi dan pengasuhan, terus bergeser menjadi kebutuhan ekonomi libido laki-laki, dilihat dalam kapasitas permintaan yang besar dari konsumen media-media porno, dan kebutuhan atas dunia imaji seperti tubuh ‘super ideal’ sesuai dengan kebutuhan laki-laki dalam reklame-reklame.
Sampai pada sumber persoalan moral yang kontroversial: di satu sisi dicerca habis-habisan dan di sisi lain laku untuk ditonton, seperti tayangan kriminal yang dari kameranya fokus hanya mengejar pelacur-pelacur yang ketakutan dan clos up- clos up bagian-bagian tubuh penari-penari di pub-pub malam. Tubuh-tubuh yang bersalah tetapi boleh juga memupuk kekayaan imaji seksual laki-laki. Tubuh-tubuh putih dan coklat dan sumber dari segala pemberitaan yang kontraversial.
Sekali lagi, persepsi apakah yang dibangun oleh kebanyakan media? Bukan tubuh seorang manusia berjenis kelamin perempuan secara natural, seperti ibu-ibu yang mandi di sungai, atau perempuan-perempuan muda yang telanjang dada di menyusui bayinya. Tetapi tubuh itu lebih laku untuk imaji untuk memperkaya khazanah seksual fantasi laki-laki. Ekonomi libido yang memang menggiurkan.
Para lelaki, meskipun di kamar tidurnya sudah ada istri-istri yang tidur seranjang dengan mereka setiap malam, dan tubuh-tubuh perempuan dari perempuan yang telah mereka nikahi, masih kurang saja imajinasi seksual yang mereka khayalkan. Para lelaki rupanya masih membutuhkan ‘tubuh-tubuh’ buatan media, tubuh-tubuh telanjang yang tak proposional dan tidak lebih baik dari istri-istri mereka, atau suara-suara histeria pelacur-pelacur yang tertangkap.
Dan bokong-bokong mereka serta belahan-belahan dada mereka yang tak sengaja tersingkap lalu di situ pula kamera segera menikamnya, dan bahasa-bahasa yang membuat kegiatan perkosaan menjadi nikmat buat seorang kakek, serta seorang nenek yang berjalan sendirian menjadi nikmat diperkosa oleh belasan lelaki muda.
Sungguh, kekerasan serta pelecehan seksual menjadi persepsi baru yang diciptakan media yang seluruhnya diciptakan dari, oleh dan untuk dunia laki-laki. Dunia ini memang milik laki-laki ketika mereka keluar dari rahim-rahim dan vagina-vagina menganga perempuan serta selaput-selaput dara yang bisu, dan air ketuban yang pecah, tumpah meriah di seprai putih rumah sakit serta darah-darah kental yang melumuri plasenta mereka yang lahir, serta teriak tangis bocah laki-laki yang masih tertutup matanya, dan bibir-bibir mungil mereka yang menghisap air susu ibu dengan rakusnya.
Jumat, 25 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar