Minggu, 03 Februari 2008

Ketika Abang Sam Memilih (3-Habis)

Seperti disinggung di awal tulisan bagian satu, persaingan merebut jabatan Air Force One juga tak hanya sengit di tingkat kandidat saja. Namun juga bakal keras setelah hasil konvensi masing-masing partai diumumkan. Saat itu, tak hanya kharisma dan aura persona tapi juga bersaing mesin partai. Itu pun dengan catatan Michael Bloomberg, Mantan Walikota New York tidak nyemplung sebagai calon presiden independen.

Sejarah mencatat, hanya pertarungan kandidat dua partai yaitu Republik dan Demokrat saja yang terus bertahan, dan mewarnai sejarah kontemporer Amerika Serikat. Partai Demokrat diyakini sejarah keberadaannya bermula dari Thomas Jefferson, Presiden AS paling kosmpolit dan berpikiran terbuka. Sedangkan Partai Republik, dipercayai jelas terlihat jejaknya saat Presiden Abraham Lincoln (Abe) memerintah AS. Dan beraba-abad lamanya, keduanya silih berganti menentukan masa depan negeri dengan penghasilan kotor (PDB) terbesar se-Dunia itu.

Keduanya juga mempunyai tokoh politik kharismatis di eranya, termasuk dinasti politik. Partai Republik yang berlambang gajah, sehingga berat dan lamban (baca: konservatif) mempunyai Ronald Reagan, yang dengan Reaganomics-nya di bawah arahan ekonom Milton Friedman berhasil membuat pemerintahan sosial-demokrat di Eropa tiarap, dan mengakui kedigjayaan ekonomi AS dekade itu. Republik juga menyisakan dinasti politik Bush. Partai Demokrat dengan lambang keledai, sehingga lincah dan ringat (baca: liberal) mempunyai Bill Clinton, yang dengan Clintonomics-nya di bawah besutan pemenang nobel Joseph Stiglitz mewariskan surplus anggaran selama delapan tahun pemerintahan demokratnya. Seperti Bush di Republik, Demokrat juga memiliki klan Kennedy yang melenggenda.

Secara umum, basis dukungan kedua partai itu juga mewakili mainstream ideologi yang diusungnya. Republik yang tegas membela nilai-nilai konservatisme banyak mendapat dukungan kaum puritan protestan, kelas menengah atas, dan kalangan masyarakat kulit putih mapan lainnya. Wajar agenda ekonomi mereka selalu pemangkasan pajak, dan mekanisme pasar, dengan isu keamanan menjadi pijakan utama diplomasi luar negeri. Implikasinya, Partai Republik kental dengan isu seperti militerisme. Dalam spektrum politik Amerika Serikat, kalangan republikan yang menjadi penyokong utama sering disebut Red Liners.

Partai Demokrat seperti pendirinya, Thomas Jefferson yang kosmopolit maka basis spektrum dukungannya juga meluas. Mulai kalangan pemuja kebebasan hak sipil, pemikir liberal, kaum menengah ke bawah hingga warga pendatang, dan masyarakat kulit berwarna. Wajar jika pemikiran ekonominya berusaha menyeimbangkan anggaran dengan belanja, peran pasar dengan campur tangan pemerintah. Isu ekonomi mereka penyeimbangan pajak dengan belanja kesejahteraan, dengan isu demokratisasi sebagai tema sentral kebijakan luar negeri. Karena itu para pendukung Demokrat mengindentifikasi dirinya sebagai True Bluers.

Secara langsung memang tidak ada pengaruh pilpres tersebut dengan negara lain, termasuk negara kita. Namun, sebagai pemilik PDRB terbesar di dunia, pusat transaksi dan keuangan nomor satu dunia. Setiap kebijakan makro ekonomi yang berpotensi meluruhkan pertumbuhan ekonomi AS bakal berimbas pada perekonomian dunia. Pilihan diplomasi politik luar negeri AS juga mencerminkan agenda perubahan sosial yang diinginkan pemerintahan yang berkuasa saat itu. Lalu bagaimana seharusnya memaknai transisi kekuasaaan, dan kebijakan dari merah ke biru, atau sebaliknya. Tanpa bermaksud mengajari bisa digunakan teori warna sekunder. Warna primer sendiri ada tiga yaitu kuning, merah dan biru. Karena Amerika Serikat hanya kental dua warna yaitu merah dan biru, maka simpel campurkan keduanya. Jika hasilnya warna lembayung, artinya siapapun yang berkuasa di Gedung Putih kelak, entah biru atau merah maka perubahan kebijakan utamanya tidak akan pernah tegas, merah atau biru namun tak lebih nuansa violet yang memendar.

Tidak ada komentar: