Nama Tanjungpinang, Pulau Bintan terngiang pertama kali saat aku duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. Saat itu ibu guruku yang cantik di kelas menerangkan, nun jauh di ujung barat wilayah Indonesia ada gugusan pulau yang dikenal dengan kekayaan hasil tambangnya, yaitu bauksit. Setelah lama menghilang dalam hiruk pikuk bertambahnya usia. Pada 6 Agustus 2007 aku berkesempatan menjejakkan kaki di tanah, yang oleh sebagaian kalangan disebut "Bumi Kata-Kata" karena kuatnya tradisi pantun, berbalut budaya Melayu yang menjadi lebensraum. Hanya bedanya, Tanjungpinang yang dulu kudengar masih merupakan ibukota Provinsi Riau, namun kini ternyata telah menjadi ibukota Provinsi Kepulauan Riau.
Syahdan, sekolompok elemen masyarakat yang menamakan diri Badan Pekerja Pembentukkan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR) berniat memekarkan diri, dengan alasan geografis dan kepentingan administratif. Perjuangan itu akhirnya berhasil. Kendati sempat melalui masa friksi kanan-kiri pascaterbentuknya provinsi baru itu, namun dengan sejumlah argumentasi dan alasan romantisme masa lalu, Tanjungpinang akhirnya dipilih kembali menjadi ibukota, sekaligus menasbihkan kota yang juga dikenal dengan sebutan Bumi Gurindam itu menjadi pusat kebudayaan Melayu [meski baru sebatas idealisme]. Sebuah niat dan nubuat yang masuk akal. Bukan saja karena maestro Gurindam, yaitu Raja Ali Haji terlahir di bumi ini tapi juga memang di sinilah masih bisa dilacak jejak tradisi tertulis Melayu, khususnya di jaman keemasan Kerajaan Riau-Lingga. Terakhir, napak tilas mencari jejak keping mozaik sejarah lisan dan tulisan itu sedang dilakukan sebuah tim dengan dukungan pendanaan dari kerajaan Inggris Raya.
Dan Tanjungpinang yang kupijak sekarang, ternyata bukan lagi terkenal dengan hasil tambang bauksitnya melainkan telah berubah menjadi rendezvous penampungan bakal TKI ke negeri tetangga Singapura, dan Malaysia. Tanpa bermaksud sinis, kenyataan itu akhirnya membuat perspektifku tentang Tanjungpinang bias. Memang jejak tambang bauksit masih bisa ditemui. Karena Tanjungpinang hanyalah bagian kecil dari Pulau Bintan, yang dalam pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) saat sekolah dasar selalu menjadi soal ulangan. Hanya saja jaman memang terus berubah. Tanjungpinang dan Pulau Bintan kini tidak hanya akan dikenang sebagai daerah penghasil tambang, namun juga ranah bagi para pencari kehidupan lebih baik di negeri jiran, alias TKI. Sayangnya, belum ada kepedulian dan perhatian hamba wet di kota ini untuk memaksimalkan keberadaan mereka menjadi potensi. Wajar bila akhirnya, hukum pasar yang berlaku, termasuk terjadinya praktek-praktek menyimpang dengan dukungan aparat untuk terus melegalkan keberadaan ilegal mereka.
Terlepas dari semua kenyataan itu, Tanjungpinang dalam pandangan aku tak ubahnya gerbong kereta yang sudah mulai menua sebelum waktunya. Ironisnya, kondisi itu bukan karena kesalahan rancang bangun awal pembuatan. Namun lebih karena kurang perawatan. Banyak penumpang, ternyata yang hanya ingin menumpang tanpa ada keinginan turut merawat keberadaan gerbong. Akibatnya, jalan kereta itu juga lambat, bahkan sempoyongan. Kabar baiknya, kereta masih berada di atas rel (not derailed yet). Kabar buruknya, pengelola kereta belum bisa menyuplai sendiri pasokan bahan bakar perjalanan. Tanpa bermaksud fatalis, jika budaya menumpang itu tidak dibarengi tradisi merawat gerbong, bukan tak mungkin kota yang kini dinahkodai seorang walikota cantik ini, merujuk istilah yang berkembang, bakal terpeleset menjadi "Tanjungpaniang, Kepulauan Risau," .....Tabik!
Jumat, 01 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Atas nama narsisme....
Sahabatku Soemarwah...sebenarnya hidup ini adalah kumpulan kelucuan yang menuntut kesabaran. Namun, bukan karena alasan kita tidak mencintai humor, maka kita menjadi narsistik.....seperti kata sebuah penelitian, bahwa seorang narsis punya peluang yang amat besar untuk mengalami impotensi...hahahaha....
selamat berkarya, mat.....
satu-satunya yang kusenangi dari blog mu adalah bahwa keberanianmu untuk memproklamirkan dirimu sebagai seorang narsis tulen....hahahahahaha......
Posting Komentar