Kamis, 31 Januari 2008

Artikel Senilai Rp12 Juta

Jujur kuakui, keikutsertaan pada lomba penulisan artikel Telkomsel 2007 karena semata alasan lagi bokek, alias tidak punya duit. Tapi bedanya, aku tak mengejar hadiah utama apalagi juara. Namun hanya ingin honor sebesar Rp300 ribu untuk setiap tulisan yang diterbitkan. Terdengar materialis memang, dan memang materialis adanya. Namun demikian, aku pribadi tidak memandang keberhasilan semata dari deretan angka. Perlu pula aku ungkapkan, alasan lain menulis artikel tersebut juga karena terinspirasi kisah nyata kawanku sendiri, yang kini sedang bertugas di Jakarta, dan lagi-lagi seperti sebuah kebetulan yang terencana, kawanku itu pula yang pertama memberitahukan kemenangan itu. Selebihnya, silakan sidang pembaca menyimak, dan kalau perlu mengkritisinya.

Khalil Gibran pun Bertekuk Lutut
(Refleksi 12 Tahun Telkomsel Mengejar Laba)

SEPERTI musik, cinta adalah tema universal. Saking mendunianya cinta, ia bahkan bisa memerintah siapa melakukan apa saja. Namun, meminjam istilah William Shakespeare, cinta butuh medium. "Katakan (Cinta) dengan bunga," cetus pengarang Hamlet ini. Bunga hanya simbol, lazimnya musik yang berabad-abad lamanya menjadi simbol suasana.

Dan peradaban mencatat, perjalanan musik sebagai simbol suasana melampaui kelahirannya. Sejak jaman bahula hingga era nada sambung pribadi (NSP). Cinta dan musik, seiring waktu bahu membahu, menjadi medium manusia memaknai hidupnya. Keduanya menjadi "penyampai pesan" kemanusiaan menembus ruang dan waktu.

Seperti terungkap dalam kata-kata Khalil Gibran melalui The Prophet (1923). Atas nama cinta pula, pujangga cinta negeri Lebanon ini, rela mengembara ke segala penjuru mata angin. Namun, era Shakespeare dan Gibran sebagai "penyampai pesan" cinta telah usai. Sebagai gantinya hadir Telkomsel, yang tak henti-hentinya menjadi pengelana jagad maya mengabarkan pesan (baca:SMS), ke semua anak jagad.

Sebuah misi suci yang terekam baik oleh Gibran dalam The Wanderer (1932) dan diteruskan Telkomsel tepat 12 tahun silam. Melalui produk perdana sekaligus pasca bayar pertama pada 26 Mei 1995, Telkomsel membuat karir Gibran pensiun dini. Dengan sebuah wasiat, "terus jaga kesucian cinta,"

"Sayang, kapan kita jalan-jalan ke Lagoi lagi," bunyi SMS pecah keheningan malam seorang Cleopatra, bukan nama sebenarnya, di Batam, setahun silam. Namun bukan membuat hati berbunga namum murka. Selidik punya selidik pesan mesra itu salah alamat dan aib selingkuh pun terbongkar. Gibran pun meratap, Telkomsel gagal menjaga kesucian cinta.

"Sayap (Cinta) telah Patah," perih Gibran, (1912). Sebagai protes, Gibran memilih pensiun selamanya dan membiarkan Telkomsel melanjutkan tugasnya, meskipun Ia gundah namun Gibran mengakui kedigjayaan Telkomsel hingga akhir hayatnya. Setidaknya sebagai "penyampai pesan" Telkomsel telah membumi.

Melalui produk KartuHALO, SimPATI dan KartuAS, tulis situs www.telkomsel.com, sebanyak 35,6 juta (2006) pemujanya menunggu. Menjangkau 90 persen anak negeri, dari megapolitan Jakarta hingga kecamatan Sembulang, Batam. Sebanyak 16.000 BTS menjahit komunikasi antarpulau. Tahun 2007 sebanyak 5000 BTS antre menyambung komunikasi dari Aceh hingga Papua.

Penetrasi agresif ini kian menguatkan pengakuan Gibran, Telkomsel memang bisa dipercaya. Berbekal jaringan luas, kualitas jaringan, fasilitas produk yang lengkap, kenyamanan pelayanan purna jual, dan tarif yang wajar. Telkomsel makin menjulang sebagai penguasa pasar dengan omzet Rp34,89 triliun (2006) atau setara 56 persen kue industri seluler Tanah Air. (Agoes Soemarwah) [artikel ini pernah diterbitkan di Harian Tribun Batam]

Tidak ada komentar: