Rabu, 06 Februari 2008

Lain Jalan Menuju Roma

Tak ada bunyi serak burung gagak, tidak pula terdengar sangkakala. Namun, mendung hitam tiba-tiba menggelayuti ketenangan Jalan Ganet, Batu 12, Tanjungpinang. Sejenak suasana senyap. Beberapa jeda kemudian, pecah tangis bocah bercampur kaget. Pasalnya, mata bening itu menatap sebujur kaku sosok yang sangat dikenalnya. Sri Lestari (36), demikian tubuh kaku itu sering dipanggil. Namun, kali ini panggilan ibu yang biasanya langsung bersambut dengan pelukan hangat, tak lagi berjawab apalagi memeluk. Hanya kaleng racun serangga, dan selembar surat yang menjawabnya.

“Ya tuhan ampunilah aku orang berdosa,
Suamiku kamu orang yang jujur, maafkanlah aku kamu sudah baik pa, nasihantin aku, tapi akunya saja,
Maafkanlah kesalahanku pa, aku bersalah besar padamu, jalan pikiranku menyalahkan orang, tetangga disini,
Pa aku titip anak-anak Chris, Cia , Dino
Pa kamu suamiku yang jujur, seharusnya aku bersyukur, tapi aku sudah membikin salah terus aku jadi bingung,
Padahal kamu sudah baik padaku dan anak-anak,
Sekali lagi maafkan aku istrimu yang bodoh dan lugu, ngomong tak pakai otak
Maafkan kesalahanku tetanggaku.”


Rabu (6/2) siang itu, seketika langit cerah Jalan Ganet berubah menjadi muram. Dan tubuh menggigil itu terpaku, mulut terkunci. Hanya bulir bening yang berkata-kata. Sri, ibunya mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun serangga. Kisah sedih itu tak hanya meninggalkan duka, namun juga menambah deret panjang enigma katarsis beban hidup bernama le suicide. Dan sepertinya kini laku menghabisi diri sendiri, atau bunuh diri menjadi pilihan paling rasional untuk membebaskan diri dari persoalan hidup, baik karena himpitan masalah ekonomi atau permasalahan lain yang tak bisa didefinisikan, bahkan dengan ukuran kata hati sekalipun. Seolah tidak ada cara lain untuk meringankan beban hidup. Semua buntu, dan beku. Seakan tak ada pilihan lain yang mudah, dan masuk akal. Dan meminjam ungkapan klasik “Banyak Jalan Menuju Roma”, laku bunuh diri seolah merupakan jalan pintas, dan tercepat untuk menuju Roma. Sebentuk eskapisme sosial atas nama ketidakberdayaan. Sebuah katarsis beban hidup.

Dan Ibu Chris, Cia, dan Dino itu memilih pergi ke “Roma” dengan jalan yang diyakininya. Belum diketahui alasan Sri nekat melepas belaian sayang kepada tiga buah hatinya. Namun dari berbagai kasus serupa yang ditangani kepolisian selalu berakhir dengan kesimpulan: karena beban kehidupan. Ya, kehidupan keluarga, ekonomi, hingga kehidupan cinta. Namun demikian, persoalan bunuh diri ternyata tak hanya sempit sebatas persoalan itu saja, bahkan dalam beberapa kebudayaan laku bunuh diri justru diyakini sebagai bentuk pengabdian, penghormatan dan pengorbanan untuk hal-hal yang tak bisa dijelaskan alasannya.

Tradisi bunuh diri, atau seppuku atau harakiri di Jepang merupakan satu diantaranya. Ada segenggam alasan yang tak bakal diterima nalar, namun kenyataannya itu selalu diyakini sebagai sebentuk pengabdian. Sigmund Freud melalui Psikoanalisa-nya berusaha membantu menjelaskan. Bahwa sejatinya, bukan semata itu alasannya. Namun justru ada argumentasi lain yang bisa menjadi alasan masuk akal terjadinya laku bunuh diri. “Dalam jiwa (psyche) manusia sejatinya ada dua insting dasar yang menggerakkan hidup, yaitu eros dan thanatos,” ungkap dia. Keduanya, lanjut Freud memiliki karakter yang saling menegasi satu sama lain. Eros mencintai kehidupan, dan thanatos membenci hidup. Sejenak dia terdiam. Sembari menarik nafas, Freud melanjutkan, berbeda dengan insting mencintai hidup. Insting membenci hidup bercirikan sifat agresi, rasa permusuhan, dan keinginan merusak. Kabar buruknya, ibarat pedang insting itu ternyata bermata dua. “Rasa permusuhan, agresi dan keinginan merusak itu bila menemukan sasarannnya di luar maka menjelma menjadi laku membunuh,” terang dia, “Sebaliknya, bila sasarannya ternyata justru ke dalam diri sendiri maka bentuknya berupa keinginan bunuh diri,” lanjut dia menerangkan.

Namun berbeda dengan Freud, yang berusaha menjawab fenomena bunuh diri dengan pendekatan psikologi, maka sosiolog Perancis Emile Durkheim menawarkan pendekatan lain. Seperti latar ilmu yang dimilikinya, Durkheim melihat fenomena bunuh diri terkait dengan ikatan sosial, antara individu dengan masyarakat dan sebaliknya. Kesimpulan analisanya itu, seperti terungkap dalam ouvre-nya Le Suicide (1897), membedakan laku bunuh diri dalam empat tipologi.

Pertama, bunuh diri egois (egoistic suicide). Yaitu ketika keterikatan antara satu individu dengan individu lain dalam satu masyarakat lemah, dan longgar. Sehingga secara emosional individu bersangkutan merasa bukan bagian masyarakat tersebut. Namun, sebagian kalangan menyebut laku bunuh diri ini terjadi memang semata pelakunya ingin bunuh diri. Khusus yang terakhir kasus bunuh diri sejumlah penulis kenamaan Jepan masuk dalam jenis ini. Durkheim sendiri meyakini, jenis ini banyak dilakukan orang dengan latar belakang sudah bercerai.

Kedua, bunuh diri altruis (altruistic suicide). Yaitu ketika satu individu merasa hidupnya adalah milik masyarakat bersangkutan. Karena itu, laku bunuh diri yang dilakukan diyakini bisa membawa manfaat bagi masyarakat bersangkutan. Durkheim lantas membaginya lagi menjadi dua varian, yaitu (1) Ketika keberadaan diri dianggap menjadi beban bagi lingkungan dimana ia berada. Semisal kasus bunuh diri yang kerap terjadi dalam lingkungan milter saat berperang. (2) Ketika keberadaan diri tak berguna untuk sesuatu yang lebih besar dan ideal. Semisal bunuh diri yang dilakukan pilot kamikaze Jepang, dan tradisi Sati dalam Agama Hindu.

Ketiga, bunuh diri anomi (anomic suicide). Yaitu ketika norma sosial lingkungan yang ada tak bisa lagi menjadi regulasi sosial bagi individu yang berada di dalamnya, karena terjadinya perubahan dramatis dalam perekonomian atau peri kehidupan sosial lainnya. Perlu diingat hampir semua norma sosial melarang laku bunuh diri. Durkheim mengungkapkan, jenis ini terjadi ketika norma sosial dan hukum yang mengatur peri kehidupan sosial tidak sejalan dengan tujuan hidup individu di dalamnya. Karena itu, individu bersangkutan bunuh diri merupakan jalan “keluar” dari aturan, atau kondisi hidup yang semakin tidak sejalan dengan keinginan. Sebagian kalangan menyebut, mereka yang bunuh diri karena alasan masalah ekonomi termasuk dalam jenis ini. Atau dari dulunya kaya, tiba-tiba jatuh miskin karena roda kehidupan yang berubah drastis.

Keempat, bunuh diri fatalis (fatalistic suicide). Yaitu kebalikan dari anomi. Fatalis adalah ketika aturan sosial justru menjadi sesuatu yang menyesakkan kehidupan. Sehingga tidak ada harapan lain bagi individu itu untuk terbebas dari aturan sosial itu selain “terbebas” dengan bunuh diri. Kasus bunuh diri yang dilakukan budak pada jaman perbudakan, dan masyarakat Jepang.

Selain membedakan bunuh diri berdasar tipologinya, Durkheim dalam karya itu juga menemukan bahwa angka bunuh diri justru rentan bagi janda/duda, dan bujangan ketimbang orang yang menikah. Bunuh diri, lanjut dia juga rentan dialami pasangan tanpa anak dibanding yang mempunyai keturunan. Namun faktanya saat ini kondisi yang berbeda justru lebih terlihat. Terlepas dari temuan Durkheim tersebut. Bunuh diri sejauh ini juga mengenal model berdasar usia kecenderungan melakukan bunuh diri. Secara umum dikenal tiga model.

Yaitu model Jepang, dimana terdapat dua usia kecenderungan melakukan bunuh diri yaitu sekitar 25 dan 50 tahun ke atas. Kurvanya, ketika mendekati usia 25 maka grafiknya naik lalu turun seiring bertambahnya usia, dan terlihat mendaki tinggi saat usia mendekati 50 tahun ke atas, dan menurun lagi seiring dengan pertambahan usia. Lalu model Hungaria, yaitu semakin bertambah usia semakin menunjukkan kurva menanjak. Terakhir model Skandinavia, yaitu usia rentan bunuh diri setelah mencapai usia 50 tahun ke atas. Berdasar statistik, warga negara Skandinavia atau Nordik secara umum, termasukm tinggi angka bunuh dirinya. Islandia pernah menjadi yang tertinggi di dunia.

Kalau merujuk pada tipologi bunuh diri Durkheim, maka kasus yang belakangan ini menghiasi halaman surat kabar, dan layar televisi lebih lebih mendekat ke jenis bunuh diri anomi. Khususnya dipicu himpitan masalah ekonomi, dan perubahan sosial yang cepat, sehingga membuat sebagian individu merasa hilang hak hidup sosialnya. Ironisnya, untuk sebagian justru negara ikut menjadi pemicunya, terutama melalui pemiskinan struktural. Goenawan Mohamad lewat kolom “Catatan Pinggir”-nya bahkan, dengan cerdas dan lugas hingga dua kali mengungkapkan secara tersirat, adanya “peran” negara dalam laku bunuh diri tersebut. Yaitu melalui kisah Sukardal dan Slamet. Yang pertama memilih mengakhiri hidupnya dengan menggantung di pohon Tanjung, setelah becak satu-satunya sekaligus “periuk nasi”-nya diangkut petugas ketertiban umum (Tibum) Kota Bandung, 19 Juli 1986. Tak kalah tragisnya Slamet, yang memilih gantung diri setelah harga kedelai melangit. Sehingga gorengan yang menjadi sandaran hidupnya, bukan meringankan namun justru menambah beban hutang yang harus ditanggung. Akibat bahan baku yang tak terbeli.

Pada akhirnya, laku bunuh diri bukan soal benar atau salah. Juga, bukan salah jalan atau banyak jalan menuju Roma. Bunuh diri, tak lebih sebentuk keyakinan bahwa menuju Roma, setiap orang punya pilihan, dan berhak meyakininya. Karena sesungguhnya manusia, mengutip pepatah Persia kuno, adalah jeda waktu dengan keabadian, kopula alam semesta.

Tidak ada komentar: