Jumat, 07 Maret 2008

Catatan Kedai Kopi (1)

Temanku Zaki dan Bakteri Sakazakii

Tak di desa atau kota, tak di Batam ataupun Jakarta. Beberapa hari terakhir ini para orang tua, khususnya kaum ibu sibuk menyimak siaran televisi, melumat surat kabar, dan memantau terus berita radio. Semuanya tertuju dan berusaha mencari tahu sebuah cerita berjudul enterobacter sakazakii, yang disebut bisa menyebabkan radang otak otak pada balita yang mengkonsumsi susu formula yang dicemarinya. Kisah bermula dari publikasi hasil penelitian yang dilakukan tim peneliti IPB terhadap sejumlah sampel susu formula balita. Disebut, berdasar hasil penelitian sebanyak 23 persen sampel susu formula yang diuji tercemar. Celakanya, selama dua tahun sejak kesimpulan itu dilaporkan ke Departemen Kesehatan tidak terlihat respon sama sekali. Reaksi baru diberikan setelah masyarakat panik. Kabar baiknya, kendati terlambat publikasinya keputusan tim peneliti membuka temuan sangat tepat. Begitulah komentar editorial sebuah majalah berpengaruh terbitan ibu kota.

Gara-gara kabar itu pula, Zaki temanku mengaku sempat sebal karenanya. Ceritanya, ia sempat diledekin teman kantornya hanya gara-gara namanya mirip dengan si bakteri---What is in a name kata William Shakespeare mencoba menghibur si Zaki. Kendati mengaku sebel, bukan watak Zaki untuk lantas menjadi naik darah apalagi naik pesawat. Sebaliknya, kemiripan dan ledekan itu membuatnya kian sumringah saja saat berangkat kerja ke kantornya, yang berada di bilangan kawasan industri Jakarta Timur. Teman-temannya, terutama perempuan khususnya yang lagi memiliki anak balita jadi teringat bahaya yang di bawa si Zaki, eh maksudku si bakteri Zakii. Ibarat kerja Interpol, kehadiran si Zaki tak ubahnya orange notice (Jus Jeruk kaleee...). "Iya neh Ki, kalau ketemu kamu jadi teringat bakteri susu itu," tutur Zaki menirukan temen perempuan sekantornya, "Tolong dong kasih tahu apa nama merek susu yang tercemar itu," sambung temannya berharap Zaki memberitahu. "Lantas kamu jawab apa?" tanyaku penasaran. "Ya mane ku te he," serunya sembari ngeloyor ke kamar mandi depan kamar kos tempatnya bersarang selama di Jakarta.

Sesaat aku terdiam. Di benakku lantas berhamburan sejumlah pertanyaan. Benarkah respon Depkes RI memang terlambat? Kalau memang terlambat, apa kira-kira yang menjadi alasan menunda penyampaian kabar buruk itu ke tengah masyarakat? Apakah hanya karena tak ingin masyarakat menjadi panik, yang ujung-ujungnya membuat jagad bisnis susu tanah air juga ikutan panik? Atau jangan-jangan ada pertimbangan lain? "Eh Mat, elo lagi mengkhayal jorok ya," tanya dia tiba-tiba sembari melotot ke layar televisi, yang kini sudah kuganti dengan tayangan dvd film Unfaithful (2002). "Lagi mbayangin si Diane Lane ya, secara gimana dia kan favorit elo," cerocos dia tak memberi kesempatan aku sekedar mengatupkan bibir agar tidak melongo. "Tak lagi," jawabku sekenanya. Sembari memamerkan aroma sabun mandinya, Zaki pun duduk persis di atasku di bangku kayu yang katanya selama ini setia menyonkong tubuhnya saat duduk melepaskan beban penat kerja atau pikiran.

"Kesempatan neh," pikirku dalam hati. Ada teman diskusi kata benakku sekali lagi. Lantas aku lontarkan sederet pertanyaan yang sempat berhamburan di benakku tadi. Tak tahunya bukan jawaban yang kudapat, tapi malah senyum nyengir kuda. "Macan tutul!" pekikku tertahan. "Apa Mat," menetralisir kedongkolanku, "Oh...itu," tukas dia seolah sudah mempunyai jawaban. Dia pun lantas berceloteh panjang kali lebar, meski ujungnya dia hanya ingin mengatakan, "Kalau aku berfikiran sepertinya pemerintah sedang menyiapkan sebuah agenda, yang ujungnya sebuah kebijakan baru," Aku semakin melongo. Tak ingin aku terlalu lama melongo dia lantas melanjutkan teorinya. "Bisa jadi pemerintah ingin kembali menggairahnya, secara tersirat kebiasaan memberikan air susu ibu yang kini semakin kalah pamor dengan susu formula," Mendengar jawabannya, dalam hati seketika sepakat dengan teorinya.

Apalagi kecenderungan menggunakan susu formula sebagai pengganti susu juga terlihat semakin menjadi-jadi, bahkan seolah menjadi gaya hidup baru para ibu muda yang terkesima dengan kesempurnaan gizi susu buatan pabrik, rekomendasi ahli nutrisi meski ujung-ujungnya hanya tak ingin kelihatan payudaranya tak lagi berisi. Lagipula dalam banyak kejadian, terlihat kecendrungan masyarakat kita adalah masyarakat latah yang melakukan sesutu bukan pada pertimbangan keperluan, namun semata karena keinginan. Baik keinginan untuk ikut-ikutan kecenderungan gaya hidup, asal tampil beda dan sebagainya. Jadi pilihan menggunakan susu formula semata karena keinginan bukan kebutuhan. Lain cerita mereka yang untuk membeli beras saja tak mampu, maka memberi ASI ke buah hatinya pada konteks yang sama juga bisa diartikan bukan keinginan namun semata karena tidak ada pilihan lain. Fakta lain, terlihat juga adanya kecenderungan sebuah kebijakan akan dipatuhi ketika memang tidak ada pilihan lain lagi. Ya, kultur panik memang selalu menisbikan rasio. Pada titik inilah, kehebohan enterobacter sakazakii seakan menemukan benang merahnya dengan teori Zaki. "Tapi tetap saja tak boleh sinis gitu, Mat," Zaki mengingatkanku.

Faktanya, tulis opini Majalah Tempo, susu formula telah lama menjadi andalan lebih dari separuh ibu Indonesia. Pada 2003 saja, menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 61 persen bayi usia hingga enam bulan bergantung pada susu formula. Survei Hellen Keller International pada 2002 menemukan air susu ibu hanya digunakan rata-rata 1,7 bulan, jauh dari syarat ideal pemakaian ASI selama enam bulan. Pantas saja, lanjut Zaki mengomentari fakta itu, angka kekerasan terhadap anak-anak yang dilakukan orang tuanya tinggi. Rupanya mereka berebut jatah susu toh. "Rupanya ada kesenjangan generasi. Perjuangan kelas," sinis Zaki. Kendati asal bunyi, sinisme Zaki cukup memancing pemikiran. Apalagi jika susu, persisnya susu entah ASI atau susu formula kita pahami sebagai mekanisme ketahanan pangan. Artinya, keberadaan susu merupakan mekanisme hubungan suplai pangan kepada bayi. Itulah mengapa setiap bayi menangis pasti terdiam saat disusui ibunya, atau diberikan susu. Karena diyakini tangis itu merupakan bentuk komunikasi bayi saat lapar atau haus. Dan sebuah penelitian kabarnya membuktikan itu, bahkan mengungkapkan fungsi antara satu dengan payudara lainnya berdasar fungsinya, sebut saja bagian kiri ASI "makan" dan bagian kanan ASI "minum"

Pada saat yang sama, susu kalau coba dilebarkan sebagai pangan maka ujungnya juga kekuasaan. Imbasnya menciptakan mekanisme ketergantungan. Pangan dan kekuasan sendiri memang sangat berkaitan erat. Setidaknya merujuk pada tulisan Susan George yang berjudul Pangan: Dari Penindasan Sampai ke Ketahanan Pangan (2007). Dia katakan, kelaparan yang melanda manusia tidak disebabkan oleh hal-hal mistis. Kelaparan yang melanda secara luas bukanlah kutukan Tuhan, sehingga kita tidak perlu repot-repot bertapa atau bersemadi mencari penyebabnya. Kelaparan sebenarnya terjadi karena ulah manusia sendiri: seperti keserakahan segelintir manusia yang merampas sumber daya. Paralel dengan argumentasi itu, maka seorang ibu yang rela mengganti ASI dengan susu formula untuk buah hatinya---apalagi untuk alasan egois kesempurnaan penampilan--- sejatinya juga tengah menciptakan sebuah kelaparan berupa "kelaparan" hubungan psikologis. "Tapi payudara (payu+dara), kalau dimakna bebas berdasar asal kata kan berarti sarana agar sang empunya laku, minimal menjadi daya tarik lawan jenis," sinis Zaki sekali lagi, sembari mengurai kata Payu yang berarti Laku dalam bahasa Jawa, dan Dara yang berarti gadis. Lalu apa hubungannya dengan bakteri? Aku dan Zaki tak bisa lagi berteori. Namun, kami berdua meyakini sekiranya itu juga jenis bakteri, maka bukan jenis yang membahayakan, namun sebaliknya malah memabukkan. Tabik!

Tidak ada komentar: