Jumat, 08 Februari 2008

Sepakbola, Media, Selera

Kalau ditanya apa beda sepakbola dan media, jawabnya tentu tak sesulit mencari jarum dalam tumpukkan jerami. Sepakbola, yang konon berasal dari Inggris Raya merupakan olahraga paling populer sejagat. Olahraga Rakyat! Sepakbola bagi sebagian penduduk dunia juga berarti katarsis beban hidup. Wajar jika sebagian memberhalakan, bahkan menganggapnya agama baru. Dengan nabi yang beragam namanya, berikut kitab sucinya mulai jogo bonito, total football hingga pragmatism football. Seperti halnya agama, maka sepakbola juga rentan bid’ah berupa aliran baru, varian baru, bahkan nabi naru. Sebagai agama, mungkin hanya “agama sepakbola” yang boleh dibilang paling demokratis, all shades of opinion!

Pun media, dalam artian media cetak, kabarnya juga bermula dari kedai kopi di Inggris Raya. Bagi pengagum demokrasi, media diyakini sebagi pilar keempat setelah legislatif, eksekutif, dan tentu saja yudikatif. Media juga diyakini sebagai penyambung lidah kaum paria, dan sudra. Juru bicara yang papa, dan lemah terhadap yang kuat, dan berkuasa. Tak aneh bagi sebagian, media tak lebih messias. Lorong terang bagi kaum tertindas, sumber bahan bakar bagi pendidikan kaum tertindas--thanks to Frater Paulo Freire. Media bukan hanya lilin dalam kegelapan, namun juga dian bagi kesewenangan. Sehingga, jika dihadapkan pada pilihan pemerintahan tanpa koran, atau koran tanpa pemerintahan, maka jawabnya jelas dan tegas. “Saya pilih yang kedua!” seru Thomas Jefferson, Pendiri Negeri Paman Sam suatu ketika.

Lalu apa beda sepakbola dan koran, ehm….tentu saja pada soal selera! Karena batas perbedaan dan persamaan keduanya tipis, tergantung, ehm…selera! Sebab sepakbola dan media mempunyai peran dan andil yang sama, yaitu membuat yang berserak mendekat, dan yang dekat merekat. Persis, seperti kisah mesiah yang didengungkan setiap agama. Keduanya juga sebuah wahana memberikan yang lemah, dan tak bersuara menjadi mampu, dan bersuara. Dalam bahasa Khalifah Umar bin Khatab, “Menguatkan yang lemah, dan melemahkan yang kuat” Keduanya juga diyakini memungkinkan hadirnya demokrasi. Benarkah? Tentu saja benar sampai datangnya, ehm…selera!

Sebab selera berarti perdebatan soal rasa. Selera berarti berbicara soal kasta, siapa aku siapa kamu. Sehingga tidak ada lagi kebersamaan bernama kita, dan yang ada hanya kami dan kalian. Ini selera Adam Smith, itu rasa Karl Marx. Tak heran, dalam kebingungan Hegel pernah berteori: Setiap tesis, akan menghadirkan antitesis, guna melahirkan sintesis! Sungguhkah? Sampai ketiganya bertemu di alam kelanggengan, belum juga terjawab teori itu. Kapitalisme tetap merasa mempunyai selera. Marxisme terus mengklaim memiliki rasa. Selebihnya, tidak lain tak bukan (sintesis) selera rasa, rasa selera! [hwakakaka…]

Karena memang sejak selera dan rasa masuk, dan mengharu biru keduanya. Tidak ada lagi demokrasi, dan diseminasi partisipasi. Tak ada lagi kolektifitas, kebersamaan, dan perbedaan pandangan. Tak terdengar lagi pola, formasi apalagi inspirasi. Seolah semua kitab suci agama sepakbola terbuang. Tak ada lagi total footbal atau pun jogo bonito. Mesias yang menyebut dirinya juru bicara yang papa, dan tak bersuara juga sudah lama masuk lubang hitam (black hole). Terpenjara dalam nurani. Kini yang ada hanyalah pragmatisme, jeda antara idealisme dan opurtunisme. Apalagi dalam skisma industrialisasi. Sehingga semua potensi, dan sumberdaya hanya sebesar-besarnya, memlesetkan ungkapan “Banyak Jalan Menuju Roma”, dikerahkan untuk “Satu Jalan Menuju Roma”

Sepakbola tentu saja menjadi ladang demokrasi yang paling terimbas. Atas nama pragmatisme, dan kepentingan industri sepakbola menjelma menjadi padang perbudakkan modern. Pemain menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Hidup matinya ditentukan si pemilik kapital. Persis kisah gladiator di jaman Romawi kuno. Kabar buruknya, belum juga lahir mesias yang melakukan pencerahan, dan menghukum para penebar selera kapital. Media juga setali tiga uang, keberadaannya telah menjelma menjadi corong pemilik modal bertopeng mantra mujarab, hanya satu kata: pasar! Atas nama pasar pula, Fabio Cappelo rela dihujat karena pilihan strateginya yang pragmatis.

“Yang penting adalah hasil akhir,” ungkap dia suatu ketika mengungkap filosofi permainan sepakbola. Walhasil, selamat tingggal Rinus Michel, selamat jalan Jogo Bonito. Tak dapat disangkal, pragmatisme kini menjadi mantra ideal untuk mengatasi persoalan tidak ideal. Padahal kalau mau jujur, pilihan sepakbola pragmatis Cappelo tak lebih soal, ehm…..selera. Tentu saja selera seorang Cappelo. Persis seperti media, persaingan yang semakin ketat juga mengharuskan pasar menjadi parameter, selera audience sebagai pendekatan strategi. [I am agree to disagree]. Juntrungnya jelas, di akhir parameternya bukan keinginan pasar namun selera pemilik modal [market+share=marketshare]. Pada saat yang sama, industri media juga selalu dibayangi fenomena amplop. Keberadaannya juga terus menjadi perdebatan sepanjang waktu. Menariknya, banyak suara menyebut amplop bukan tujuan, namun semata soal pilihan. Wajar saja, jika amplop susah direduksi. Karena, amplop sebagai entitas lebih dulu, dan buru-buru ditarik menjadi persoalan privat, manakala lahir keinginan menjadikannnya ranah publik. Menerima amplop adalah soal pribadi, masing-masing orang. “Itu soal etika saja,” celetuk seorang pekerja pers.

Ironisnya, sepanjang berlalunya waktu bumi mengelilingi matahari, perdebatan soal etika tak lebih debat kusir. Hangat tapi tak pernah memikat. Apalagi jika perdebatan itu bergeser, dan berubah menjadi perdebatan soal Atika (baca: nama orang). Weleh....weleh, hasilnya sudah bisa ditebak. Pasti tak jauh dari soal, ehm…selera. Sehingga, pada akhirnya menarik mendengarkan pesan Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia dalam bukunya Renaisans Asia. "Kalau berdiskusi semata mendebatkan soal selera, maka sebaiknya masing-masing pergi berangkat tidur," pesan Anwar. Setubuh Pak Cik, eh…setuju!

Tidak ada komentar: