Kamis, 24 April 2008

Karl Marx Dimata Temanku Paijo

KONON tubuh manusia, sejak ujung kepala hingga tapak kaki paling bawah membawa dan mengandung ciri ideologi sendiri. Setidaknya itulah yang diungkapkan temanku, sebut saja Paijo. Sehingga sangat mudah untuk memaknai dan menafsirkannya sebagai temuan guna menjawab kegelisahan pemikiran selama ini. Dengan kata lain lanjut dia, tak perlu repot belanja buku karya Karl Marx, ataupun pergi jauh mencari tahu apa itu Kapitalisme.

Lho kok? “Karena semua pemikiran yang saat ini berkembang sudah sangat jelas tergambar dalam anatomi tubuh manusia,” tegas dia. Aku terdiam karena menjadi semakin tak mengerti penjelasannya. “Mudah Mat, coba kamu sebut apa saja pemikiran yang kini menjadi ideologi banyak orang,” perintah dia. Seperti terhipnotis, aku pun sekenanya menjawab: idealis, sosialis, kapitalis, liberalis, dan komunis. “Nah, barusan yang kamu sebut tadi sudah mencerminkan anatomi manusia,” simpul dia.

Aku semakin terdiam. “Kamu tak usah berkerut kening mencari jawabnya,” saran dia. Lantas dia pun berkhutbah, “Itulah manusia suka sekali kepada kerumitan.” Aku kian terdiam, tapi kali ini agak berang. Maksud kamu? Tanyaku meninggi. “Tenang bro, dalam kerumitan selalu ada kesederhanaan,” jawab dia menenangkan aku. Manusia kata dia, diciptakan sebagai mahkluk sempurna. Karena itu lanjut dia, Tuhan dengan sempurna melengkapi makhluk ciptaannya “kesempurnaan” pemikiran.

Aku makin tak paham. “Kamu itu ngomong apa, Jo? Tak jelas gitu!” debatku dengan nada sengit. Paijo hanya terkekeh. Lalu terdiam sejenak. Sebelum akhirnya dengan panjang lebar menceramahiku siang itu. “Jadi?” tanyaku mencoba memotong ceramahnya agar segera ke titik kesimpulan. “Begini Mat,” potong dia cepat. Idealisme kata dia, merupakan pemikiran yang merujuk pada penggambaran yang ideal. Karena ideal, dia hanya ada dan bisa berkembang saat berada di kepala. Artinya, ia hanya bisa menjadi pegangan, dan teori. Namun lanjut dia, idealisme harus ada. Karena dia merupakan alasan utama adanya keinginan.

Hasrat untuk berbuat dan melakukan sesuatu, sekaligus alasan untuk selalu bertanya dan mencari tahu sesuatu. “Idealisme adalah Id, sebagaimana Freud gambarkan dalam psikoanalisanya. Ia berada dalam relung jiwa (psyche) setiap manusia. Bersama ego dan superego, ketiganya membentuk karakter kejiwaan manusia memaknai keberadaanya,” urai Paijo mengutip Sigmund Freud, pemikir besar psikologi. Sosialisme jelas dia, lekat dan identik dengan laku toleran dan selalu berbagi dengan sesama. Senasib sepenanggungan. Kapitalisme sinis dia, dibolehkan mengupayakan segala cara. “Karena kapitalisme memang ujungnya mengumpulkan keuntungan,” kata dia.

Liberalisme sebut dia, sebuah kebebasan. “Free Will!” pekiknya. Sesiapun berhak meyakini apapun yang diyakininya sebagai sesuatu yang terbaik. Sedangkan komunisme sambung dia, “Dari akar katanya, maka terkait dengan upaya mewujudkan pemikiran Karl Marx yaitu sebuah kehidupan ‘idaman’ ala Marxis yang akhirnya gagal dengan adanya pemberontakan Paris Commune,” terang dia. “Maksudnya?” tanyaku. “Tak ada maksud,” jawab Paijo cepat. Dulu lanjut dia, para pengikut Marxis pernah berfikir, pemikiran Karl Marx tentang kehidupan tanpa kelas merupakan keniscayaan. Karena itu mereka coba membangun kehidupan sebuah kota dengan sepenuhnya bersandar pada pemikiran Marx. “Tapi esensinya bukan itu. Paling mudah, awam kan sepakat komunisme adalah sama rata sama rasa,” jelasnya.

Nah, hubungannya dengan tubuh manusia begini sambung Paijo. Tubuh terbagi dalam tiga bagian, yaitu atas, tengah dan bawah. Bagian atas atau kepala berisikan kepala dan didalamnya terdapat otak yang menjadi basis penalaran manusia. “Agar manusia layak mendapat sematan sebagai pemakna alam semesta, maka manusia harus selalu mempunyai idealisme. Dan idealisme hanya ada di rasio,” Itu artinya ujung kepala identik dengan ideologi Idealisme. Bagian tengah ada dada dan perut. Dalam dada ada jantung dan hati. Keduanya merupakan organ penting, dan sejak berabad-abad lamanya diyakini sebagai sumber kebajikan dan perigi toleransi untuk saling berbagi. “Dada atau hati artinya identik dengan Sosialisme ya,” simpulku cepat. Paijo hanya mengangguk pelan.

Lalu perut ideologinya apa? Perut kata Paijo, meskipun setiap harinya selalu termasuki asupan, baik makanan ataupun minuman. Namun setiap kalinya pula tidak pernah merasa kenyang. “Alias selalu merasa lapar!” Karena tak pernah kenyang itu, maka perut selala merasa berhak rakus untuk menghilangkan rasa laparnya. Maka, tak peduli apa bentuknya sepanjang mengenyangkan maka boleh dimakan. “Persis seperti ikan kecil dimakan ikan sedang, ikan sedang dimakan ikan besar, dan ikan itu lalu dimakan ikan yang lebih besar,” jelas Paijo. “Persis seperti game Feeding Frenzy di komputer!” Bagaimana dengan liberalisme?

“Dia terdapat di tubuh bagian bawah. Persisnya bagian bawah perut,” kata dia. Sama seperti perut, bagian itu juga tak pernah merasa puas. Namun bedanya, definis kepuasan yang dicari dan tuju berbeda. Perut lapar kata Paijo, meski setiap harinya diisi indomie kalau sudah terisi pasti kenyang. “Tapi bagian ini (bawah perut), justru sebaliknya. Bukan kekenyangan yang diinginkan, tapi adanya kebebasan untuk menuju rasa kenyang itu,” terang dia filosofis. “Maksudnya?” tanyaku. “Makanya lekas nikah. Agar kamu tidak terpikir menjadi liberalis,” saran dia filosfis. [Cape dech!]

Lalu bagaimana dengan komunisme? Paijo diam sejenak sembari menarik nafas. Komunisme kata dia, awam kerap memahami sebagai ideologi sama rata sama rasa. “Nah, itu artinya itu ada di tapak kaki. Jadi kalau pas jalan kena kerikil dan tak pakai sendal pasti rasa gelinya sama hwakakakakkakakka!” ketawa Paijo. Semprul pikirku. Namun diakhir aku tahu, kenapa komunisme letaknya di kaki. Karena komunisme selalu menyebarkan ideologinya dengan pesan-pesan populis alias menyentuh banyak orang, meski belum tentu penting untuk orang banyak! Apa pasal? “Karena manusia adalah kerumitan dalam kesederhanaan,” simpul Paijo. Akuur deh Jo!

Tidak ada komentar: