Kamis, 31 Januari 2008

Selalu Hangat Sepanjang Masa

Harus diakui, suka tidak suka, keberadaan perempuan di kehidupan ini selalu membawa kehangatan sepanjang masa. Tak heran, bagi sebagian kalangan perempuan merupakan puncak pemujaan, sekaligus nadir penistaan. Dalam dunia, yang tak hanya bias laki-laki tapi juga kental dengan perdebatan persepsi ini, diakui tidak diakui, kehadiran perempuan semakin menegaskan penting, dan perlunya suatu antitesis gender bagi sintesis kesetaraan aksi, dan reproduksi melalui laku discourse dan intercourse. Terutama di saat laki-laki melihat perempuan tak lebih objek, bukan predikat apalagi subjek. Padahal perempuan, seperti dikutip dibanyak kisah-kisah Chicken Soup, merupakan sumber sebuah kesuksesan, bahkan keberhasilan hidup. Selebihnya, sudah sewajarnya perempuan diberikan aras dan kesempatan bermain, berkiprah, dan berperan sesuai porsi dan keahliannya.

Perempuan dalam Kebijakan Publik

Menghilangnya barang publik berupa kenyamanan dan keamanan menggugah kesadaran perlunya sebuah kebijakan publik, yang antisipasif terhadap rongrongan sirkumtansi dalam ruang publik. Perempuan, dalam kaitan ini, merasakan betul artinya kehilangan itu. Mereka kini tidak nyaman dengan hak publik yang dimiliki, dan ketakutan untuk melakukan aktivitasnya, bahkan di ruang publik yang tergolong kecil.

Menjadi pertanyaan kemudian, pernahkah sekali terlintas dalam benak kita apakah perempuan telah ditempatkan sebagai faktor penting pertimbangan bagi sebuah kebijakan publik? Sebut misalnya, sewaktu memutuskan pembangunan sebuah fasilitas publik. Dalam kaitan ini, secara sederhana mengemuka perlunya sebuah kebijakan publik yang ''ramah'' perempuan.

Aspek jender berupa penguatan jender menjadi mendesak untuk segera diperhatikan, tidak hanya sebatas wacana publik tetapi juga praksis pengambilan kebijakan publik. Penguatan jender pada dasarnya adalah upaya untuk memastikan keterlibatan dan pelibatan perempuan dalam setiap pertimbangan pengambilan keputusan kebijakan publik yang berdampak pada mereka.

Penguatan jender menjadi wacana yang menarik, apabila dikaitkan dengan kenyataan bahwa hampir separuh lebih penyusun komposisi penduduk adalah perempuan. Pada gilirannya dapat diasumsikan secara umum, bahwa yang akan memperoleh manfaat sekaligus dampak suatu kebijakan publik kebanyakan adalah perempuan. Sehingga wajar apabila perempuan menuntut keterlibatan yang awal, dalam semua rancangan hukum dan perundangan yang menyangkut kebijakan publik.

Sebuah kebijakan publik harus mengandung tiga aspek yaitu keadilan, pemerataan dan keberanian yang proporsional. Dalam perspektif ini, sebuah kebijakan publik yang ''ramah'' perempuan memperoleh alasan sahih untuk, mulai saat ini, dijadikan pertimbangan pembuatan suatu kebijakan publik. Namun upaya tersebut kental nuansa politisnya, maka aspek yang melekat pada perempuan perlu dipahami secara proporsional.

Kebijakan publik berdampak luas, maka setidaknya perempuan memperoleh bagian yang proporsional. Pemerataan ini tidak lain aktualisasi hak publik bagi perempuan. Oleh karena itu, sebuah kebijakan publik harus mengandung keberanian yang didasarkan pada dorongan sirkumtansi dan kebutuhan riil masyarakat.

Menempatkan perempuan sebagai aspek pertimbangan, dalam kebijakan publik merupakan langkah yang proporsional. Kebijakan publik yang ''ramah'' perempuan seyogianya ''dibayar'' oleh pengambil keputusan kebijakan publik. (agoes soemarwah) [artikel ini pernah diterbitkan harian Bali Post]

Tidak ada komentar: