Dibanding penyelenggaran Pilpres Amerika Serikat sebelumnya. Pemilu pendahuluan tahun ini memang menunjukkan kegairahan yang berbeda. Bukan saja karena agenda pertarungan kampanye yang semakin mengental, dan kentara antara Partai Republik dan Demokrat. Namun juga karena hadirnya persaingan ketat antar kandidat masing-masing partai bersangkutan.
Sebut saja pertarungan Senator (R-Az) John McCain dengan Mantan Gubernur Massachusetts, Mitt Romney di kubu Partai Republik. Keduanya, dengan berbagai cara berusaha mendulang delegasi dari setiap ceruk negara bagian yang mungkin bersimpati. Sejauh ini McCain mengungguli Romney dalam jumlah delegasi untuk konvensi partai 6 bulan mendatang. McCain, yang dikenal lihai memainkan isu keamanan ketimbang Romney, juga diuntungkan mengalirnya dukungan moral dari mantan Walikota New York, Rudy Guilani.
Dan Gubernur California, Arnold Scwarzenegger. Rudy, yang dikenang jasanya karena berhasil menekan angka krimininalitas negeri Apel Besar, dan memandu melewati masa sulit pascakecelakaan sejarah 9/11 mendukung, karena alasan kesamaan visi, dan yakin terhadap agenda kebijakan keamanan McCain, yang dulunya juga veteran perang. Arnie, demikian suami keponakan Presiden John F. Kennedy dipanggil, mendukung McCain karena agenda kampanyenya relatif moderat untuk beberapa isu utama.
Beralih ke kubu Partai Demokrat, pertarungan kian sengit sepeninggal John Edward. Pasalnya, John Edward disebut memiliki agenda kebijakan yang sejalan dengan Senator (D-Il)Barack Obama, justru memiliki konstituen yang segaris dengan Senator (D-Ny)Hillary Clinton yaitu kalangan kelas menengah kulit putih. Pertarunga semakin sengit karena Hillary disebut banyak didukung sebagian besar petinggi Partai Demokrat, bukan saja karena jejak cemerlangnya sebagai Senator New York, namun juga karena mantan first lady semasa Bill Clinton menjabat di Gedung Putih itu dikenal inisiatif, dan istri yang bisa menjadi mitra sejajar.
Tak heran jika Hillary beroleh simpati mantan Senator New York kharismatis, Daniel Patrick Moynihan. Uniknya, janda senator itu justru secara terbuka terlibat dalam penggalangan dana Barack Obama. Soal dukung mendukung, Hilarry mau pun Obama juga menjadi ajang rebutan saling curah perhatian, dan dukungan. Namun, blunder Hillary melibatkan suaminya, Clinton pada kampanye di South Carolina justru berujung dukungan dinasiti Kennedy kepada Obama.
Melalui Caroline Kennedy, Obama disebut figur yang menyerupai JFK yaitu mampu menginspirasi, dan menjadi simpul lintas generasi, dan etnis. Sementar Ted Kennedy, sang paman mendukung karena geram dengan pesan kampanye Clinton yang menyentil isu rasialisme. Sebuah isu yang mendekatkan Kennedy bersaudara di masanya dengan icon kulit hitam, Martin Luther King Jr, khususnya dalam kesetaran hak-hak sipil.
Obama yang menyatakan dirinya bukan sebagai kandidat presiden kulit hitam, melainkan calon presiden yang kebetulan berkulit hitam, juga mengusung kuat aura perubahan yang diimpikan Martin Luther King Jr, “I Have A Dream” Sebuah pesan moral yang akhirnya juga meluluhkan ratu talkshow, Oprah Winfrey kepincut pada pria yang pernah melewatkan masa kanak-kanak di Jakarta itu. Dukungan signifikan lainnya juga meluncur dari mulut Gubernur Kansas, Katherine Sibelius.
Siapa dia? Tiada lain perempuan demokrat pertama yang bisa memimpin negara bagian Kansas, negara bagian dengan tradisi republiken sejati (Red States). Dukungannya disebut karena pilihan visi pemerinatahnnya senada dengan pilihan Obama. Singkat kata, pertarungan calon Partai Demokrat beda-beda tipis, dan harap-harap cemas. Bukan saja karena begitu kuatnya dukungan politik, moral dan finansial kepada keduanya. Bahkan disebut Hillary kena batunya. Namun juga karena keduanya mewakili gerbong masing-masing, yang terancam bakal terantuk batu penghalang rel yang sama, yaitu aturan tak tertulis: white anglo-saxon, and protestant (WASP).
Minggu, 03 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar