Kamis, 14 Februari 2008

Zuriat: Capek Deh..!

Dalam tradisi Jawa, lazim dikenal istilah 3B yaitu "Bobot, Bibit,Bebet" sebagai kriteria saat mencari pasangan hidup. Kendati sudah terdengar jadul, atau kuno namun dalam prakteknya masih banyak menjadi referensi. Entah karena percaya, atau malah takut kualat! Namun demikian, diyakini atau tidak, hampir semua kebudayaan mengenal tradisi dan kebiasaan seperti itu, khususnya soal asal usul atau latar belakang seseorang. Bahasa HRD-nya curriculum vitae (CV) alias riwayat hidup. Sebab bagi sebagian kalangan CV sangat penting, bahkan diagungkan dan menjadi prasyarat sebuah status sosial. Orang Malaysia menyebutnya Dzuriat! Ya, keturunan, asal usul yang bersumber dari pohon keluarga (family tree). Sebuah bagan, yang dalam budaya Jawa penting agar tidak "Kepaten Obor", yang memberikan terang tentang asal usul dan keterhubungan atas nama kekerabatan. Sampai titik ini sepertinya tidak ada yang keliru, bahkan justru sebuah keharusan untuk menjaga dan merawat kekerabatan atas nama dzuriat!

Hingga datang sebuah kabar buruk bernama kepentingan. Sebab kepentingan, apapun retorika dan argumentasinya, selalu lekat dan mendekat dengan idiom politik, tentu saja dalam pengertian luas. Sementara itu, praksis politik berabad-abad lamanya selalu meneriakkan adagium, "Tak ada lawan abadi, tapi kepentingan abadi" Pada titik ini, pengertian politik akhirnya menyempit menjadi "siapa mendapat apa" dan "apa harus bagaimana" Ujungnya jelas, mengutip ungkapan klasik, yaitu Takhta, Harta, dan Wanita. Sebuah idealitika sekaligus malapetaka politik---sebagai sebuah sarana mencapai tujuan. Tanjungpinang beberapa hari terakhir juga diramaikan dengan silang sengketa personal, yang sialnya melibatkan dalih keturunan menjadi demarkasi perbedaan. Konon, sumber silang sengketa adalah sebuah pulau, yang sejak turun temurun diyakini cikal bakal, dan kampung halaman penguasa dzuriat tertentu.

Silang sengketa itu bermula dari keinginan personal untuk "menggunakan" pulau tersebut sebagai cultural endorsement atas penasbihan sebuah sematan kehormatan. Dalam politik, dukungan budaya bisa menjadi political advantage. Apalagi jika keuntungan itu diperoleh dari tempat dimana sumber dukungan politik itu bermula. Hanya saja tak disangka, personal lain yang mengklaim sebagai dzuriat pulau menolak. Entah apa alasannya, yang jelas silang sengketa itu menjadi polemik. Hingga terjadi perang kata-kata. Saling bongkar cerita, dan lempar kosa kata. Ironisnya, tak ada kosa kata yang ber-bobot. Tidak ada bebet yang bisa diceritakan. Kecuali bibit beda kepentingan. Tentu ironis, kalau memaknai dzuriat hanya untuk berbeda. Karena kalau terus menerus disemai, perang kata-kata itu hanya akan menguras kisah penting untuk cerita tak penting. Sebab dzuriat seharusnya dirawat, bukan malah menjadi aurat yang dikerat. Dan terlepas dari apapun kepentingannya. Kalau terus dilanjut silang sengketa itu, meminjam istilah gaul anak Jakarta, Dzuriat: Capek Deh...!

Tidak ada komentar: