Tatkala Persepsi Cabul Berkuasa
TAK bisa disangkal dalam dunia yang dibangun oleh kumpulan persepsi, maka relasi persepsi yang terbangun oleh bisa jender yang rentan dominasi persepsi kaum laki-laki. Dan lazimnya hukum perilaku, maka berabad-abad lamanya relasi perempuan, kekuasaan, laki-laki dan harta mengerucut menjadi relasi takhta, harta dan wanita. Pendeknya, fitnah perempuan adalah harta, fitnah laki-laki tak lain perempuan. Lalu siapa pada akhirnya yang paling berkuasa dalam relasi itu (baca: berkuasa), maka tak salah jika pada akhirnya ada yang menyebut perempuanlah yang berkuasa. Itu sejalan dengan pandangan yang menyebutkan, perempuan adalah puncak pemujaan pria, tapi sekaligus nadir penistaan. Tapi bagi Mariana Amiruddin persepsi tidak hanya sebatas itu.
Persepsi Pria Persepsi Kecabulan
Tubuh perempuan abad kini, dipenuhi oleh persepsi kecabulan! Sekalipun ia hanya tersingkap, sekalipun atas keinginan si empunya tubuh. Tank-top, tropis, matahari, udara panas, perempuan-perempuan itu mengenakannya dengan rasa nyaman. Tetapi tidak! Itu melanggar kesusilaan. Jangan sekali-kali perempuan memperlihatkan tubuhnya sekalipun itu hanya lengan, karena semua laki-laki akan berhak memperkosa mereka, juga karena malam hari akan segera menangkap mereka.
Begitulah media pada akhirnya menjadi suara terbanyak mengerangkeng perempuan dari kehidupannya, dan menambah jurang bagi kehidupan perempuan sendiri. Karena yang tadinya tidak cabul menjadi imaji kecabulan, lalu perempuan menjadi sasaran empuk kesalahan, sebagaimana rasa sakit mereka ketika menstruasi dan melahirkan anak. Melalui seksualitasnya, ia tidak pernah menjadi berangkat dari dirinya sendiri. Tubuh perempuan seperti instrumen musik yang selalu dimainkan media (baca: laki-laki).
Dan karena laki-laki diberi kehendak seks yang lebih, maka adalah wajar bila eksploitasi bersamaan dengan pengerangkengan perempuan itu ditindaklanjuti. Seperti kata-kata ‘perempuan nakal’ yang tidak lebih baik daripada ‘hidung belang’ lalu perempuan harus pasif dan tabu untuk mengatakan hasrat tubuhnya karena bila ia aktif dan agresif, perempuan akan dihukum secara sosial! Ciptaan masyarakat dan kultur terhadap kehidupan perempuan memang sangat skizofrenik!
Hanya ruang-ruang penderitaan yang harus diisi perempuan, ruang-ruang sadomasokis, ditinggikan lalu dijatuhkan sedalam-dalamnya, lalu ditinggikan lagi, dan dijatuhkan lagi sedalam-dalamnya, begitulah saya katakan di sini media melakukan persepsi yang mendehumanisasi perempuan, lalu melalui media ini perempuan diterjemahkan yang jelas bukan atas diri perempuan sendiri, melainkan atas sebuah konstruksi berupa simbol-simbol, tanda-tanda, pesan-pesan yang ‘diinginkan dunia laki-laki’.
Media akhirnya membuat simbol-simbol perempuan seperti apa, seperti masalah pelacuran bahwa pelacur-lah agen persoalannya, tanpa melihat si hidung belang dan dengan tanpa mau benar-benar si hidung belang itu di shoot sedekat mungkin dan dikatakan bahwa mereka itu adalah penjahat kelamin, membeli tubuh manusia, tubuh perempuan dengan uangnya, dan perempuan menjualnya karena untuk susu anak-anaknya, sedangkan si hidung belang untuk menghambur-hamburkan spermanya sama dengan caranya menghambur-hamburkan uang, atau sekadar mengukur kejantanannya melalui tubuh-tubuh perempuan-perempuan itu.
Lalu libido laki-laki menjadi sesuatu yang alamiah, dan kebutuhan lelaki atas banyak perempuan dan tubuh-tubuh perempuan yang dikotori mereka adalah juga alamiah, dan itu tercover dalam berita-berita kriminal dan perempuan-perempuan menderita lalu laki-laki hanya dipenjara sekian jam dan perempuan terpenjara seumur hidupnya akibat perbuatan laki-laki atas tubuh mereka.
Media Idaman Perempuan?
Ketika tubuh menjadi persepsi yang manusiawi, yang menjadi tidak cabul, yang menjadi milik perempuan sendiri, yang dengan tubuhnya perempuan tidak merasa hina dan tidak pula merasa suci. Dan dari tubuh itu perempuan adalah juga pikiran dan jiwanya.
Perempuan menggambarkan tubuhnya merupakan suatu keputusan perempuan, tetapi ingat bahwa hal itu digunakan untuk mejelaskan pikiran perempuan, dimana seorang perempuan tidak merasa paling suci, tidak juga merasa takut atau hina atas tubuhnya baik dalam hal psikologis maupun seksnya---Virgina Woolf. Pada akhirnya, mohon maaf, sejarah manusia adalah sejarah payudara!
Jumat, 25 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar