Siapa tak kenal Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur. Budayawan, pemikir, sekaligus mantan presiden negeri ini, yang juga seorang polyglot alias penutur banyak bahasa asing. Siapa pula yang tak tahu Clint Eastwood. Aktor kenamaan Hollywood, seorang walikota di negara bagian California, dan juga pria dengan banyak istri. Lalu, apa hubungan keduanya? Yang jelas, Gus Dur dikenal amat menyukai karya film, dan Eastwood terkenal sebagai sutradara jempolan, tentu saja lewat film Unforgiven.
Namun, kalau mau dihubung-hubungkan. Keduanya ternyata memang mempunyai keterkaitan, meski terpisah tapi mempunyai satu sumber benang merah yang sama. Apa itu? Tentu saja kepedulian keduanya terhadap penegakkan hukum, lebih tepatnya tegaknya lembaga hukum di tengah centang perenangnya sistem hukum, dan penegakkan hukum yang ada. Eastwood, melalui film-filmnya banyak mengungkapkan kisah karut marutnya dunia penegakkan hukum. Paling terkenal tentu saja lewat perannya sebagai Inspektur Harry Callahan dalam film Dirty Harry (1971).
Seorang hamba hukum, yang resah dengan sistem hukum yang lemah. Sehingga para pelanggar hukum nyaris tak tersentuh hukum. Tapi dasar Harry, sistem hukum bukanlah sebuah penghalang bagi dirinya untuk tampil menegakkan hukum, meski untuk itu harus melanggar hukum itu sendiri. Sebuah kritik terhadap kondisi penegakkan hukum, dan lembaga penegak hukum yang ada di San Fransisco saat itu. Lembaga kepolisian, saat itu seperti selalu kalah cepat, dan lihai ketimbang penjahat. Sejarah Amerika Serikat sendiri pernah memiliki catatan kelam lembaga kepolisian.
Saat dimana lembaga kepolisian justru menghamba kepada para pelanggar hukum. Hingga datangnya “The Untouchable” yang berhasil menjebloskan bandit terbesar Chicago, sekaligus Amerika Serikat saat itu, Al Capone. Perjuangan Eliott Ness saat itu sungguh sangat berat. Bukan saja karena korupnya sistem hukum, namun juga karena suburnya budaya suap. Budaya suap, dan sistem penegakkan hukum yang korup konon juga terjadi, dan menjadi praksis keseharian lembaga hukum di negeri ini. Mulai pengadilan, kejaksaan hingga kepolisian. Tak aneh, akhirnya kepada mereka lahir sematan meyakitkan seperti mafia peradilan.
Bahkan khusus lembaga kepolisian kerap terdengar anekdot, “Lapor kehilangan kambing, malah kehilangan kerbau” Kepolisian sendiri sebenarnya bukannya tak berbenah, bahkan sejarah kepolisian negeri ini pernah harum dengan sosok Hoegeng Iman Santoso, Kepala Polri yang dikenal bersih, dan relatif tak tersentuh suap. Menarik kemudian membaca sebuah ulasan tentang kepolisian di Harian Kompas (18/2), yang memimpikan sosok hamba hukum yang tangguh, profesional, dan bebas suap. Membacanya lebih lanjut, ternyata bukan hanya personilnya yang harus dibenahi namun juga sistem hukumnya. Selain masih banyak meninggalkan celah, juga terkesan akomodatif terhadap fenomena pertemanan, patron-client berjudul “Haopeng” [siapa memanfaatkan siapa]
Relasi yang aneh tapi nyata. Hubungan terlarang namun menjadi praktek kasih sayang. Celakanya relasi itu bukannya berangsur pudar malah semakin liar, dan bersinar. Bahkan terangnya hingga menyilaukan para hamba hukum. Saking kesalnya, hubungan gelap namun benderang itu oleh masyarakat distempel besar, dan tebal “DELAPAN ENAM” alias tahu sama tahu. Sudah sejak lama, praktek tersebut berlangsung di lembaga hukum negeri ini. Bahkan rantai hubungan ini semakin diperpanjang dengan sistem hukum negeri ini, yang masih mengandalkan pada trisula hukum, yaitu polisi, jaksa dan hakim.
Semua tahu, polisi memberkas. Jaksa menuntut, dan hakim memutus. Anehnya, pasal dakwaan seringkali berubah. Hingga ujungnya kerap terdakwa bebas karena tak cukup bukti. Kalau begini siapa yang salah. Tak jelas jawabnya, karena ibarat ular memakan ekornya sendiri. Tulisan di Kompas itu juga menyentil soal ini. Bahkan, proses ular memakan ekornya itu juga dipetakan, termasuk titik yang menjadi simpulnya. Sebuah kritik, sekaligus catatan bagi lembaga penegakkan hukum. Karena tanpa kesungguhan menjaga, dan mengawal ikatan simpul itu. Maka, hanya bakal menambah kasus yang tak terungkap (dark number). Bukan karena tidak ada jejak, tapi sulit mendefinisikan jejak itu sendiri. Itulah kenapa crime rate selalu lebih tinggi ketimbang crime clearance.
Sebab police hazard, alias potensi bagi lahirnya tindak kejahatan justru disemai lembaga yang selalu meneriakkan perlunya mewaspadai dinamika police hazard. Implikasinya jelas, kejahatan akan terus tumbuh dan lahir. Ibarat minum obat namun tak pernah diperhatikan dosisnya, kasus kejahatan kian sulit dipecahkan karena metode penyidikan tidak pernah diikuti seperti dosis obat yang seharusnya diminum. Imbasnya luar biasa, merujuk teori Malthus, kejahatan melesat bak deret ukur. Kemampuan menjejak kejahatan tak lebih deret hitung. Ironisnya, pada saat seperti ini selalu ada alibi, dan apologi sebagai pembenaran. Bukan saja dalih cekaknya anggaran, keterbatasan personil namun juga sebuah “kenyataan” yang dikabarkan sebuah teori buku.
Konon, kata teori itu, kejahatan merupakan keniscayaan bagi hadirnya harmoni kehidupan. Tak heran, jika sebagian pemikir sosiologi kejahatan juga meyakini, dan menyebutnya sebagai pintu menuju terbukanya sebuah perubahan. Bahkan, pada kondisi tertentu justru merupakan pendorong terjadinya perubahan itu. Kata Durkheim, seorang diantara yang meyakini teori itu, kejahatan “terikat dengan kondisi fundamental keseluruhan kehidupan sosial” dan berperan sebagai fungsi sosial. Karena itu, dia meyakini kehadirannya bukan hanya suatu yang “normal” dalam sebuah masyarakat, namun juga “fungsional” Normal, karena kejahatan ada pada setiap kehidupan masyarakat, dan fungsional karena dengannya, masyarakat justru bisa memberdayakan norma sosial, dan menyediakan “bahan” untuk perubahan sosial, layaknya “katup pengaman” bagi ketidakpuasan sosial---sebuah kondisi yang membuat orang melanggar hukum ketimbang mencari jalan keluar rasa tidak puasa itu. Sebuah paradoks: seru Durkheim!
Namun, terlepas apa pun teorinya, lembaga penegak hukum, khususnya kepolisian harus mulai membayar kepercayaan seorang Gus Dur, yang telah berjuang memandirikan kepolisian sebagai lembaga terpisah dari lembaga pertahanan. Tak hanya itu, kepolisian juga harus mulai menghapus stempel “DELAPAN ENAM” itu dengan kesungguhan menjadikan Tri Brata, dan Catur Prasetya sebagai bekal menjadi hamba hukum, yang bukan hanya layak mendapat anggaran APBN terbesar keempat [Rp36,108 triliun], setelah Depdiknas, Dephan, Departemen Pekerjaan Umum, namun juga berhak menyandang gelar insan Rastra Sewakottama. Sebab, kalau sampai ini tak terpenuhi maka benar kata Gus Dur, “Hanya Dua Polisi yang Jujur yaitu Hoegeng Iman Santoso, dan Polisi Tidur”
Rabu, 20 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar