Senin, 24 Maret 2008

Catatan Kedai Kopi (2)

Memaknai Ayat Ayat Kontemporer

Sejak meledaknya karya sinema berjudul “Ayat-ayat Cinta” besutan Hanung Bramantyo, mengadopsi novel karya Habiburrahman El Shirazy, mencuatkan betapa dahsyatnya kekuatan sastra bagi perubahan sosial, atau setidaknya bagi perdebatan sosial. Baik melalui milis, opini media, lorong perkauman, atau lewat lapak-lapak pedagang kaki lima. Dalam banyak perdebatan itu, saling berkelindan berbagai kepentingan, dan pembenaran.

Tafsir pun bermunculan. Benarkah ada kepentingan kapitalisme di dalamnya? Sungguhkan ada semangat anti kapitalisme di situ? Atau malah, salahkah menjadikannya kepentingan politik atas nama pencitraan diri? Tak jelas ada tidaknya jawaban semua pertanyaan itu. Kecuali sebuah jeda, antara benar dan salah. Biar tak terlarut dalam debat kusir, mungkin sebaiknya simak ujaran Karl Popper, filsuf Inggris sebagai semacam sandaran, “Sesuatu dianggap benar ketika terbukti tidak keliru,” Setelah itu, silakan memaknai ayat-ayat kontemporer tersebut.

Kenapa kontemporer? Novel dan sinema, meski diyakini sebagai alat perubahan sosial, keduanya juga bias terhadap pemaknaan, bahkan kepentingan. Sehingga keduanya tidak netral nilai. Namun sebagai ruang, keduanya merupakan katarsis guna mencurahkan semua pengalaman hidup, bahkan pemikiran sebuah keinginan termasuk yang paling kontroversial sekalipun. Rancunya, kedua fungsi itu berkelindan, bahkan kadang berselingkuh atas semangat “siapa memanfaatkan apa”. Ambil contoh novel Salman Rushdie, “The Satanic Verses”. Sebagai ruang pemaknaan, novel itu sempat menimbulkan perdebatan sosial, bahkan dimanfaatkan sebagai sarana propaganda, baik penentang maupun pendukungnya. Hal serupa juga berlaku untuk novel karya El Shirazy, kali ini untuk kepentingan propaganda membangun citra diri.

Setidaknya tafsir itulah yang bisa disodorkan guna memahami “langkah’ cerdas Jusuf Kalla, dan Ismeth Abdullah. Wakil Presiden RI dan Gubernur Kepri itu seperti mengerti betul psikologi budaya pop guna mendongkrak popularitas. Terlepas untuk mengisi libur panjang, namun pilihan keduanya menonton film “Ayat-Ayat Cinta” terpisah di Jakarta dan Batam, dengan liputan media massa seakan memposisikan diri sebagai bagian masa kini, dan bukan warisan generasi jadul alias jaman dulu. Dan perjalanan budaya kontemporer mengajarkan, setidaknya ada dua pola guna mendongkrak rating ketenaran diri.

Selain melalui laku kontroversi, juga bisa menumpang budaya kontemporer yang sedang meroket saat itu. Apalagi di jaman ketika keinginan bisa direkayasa dengan bantuan media massa, termasuk melalui karya sasta dan karya sinema. Tulisan Bre Redana, Kompas (23/3) bertajuk Agnes sangat cerdas mengulasnya. Mengutip teori Benjamin Barber, yang terkenal dengan bukunya Jihad Vs McWorld, Bre menyebut saat ini sedang terjadi fenomena terbalik. Hadirnya mal, kata dia merujuk buku Consumed-nya Benjamin Barber, tak lebih pabrikasi keinginan (manufacturing of wants). Pada konteks yang sama, dibuatnya film “Ayat-Ayat Cinta” juga dalam upaya meniscayakan kegairahan itu.

Sehingga semakin meledak budaya pop itu, maka kian terkatrol rating diri. Begitupun sebaliknya, kian kontroversial pilihan sikap dan laku terhadap sebuah isu kontemporer, maka semakin mengular pula barisan pendukung paduan suaranya. Novel dan sinema, juga sudah lama menjadi sarana untuk kepentingan itu. Sebut sinema, sudah sejak lama ia menjadi wahana melontarkan gagasan, guna mengetahui respon publik. Sehingga ketika publik memprotesnya, maka bisa dipahami publik belum bisa menerima ide yang difilmkan. Namun demikian, ide itu tidak akan punah, sebaliknya dia tetap membara dan hanya meninggalkan film sebagai tumbalnya.

Lazimnya hukum kekekalan energi, meminjan istilah John F. Kennedy, keduanya (novel dan film) juga mengalami jatuh bangun, pemujaan dan penistaan. Namun ide itu tetap kekal, sekekal kepentingan dalam politik. Tak heran, jika dibalik suksesnya film “Ayat Ayat Cinta” terselip kritik masuknya kepentingan kapitalisme (baca: monopoli). Sederhana saja, kalau film itu dibuat untuk mengejar keuntungan dan tak semata menyediakan hiburan, maka jelas itu bentuk kapitalisme. Namun dari jenis yang tidak membahayakan. Lalu sungguhkan di dalamnya juga ada semangat anti kapitalisme?

Dalam perspektif Hegelian, setiap kehadiran kapitalisme pasti dengan sendirinya dibarengi semangat anti-kapitalisme. Tidak percaya? Tengok saja di lapak-lapal kaki lima, video bajakan film sama dengan mudah ditemukan. Tentu saja dengan harga proletar, yang sejak dulu diposisikan diametral dengan kaum borjuasi pendukung kapitalisme. Lalu apa artinya? Kalau pembajakan adalah cara melawan kapitalisme, maka banjirnya keping film bajakan merupakan manisfestasi semangat itu. Namun dari jenis yang belum jelas keberpihakannya. Dan antara kapitalisme dengan anti kapitalisme ada jeda. Ruang yang bisa dimaknai sesuai kebutuhan, dan kepentingan.

Sebut saja pragmatisme. Sebuah fenomena yang kini sudah kentara dalam kegairahan menyambut datangnya masa wajib tebar pesona 2009. Kerja tebar pesona, kendati kerap disinisi namun tetap menjadi satu-satunya pilihan masuk akal untuk mendulang popularitas. Apalagi dalam budaya politik yang menisbikan kegunaan platform dan kerja-kerja jangka panjang. Semakin pragmatis terhadap kehebohan budaya pop yang berkembang, maka kian jelas anatomi keberpihakan atas nama tebar pesona. Selebihnya, selamat memaknai ayat-ayat kontemporer itu!

Tidak ada komentar: